Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Zebedeus G Mote*
Prolog
Penulis merefleksikan dan sadar bahwa banyak pihak menyoroti pemekaran. Pada kesempatan ini juga penulis hendak menyoroti pemekaran atau daerah otonomi baru (DOB) di seluruh wilayah di Papua.
Bahwa pemekaran yang sedang diwacanakan hanya menambah luka di atas penderitaan dan trauma orang Papua. Pemekaran ini merupakan bentuk penjajahan lain dari Indonesia di Tanah Papua, misalnya, transmigrasi dan pelanggaran HAM.
Negara Indonesia atau para elite Jakarta dan Papua harus pikir baik, karena pemekaran pasti mengancam eksistensi manusia dan alam Papua. Kita belajar dari sejarah.
Baca juga: Ideologi Papua merdeka bukan “jenaka” di Jakarta
Semenjak pemekaran pada dekade sebelumnya tidak ada nilai positif ataupun pembangunan yang maju, malah kekerasan dan transmigrasi melalui pemekaran terus bertambah.
Pemekaran juga hanya memperluas lapangan pekerjaan untuk para elite dan kapitalis, guna menguasai daerah demi kepentingan golongan tertentu, misalnya, kepentingan pribadi. Persis di situ warga sipil menjadi korban di atas korban.
Negara Indonesia juga perlu mencabut Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang khususnya mengatur tentang otonomi daerah, pemekaran wilayah administratif. Tentu banyak kerugian, konflik, penjajahan dan kematian manusia (bdk. studi evaluasi dampak pemekaran daerah, BAPPENAS: iv).
Mengapa pemekaran harus dihentikan?
Rakyat Papua tidak merindukan pemekaran. Ini justru bentuk kejahatan pemerintah Indonesia, yang menyebabkan penderitaan dan kematian bagi orang Papua.
Tragedi serupa juga pasti terjadi jika pemekaran berlanjut, maka para elite setop memekarkan Papua, supaya tidak lagi terjadi kekerasan yang mengobarkan alam dan manusia yang tinggal di Papua, khususnya masyarakat adat. Situasi hari ini membuat penulis menilai bahwa hampir seluruh rakyat Papua menolak pemekaran.
Mengurus daerah sendiri tanpa mengobati luka sebelumnya memang tidak bisa. Justru menambah luka di atas luka, seakan tidak ada obat untuk saling menyembuhkannya.
Pemikiran yang mengobjekkan masyarakat untuk menguasai daerahnya, merupakan salah-satu bentuk pemusnahan manusia, boleh dikatakan pelanggaran HAM.
Memang itu hak dan kebebasan para elite politik. Namun kenyataannya pelanggaran HAM terus berlanjut walau sebelumnya juga pernah terjadi pemekaran, seperti beberapa wilayah di seluruh Tanah Papua.
Baca juga: Menatap Pemilu 2024 dengan penuh kasih sayang
Pendekatan yang dijalankan oleh Indonesia di Papua masih menerapkan lagu lama, seperti penjajah Belanda terhadap Indonesia pada masa itu. Indonesia hari ini, melakukan banyak kegagalan dalam hal membangun apa saja di Papua (Oase Gagasan Papua Damai, 2012: 131 – 142).
Pemekaran mengakibatkan konflik dan pelanggaran HAM. Penulis mencontohkan beberapa kasus, seperti, Nabire yang dimekarkan menjadi Kabupaten Paniai dan Dogiyai. Di sana terjadi kasus Paniai Berdarah dan Dogiyai Berdarah. Hingga saat ini kasusnya belum dituntaskan.
Kabupaten Paniai dimekarkan menjadi Kabupaten Intan Jaya. Sampai detik ini konflik masih lanjut di Intan Jaya, yang memakan korban nyawa. Lalu Kabupaten Jayawijaya dimekarkan ke Kabupaten Pegunungan Bintang. Di sana konflik masih terjadi.
Kabupaten-kabupaten dan kota di Papua punya peristiwa sadis masing-masing, sebab akibat pemekaran sudah kita saksikan sama-sama. Namun mengapa pemekaran diperjuangkan?
Pemekaran bukan metode “Papua Tanah Damai”
Rakyat Papua Barat (Provinsi Papua dan Papua Barat) sama sekali tidak merindukan pemekaran atau DOB. Para elite politik Jakarta dan Papua, tidak punya akal sehat, karena tidak punya pertimbangan atas realitas sebelumnya, yang penuh dengan pelanggaran HAM.
Rakyat Papua yang terpengaruh oleh penguasa setop menyetujui pemekaran, karena itu bukan metode yang tepat untuk mewujudkan Papua tanah damai.
