Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Siorus Degei*

Pada 1960, Henry Lewis McKinney, mahasiswa program doktoral di bidang filosofi dari Cornell University penasaran dengan dua surat yang dikirim oleh Wallace pada 9 Maret 1858 dari Ternate, Maluku, kepada Charles Darwin dan dua bersaudara Walter Bates dan Frederik Bates. Dua surat inilah yang menjadi tesis tulisan McKinney, Alfred Russel Wallace and the Discovery of Natural Selection.

Tulisan McKinney ini sempat mengundang diskursus ilmiah yang bukan kepalang, banyak ilmuwan mulai penasaran pula dengan isi dan substansi dari dua surat Wallace itu. Beragam buku pun muncul sebagai bumerang bagi karya tersohornya Charles Darwin, On The Origin Of Species (1859). Terbit buku The Darwin Conspiracy dari John Darnton (2005), A Delicate Arrangement (1980) dari Arnold Brackmann, dan Just Before The Origin (1984) dari John L. Brooks (1001traces.wordpress.com, 2/3/2010).

Di antara para ilmuwan itu ada David Hallmark, seorang pengacara Inggris yang lama mempelajari kasus ini (Siapa Penemu Teori Evolusi, Darwin atau Wallace), mengikuti jejak Wallace ke Indonesia dan nekat memperkarakan Charles Darwin secara hukum sebagai pelaku plagiat atas karya Wallace.

Baca juga: Perpanjangan otsus dan pemekaran sepihak, bukti Indonesia jajah Papua

Basis argumentasi Hallmark adalah surat pribadi Darwin yang ditulis pada 18 Juni 1958 untuk sahabatnya, Charles Lyell. Dalam surat itu Darwin menyebutkan “The Letters just arrived today and all my works are smashed”.

Jadi, saat itu Darwin sedang menyusun penemuan besarnya tentang On The Origin Species. Namun ia tak mampu menyelesaikannya sebab banyak hal yang kurang, sehingga ia memakai isi surat Wallace yang banyak membahas soal klasifikasi spesies. Darwin juga sempat membaca karya Wallace dengan judul “Sarawak Law” terbit pada 1855 yang banyak membahas soal asal-usul spesies.

Alhasil, Darwin pun selesai menyusun karyanya dan berkat sahabatnya Lyell yang dekat dengan pemerintah, Darwin pun dapat mengungkap penemuan besarnya di bidang sains itu dan ia dianugerahi gelar Bapak Sains. Bagi Hallmark Darwin terindikasi malpraktik (majalah.tempo.co, 2/3/2009).

Baca juga: Merosotnya ruang demokrasi di Papua

Kurang lebih demikianlah bahayanya malpraktik. Jika merujuk pada pengertiannya malpraktik sendiri merupakan kelalaian seorang profesional dalam menjalankan tugasnya. Malpraktik ini adalah sebuah tren dalam dunia medis bagi para dokter yang bekerja tidak hati-hati sesuai profesionalitasnya (hukumonline.com, 20/6/2013).

Istilah malpraktik ini banyak diadopsi dalam berbagai wacana publik, untuk merujuk pada tindakan copy paste, plagiat, rekayasa, manipulasi, konspirasi dan pelbagai tindakan kecurangan lainnya.

Penulis akan memakai istilah malpraktik ini untuk menyebutkan hasil kajian ilmiah tentang otsus (otonomi khusus), pemekaran, dan KKR hanya sebagai karya malpraktik belaka.

Bahwa serupa Charles Darwin yang terindikasi malpraktik, sejumlah elite dan investor oligarkis lokal, nasional, dan internasional yang menyukseskan aneksasi 1962, Pepera 1969, Otda 1969-2001, Otsus Jilid I 2001-2021, Otsus Jilid II 2021-selesai, PN XX 2020 dan PAPERNAS XVI, smelter, pemekaran, pengadilan HAM, dan KKR tidak lain dan tidak bukan adalah para pelaku malpraktek semu. Penulis hanya akan menggubris isu pemekaran dan KKR sebagai dua karya malpraktik besar di Papua.

Dua karya malpraktik besar di Papua

Pertama, pemekaran. Publik digegerkan dengan wacana pemekaran Papua menjadi enam provinsi baru (cnbcindonesia.com, 30/11/2021). Kita tidak tahu sejak kapan sosialisasinya kepada akar rumput hingga pucuk pimpinan, yang wilayahnya akan dimekarkan menjadi provinsi, kabupaten/kota, distrik dan dusun.

Apakah mereka sudah siap secara kualitas dan kuantitas SDM? Apakah mereka sudah memenuhi syarat kelayakan pemekaran wilayah?

Hal-hal fundamental berkaitan dengan etika pemekaran semacam ini sangat luput dari publikasi dan komunikasi publik yang sehat. Semuanya ditempuh dengan “jalur gelap”.

