Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan hak asasi manusia Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Yonas Nusy menyatakan kegagalan para calon legislatif orang asli Papua (OAP) duduk di DRPD kabupaten/kota di Papua diduga karena jual-beli suara dalam Pemilihan Umum 2019. Biaya kontestasi politik yang mahal membuat caleg orang asli Papua tidak mampu mengamankan perolehan suaranya dari praktik jual-beli suara itu.
Hal itu dinyatakan Yonas Nusy di Jayapura, Rabu (15/5/2019), menanggapi hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 di Papua. Hasil Pemilu 2019 mengindikasikan banyak calon anggota legislatif (caleg) orang asli Papua kalah dari caleg non-Papua, sehingga keterwakilan orang asli Papua (OAP) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota di Papua diperkirakan akan berkurang.
Nusy menyatakan proses penghitungan rekapitulasi perolehan suara di tingkat Provinsi Papua mengindikasikan maraknya praktik jual-beli suara. “Kami lihat proses penghitungan suara lebih bernuansa bisnis. Akibatnya beberapa Komisi Pemilihan Umum kabupaten diminta melakukan penghitungan ulang saat pleno di provinsi,” kata Nusy.
Nusy yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dari 14 kursi pengangkatan menyatakan dirinya mendengar keluhan para caleg asli Papua yang gagal terpilih karena suara mereka hilang saat diplenokan Panitia Penyelenggara Distrik atau PPD. Padahal, saat penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), para caleg itu mendapat suara yang signifikan.
“Biaya politik di Papua ini sangat besar, sementara kebanyak anak asli Papua yang masuk ke partai politik memiliki dana terbatas. Tidak akan mampu bersaing dalam hal materi dengan caleg lain yang memiliki uang hingga puluhan miliar,” ujarnya.
Terjadinya dugaan jual beli suara menurut Nusy, dikhawatirkan akan berdampak pada minimnya keterwakilan orang asli Papua di DPRD kabupaten/kota di Papua. Tidak menutup kemungkinan pimpinan dan unsur pimpinan sejumlah DPRD kabupaten/kota periode 2019-2024, akan didominasi non-Papua. “Misalnya saja di Merauke, ketika saya bertemu salah satu pimpinan adat di sana, ia mengeluhkan situasi ini karena dari 30 kursi DPRD Merauke, kemungkinan hanya satu atau dua kursi yang ditempati anak asli Papua,” ucapnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Papua, Theodorus Kossay mengatakan, jual-beli suara bukan hanya terjadi dalam Pemilu kali ini. Praktik serupa telah terjadi pada masa-masa sebelumnya. “Praktik ini terus dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” kata Kossay akhir pekan lalu.
Keterlambatan proses rekapitulasi tingkat provinsi menurutnya, disebabkan dua aspek. Selain keterlambatan administrasi, juga keterlambatan prosedur yang dilakukan KPUD kabupaten/kota atau PPD. “Pasti ada konsekuensi hukumnya untuk pelanggaran jual beli suara. Proses pidana jalan, proses Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu juga jalan,” ujarnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G