Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Peraih Penghargaan John Humphrey Freedom Award 2005, Jan Christian Warinussy mengatakan pengesahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak mengubah konsideran maupun pasal mengenai Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo harus segera memenuhi perintah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Papua.
Hal itu dinyatakan Warinussy saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Kamis (29/7/2021). Menurutnya, seluruh pasal mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) tetap berlaku, termasuk perintah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun Pengadilan HAM di Tanah Papua.
“Kini harapan rakyat Papua dan keluarga korban dugaan pelaku pelanggaran HAM berat di Tanah Papua tergantung kepada Presiden selaku Kepala Negara. Peran serta Presiden sangat relevan dan penting dalam mendorong lahirnya keputusan politik pendirian KKR dan Pengadilan HAM di Tanah Papua, segera,”kata Warinussy.
Baca juga: Jokowi didesak realisasikan pembentukan Pengadilan HAM di Tanah Papua.
Warinussy mengatakan, Presiden Joko Widodo dapat memerintahkan jajarannya di bawah tanggung jawab dan koordinasi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Polhukam) untuk menjalankan amanat UU Otsus Papua itu.
“Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat dapat ikut mendorong pembentukan KKR dan Pengadilan HAM di Tanah Papua. Bagaimanapun penyelesaian berbagai bentuk dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua harus dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan dan peradilan tkasus dugaan pelanggaran HAM Berat, seperti kasus Wasior tahun 2001, kasus Wamena tahun 2003, dan kasus Enarotali-Paniai tahun 2014,” katanya.
Warinussy mengatakan aparat penyidik di Kejaksaan Agung RI mesti berkoordinasi dan berkomunikasi intensif dengan penyelidik di Komisi Nasional HAM RI. Kedua lembaga negara itu harus menyamakan persepsi mengenai kelanjutan proses hukum ketiga kasus itu. “Sehingga ketika perkara-perkara tersebut diajukan ke pengadilan, maka diyakini para terduga pelakunya dapat dovonis sebagai pelaku kejahatan HAM Berat oleh Pengadilan HAM yang kelak dapat dibentuk di Tanah Papua,” katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan proses revisi UU Otsus Papua tidak mengakomodir sejumlah usulan yang menjadi aspirasi orang Papua. Ia menyebut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak memperkuat posisi lembaga penegak hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Baca juga: Fraksi Otsus minta Pemprov Papua bentuk KKR dan Perpres untuk selesaikan pelanggaran HAM
“Otonomi Khusus produk Jakarta, yang isinya tidak mengakomodir dan mengamputasi pasal-pasal yang menjadi aspirasi orang Papua selama ini. Terlebih khusus [aspirasi] penyelesaian [pelanggaran] HAM,” kata Gobay.
Gobay juga menyoroti perubahan UU Otsus Papua yang tidak mengatur penghapusan praktik diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua, padahal persoalan itu selalu berulang. Akibatnya, demikian menurut Gobay, kasus ujaran atau tindakan rasialis terhadap orang Papua selalu diselesaikan dengan maaf memaafkan, tanpa melalui mekanisme pengadilan.
“Itu bukan cara menyelesaikan masalah yang baik, tetapi justru masalah itu akan terus berulang. Tidak akan ada solusi penyelesaian untuk penanganan HAM serta keadilan bagi korban,” katanya.
Gobay mengatakan orang Papua meminta pemerintah menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua sejak saat integrasi sampai kini. “Pengadilan HAM serta KKR masih sangat dibutuhkan oleh orang Papua [untuk] menuntaskan pelanggaran HAM berat dari masa ke masa, agar orang Papua juga mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya,” kata Gobay. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G