Sebaiknya yang rakyat kerjakan adalah memeriksa diri dan merenungkan seluruh peristiwa sadis yang dialami orang Papua, sebagai akibat dari pemekaran.
Baca juga: Karya malpraktik di Papua dan penentuan nasib sendiri
Sungguh ngeri jika pemekaran dibiarkan. Rakyat Papua juga sudah tahu dan menolak bahwa pemekaran bukan metode yang tepat untuk mewujudkan perdamaian di Papua.
Memang tidak semua elite politik di Papua menyetujui pemekaran. Karena itu penulis memberi apresiasi kepada mereka, karena mereka masih menggunakan akal sehatnya.
Banyak aktivis kemanusiaan, intelektual dan masyarakat melalui berbagai cara sudah tolak pemekaran. Maka elite-elite setop menyetujui pemekaran. Setop melahirkan metode yang tidak tepat dalam nalar yang “busuk”.
Cobalah menalar sesuatu dengan baik, supaya tidak cacat atas semua kelakuan dan karakter kapitalis dan penjajah itu. Carilah metode yang tepat, sebab pemekaran itu tidak menjawab kemauan semua orang di Papua.
Segera gelar dialog Jakarta-Papua
Dialog yang ditawarkan ini merupakan salah satu metode dari sekian banyak cara. Untuk para pemikir DOB, baik di Jakarta, maupun Papua, penulis merasa amat sangat penting jika dialog Jakarta-Papua digelar.
Pemekaran bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan kekerasan yang terus terjadi jika tidak ada dialog.
Sebaiknya pemimpin sering mendengarkan aspirasi rakyat yang bertujuan baik. Pemimpin negara seharusnya jangan menambah peraturan hanya berdasarkan keinginan pribadi. Bila peraturan negara selalu berubah dan bertambah berat, rakyat tidak akan bisa mengikutinya, apalagi menerimanya.
Baca juga: Fenomena komunitas lokal “gadungan” di Papua
Masyarakat akan merasa tidak tenang dan tentu negara akan selalu bergejolak dalam waktu dan situasi yang tidak menentu, malapetaka pun muncul dan keharmonisan hidup sebagai sesama saudara dan sahabat yang tidak tercipta serta suasana hidup damai pun berantakan (Er Lie, Lika, 2012: 205).
Keteladanan dan moral hidup yang baik oleh pribadi manusia penting untuk saling menyelamatkan dalam situasi apapun. Akan tetapi keselamatan itu juga terjadi ketika persatuan hidup sebagai sesama saudara, dan sahabat itu kuat.
Untuk situasi saat tidak urgen untuk pemekaran. Cara yang harus dilakukan adalah menggelar dialog Jakarta-Papua, supaya dapat menemukan jalan yang menghidupkan, bukan mematikan.
DPR Papua pada 2015 mempertanyakan komitmen negara soal dialog Jakarta-Papua. Kenyataannya tidak terlaksana sampai saat ini. Mengapa? Kepercayaan antara Jakarta dan Papua terbatas di bibir, tidak sampai di pikiran dan hati. Manusia di Indonesia hilang identitas sebagai manusia yang bermartabat karena melecehkan janji atas diri untuk semua orang di Indonesia (JDP News, 2015: 2).
Epilog
Sesudah melihat, mendengar, dan merasakan realitas penindasan di Papua Barat, penulis melihat secara keseluruhan, bahwa ada yang diuntungkan dan dirugikan secara sistematis dan terstruktur. Pikiran Jakarta tidak diterima oleh rakyat Papua dan juga sebaliknya.
Jika demikian tentu semua agenda Jakarta dan sikap penolakan dari akar rumput rakyat Papua tetap menjadi basi.
Masyarakat Papua, baik orang asli Papua (OAP), maupun non-OAP tentu menolak program Jakarta (pemekaran) walau tidak semua. Suatu metode yang dituntut dari kedua pihak ini adalah dialog kemanusiaan antara Jakarta-Papua, bukan DOB.
Pemekaran itu keinginan Jakarta, para elite Papua mohon pikirkan baik-baik. Maukah kita hidup terus-menerus dalam penindasan?
Semoga akal sehat menuntun kita untuk melihat realitas saling menjajah ini di meja dialog sebagai manusia yang bermartabat. Kelompok Jaringan Damai Papua sudah melihat itu sebagai metode yang tepat untuk mengakhiri dan memulai hidup baru sebagai sesama manusia di bumi. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur dan Anggota Kebadabi Voices Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten