-
Pemerintah Indonesia melucuti berbagai aturan perlindungan lingkungan demi melancarkan proyek “lumbung pangan” (food estate) untuk menggenjot produksi makanan.
-
Sebuah perusahaan yang dijalankan oleh para kroni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersiap memanen keuntungan dari proyek tersebut. Mereka berupaya menggaet investasi sekitar Rp 33 triliun.
-
Proyek lumbung pangan juga membidik hutan-hutan di Papua. Para pemerhati mengatakan rencana tersebut melanggar berbagai aturan, selain dipenuhi banyak sekali konflik kepentingan.
Penerbitan Laporan investigasi ini adalah hasil kerja kolaborasi Gecko Project, Tempo dan Jubi

Keterlibatan militer dalam sektor swasta bukanlah hal baru
Indonesia punya pengalaman selama tiga dasawarsa berada di bawah kediktatoran militer. Selama itu pula, banyak sekali perusahaan yang memberikan jatah saham kepada militer agar mendapat perlindungan, di mana para perwira “hanya duduk manis dapat uang,” kata Jacqui Baker, pakar politik di Universitas Murdoch, Australia.
Penelitian Human Right Watch (HRW) menemukan bahwa pada awal 2000-an, kepentingan militer merentang ke “berbagai sektor perekonomian,” dari perbankan hingga kursus golf. Satu cara yang dipakai untuk mengendalikan bisnisnya adalah dengan mendirikan yayasan-yayasan nirlaba. Cara ini memungkinkan mereka untuk menjalankan bisnisnya secara independen dari pemerintah, sembari tetap mendapat dukungan pembiayaan dari negara.
Pada 2006, seorang mantan panglima TNI menyampaikan kepada DPR bahwa meskipun yayasan-yayasan itu dipimpin oleh para purnawirawan jenderal, “bisa dikatakan… komando militerlah yang menguasai yayasan itu.”
Menurut Transparency International, praktik seperti itu dulu dibiarkan agar militer bisa membiayai dirinya sendiri. Namun nyatanya praktik seperti itu malah jadi ladang korupsi. Dari sinilah para perwira tinggi militer bisa mengontrol pembalakan liar dan menumpuk kekayaan yang didapatkan dari suap.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengambil alih atau menutup perusahaan-perusahaan yang dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh TNI dalam jangka waktu lima tahun.
“Mengingat sejarah bisnis militer Indonesia,” kata Baker, struktur kepemilikan Agrinas “mengindikasikan tanda bahaya besar.”
Pertanyaan mengapa Agrinas diberikan – atau mengaku memiliki – peran kunci dalam proyek lumbung pangan kiranya sulit dijawab.
Di sekitaran waktu saat program lumbung pangan diumumkan, Agrinas mempublikasikan situs yang memuat visinya untuk “Menjadi perusahaan agribisnis, konservasi, dan bioenergi terintegrasi yang terdepan di kawasan Asia Pasifik.”
Namun, melihat rekam jejaknya di usia yang masih seumur jagung ini, terkesan bahwa Agrinas masih mencari-cari identitas. Dia mencitrakan diri sebagai lembaga konservasi yang menghasilkan dan menjual kredit karbon dengan mengurangi penggundulan hutan. Tapi pada saat yang sama, dia terlibat dalam proyek penggundulan hutan di Gunung Mas.
Di halaman Facebooknya, Agrinas memasarkan produk beras dan parsel mewah mereknya, selain menjual lobster beku di loka pasar daring Tokopedia.
Pada Juli 2020, seorang karyawan Agrinas menjajakan pala, merica, dan cengkeh—atas nama Agrinas—di sebuah bursa dagang Tiongkok.
Yang jelas, ambisi utama Agrinas adalah perkebunan singkong. Perusahaan ini sudah menanam singkong di lokasi pusat penelitiannya yang berada di pinggiran Jakarta, dan ingin mengembangkan perkebunan singkong serta pabrik pengolahan singkong di lima pulau, juga mempromosikan mi instan berbahan singkong mereknya.
Dalam artikel opini yang terbit di sebuah situs berita daring berbahasa Inggris pada Juli 2020, Direktur Pemasaran Agrinas Harryadin Mahardika menulis bahwa singkong “bisa menjadi primadona baru yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari sektor agribisnis, sebagaimana terjadi pada industri sawit pada awal 1980-an.”
“Ada banyak keunggulan kompetitif yang dapat dieksplorasi untuk memperkuat program-program ketahanan pangan,” tambahnya.
“Kuncinya ada pada kerjasama semua pihak yang terlibat, di bawah satu komando, Prabowo Subianto.”
“Apa hubungannya dengan militer?”
Hingga Agustus 2021 lalu, Kementerian Pertahanan telah menyasar lebih banyak lahan untuk proyek lumbung pangan. Salah satu lokasinya di Papua, pulau di timur jauh Indonesia,kawasan yang dilimpahi sabana dan hutan hujan, rumah bagi makhluk-makhluk unik seperti kanguru pohon dan burung cenderawasih.
Setidaknya sejak September 2020, Muhaimin, seorang purnawirawan Angkatan Laut, telah berkeliling Papua untuk menemui pemerintah daerah. Ia bekerja di bawah perintah Prabowo-katanya—untuk mendapatkan lahan buat perkebunan baru.
Di Nabire, sebuah kabupaten di wilayah pesisir barat laut Papua, Muhaimin bilang bahwa pembukaan lahan akan dikerjakan oleh TNI. Setelah itu akan diserahkan kepada Agrinas untuk penanaman.
“[Ini] adalah kerjasama antara Pemda dan Kementerian Pertahanan, yang dalam hal ini PT Agrinas,” katanya.
Di Asmat, sebuah kabupaten dengan hamparan lahan gambut di sisi selatan Papua, Muhaimin memaparkan kepada para pejabat daerah bahwa para pemuda Papua akan direkrut menjadi anggota Komponen Cadangan atau “Komcad”, pasukan cadangan yang baru dibentuk dan terdiri dari warga sipil. Para pemuda dalam Komcad itu akan dipekerjakan di perkebunan singkong dan padi Kementerian Pertahanan.
Dalam sebuah pertemuan daring melalui Zoom dengan para pejabat militer dan pemerintah daerah pada 12 Agustus lalu, Muhaimin mengungkapkan hasil KLHS yang telah dilaksanakan untuk dua perkebunan padi dan singkong di Merauke.
Meski Papua memiliki keanekaragaman tanaman yang lebih kaya dibandingkan pulau manapun di planet Bumi, hasil KLHS itu tetap saja merekomendasikan pembongkaran lebih dari 18.000 hektare hutan hujan.
Hasil KLHS itu pun mengemuka dengan sejumlah peringatan bahaya. Proyek lumbung pangan di Papua bisa mengakibatkan pencemaran sungai dan sengketa pertanahan. Apalagi, sekitar 15.000 hektar lahan yang diincar merupakan tanah ulayat.
Berdasarkan catatan pertemuan yang kami peroleh, Muhaimin menjelaskan kepada para hadirin bahwa para pihak yang mendukung proyek belum menemui warga setempat yang bakal terdampak karena terkendala pandemi. Warga juga tidak diundang dalam pertemuan daring itu.
Kini, setelah syarat KLHS sudah dirampungkan, keputusan untuk mengalihfungsikan kawasan hutan sepenuhnya ada di tangan KLHK.
Muhaimin mengatakan kepada kami bahwa Agrinas akan dilibatkan “andaikan nanti [proyek food estate] jalan”. Ia menolak menjelaskan lebih rinci.
Bagi para aktivis lokal di Papua, pengerahan tentara ke wilayah adat Papua untuk membangun perkebunan punya preseden buruk.
Selama puluhan tahun, intervensi militer di Papua sangat tinggi, dengan dalih memberangus gerakan Papua merdeka. Padahal tentara dan polisi juga dikerahkan untuk memberangus perlawanan rakyat terhadap proyek-proyek korporasi yang mengancam tanah ulayat dan hutan mereka.
“Ada sejumlah kasus kekerasan terhadap orang asli Papua yang dilakukan oleh militer,” kata Aiesh Rumbekwan, aktivis Walhi Papua. “Ada rasa trauma yang panjang”.
Para pengamat telah mendokumentasikan tumpukan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer terhadap orang asli Papua, termasuk penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar jalur hukum.
Sepanjang periode 2018-2020, Amnesty International mencatat sebanyak 47 kasus dugaan pembunuhan ekstrayudisial, pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah pemerintah oleh aparat keamanan di Papua.
“Biasanya dalam perolehan lahan, kalau misalnya militer yang turun dalam kasus-kasus dengan perusahaan, ya masyarakat nggak bisa bilang apa-apa,” kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, yang banyak bekerja dengan masyarakat Papua untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
“Nggak bisa ngomong.”
Sebagai dampak dari upaya keras pemerintah mendorong pengembangan industri agrikultur di Papua, sejumlah perusahaan gula, minyak kelapa sawit, dan pembalakan kayu, kini mulai marak bercokol di Papua.
Pemerintah beralasan, proyek-proyek perkebunan itu diperlukan sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian daerah yang tingkat pendidikan dan infrastrukturnya masih rendah.Tetapi penelitian menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan berskala besar itu justru bisa berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.
Akademisi, organisasi non pemerintah, dan investigasi terdahulu oleh The Gecko Project menemukan bahwa perkebunan-perkebunan itu malah menggerus ketahanan pangan orang Papua karena menghancurkan hutan hujan dan kampung-kampung sagu yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Masyarakat di sekitar perkebunan menjadi sangat bergantung pada bantuan dari perusahaan dan pemerintah. Mereka juga terpaksa mengkonsumsi asupan makanan yang rendah gizi.
Proyek lumbung pangan telah merongrong berbagai aspek perlindungan lingkungan yang sebelumnya dijadikan pedoman. Hal itu diperburuk dengan keterlibatan langsung militer dalam pengelolaan perkebunan.
Bagi Aeish dari Walhi Papua, semua ini justru akan memperparah persoalan.
“Ini cuma perampasan ruang berkedok ketahanan pangan,” katanya. “Sebenarnya food estate kita bicara pertanian. Apa hubungannya [dengan militer]?” (*)