Para pejabat daerah—gubernur, walikota, bupati, kepala desa/kampung, DPR Papua, MRP (Majelis Rakyat Papua) dan jajarannya—sepertinya pura-pura tidak tahu akan wacana besar yang mengancam eksistensi sumber daya manusia dan sumber alam Papua ini.

Mereka seakan-akan sudah satu komando dengan elite dan investor oligarkis pusat (Jokowi, Luhut Binsar Panjaitan, Mahfud MD, Tito Karnavian, dan lainnya) untuk bahu-membahu meloloskan wacana pemekaran di Papua.

Baca juga: Demi demokrasi, Presiden Jokowi harus hentikan kriminalisasi Haris-Fatia

Pemerintah pusat dan daerah berbondong-bondong memfasilitasi tim pengkajian status kelayakan pemekaran di Papua. Tim yang terdiri dari para neo sofisme ini, berusaha memanipulasi segala sesuatunya yang berkaitan dengan data dan fakta di lapangan (arsip.jubi.id, 17/11/2021), agar kepentingan elite dan investor oligarkis di daerah dan pusat dapat terjawab. Semisal, untuk pemekaran Provinsi Papua Tengah, Asosiasi Bupati-Bupati Meepago memfasilitasi para intelektual “gadungan” dari Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk mengkaji status kelayakan pemekaran Provinsi Papua Tengah (ugm.ac.id, 30/1/2020).

Padahal indeks prestasi manusia atau indeks sumber daya manusia di wilayah tersebut teramat merosot dan memprihatinkan. Berdasarkan data Badan Statistik Terpadu (PST) BPS Provinsi Papua Per tahun 2018, 2019, dan 2020, Indeks Prestasi Manusia di Kabupaten Nabire (2018: 67, 70; 2019: 68,53; 2020: 68,83), Dogiyai (2018: 54,44; 2019: 55, 41; 2020: 54,84), Intan Jaya (2018: 46,55 ; 2019: 47,51; 2020: 47,79), Deiyai (2018: 49,55; 2019: 50,11; 2020: 49,46) (papua.bps.go.id, 2018-2020).

Dari data di atas terlihat bahwa SDM di wilayah Meepago—yang bakal dimekarkan menjadi Provinsi Papua Tengah itu—sangat rendah dan merosot. Potret ini diperparah lagi dengan kondisi pelayanan pendidikan dan kesehatan yang rendah, dan seringnya terjadi kontak tembak antara TPNPB/OPM dengan TNI/Polri.

Baca juga: Empat negara boneka ala Peter W. Botha dan 5 provinsi ala Jokowi

Hemat penulis potret indeks prestasi manusia yang rendah di wilayah Meepago ini juga terdapat pula di enam wilayah adat lainnya, yang bakal dimekarkan menjadi provinsi;

Kedua, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Pelurusan Sejarah Papua (KKR). Hari-hari ini marak dibahas perihal KKR. Banyak diskusi terbuka dan tertutup dilakukan oleh aktor-aktor yang dipercayakan oleh pemerintah, untuk membahas dan merumuskan peraturan tentang KKR.

Barangkali ketergesaan ini muncul karena dipicu oleh desakan banyak pihak yang kritis di Papua, untuk segera membentuk KKR dan meluruskan distorsi sejarah Papua, dalam peristiwa aneksasi 1962 dan Pepera 1969. Jadi, sejatinya ini bukan wacana yang baru muncul.

Kampanye pentingnya KKR ini bukan hal baru bila kita bersandar pada penemuan LIPI dalam bukunya Papua Road Map (2009). Satu dari empat akar masalah Papua adalah kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta, spesifiknya terlihat dalam peristiwa aneksasi 1962 dan Pepera 1969.

Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua memfasilitasi pembentukan KKR, untuk merekonsiliasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, dalam diskusi daring dan luring dengan tajuk “Membangun Strategi Bersama Dalam Mendorong Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Tanah Papua Berdasarkan Nilai-Nilai Tradisi Orang Papua” pada Selasa (25/1/2022) di Jayapura. Rencananya apa yang sudah dibahas ini diserahkan kepada badan legislatif dan eksekutif untuk dijadikan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Perpres atau Peraturan Presiden (arsip.jubi.id , 31/1/2022).

Lantas apakah rakyat Papua mesti menanti KKR dan pengadilan HAM untuk menyelesaikan konflik Papua? Apa yang mesti dilakukan oleh rakyat Papua? Hemat penulis hanya satu, yakni penentuan nasib sendiri.

Fokus pada hak penentuan nasib sendiri

Bagaimana proses, tahapan, metode dan mekanisme penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua? Agenda secara diplomatis mesti didorong melalui beberapa jalur.

Pertama, jalur hukum internasional, yaitu menggugat Pepera 1969, terkait dengan pelaksanaan Pepera yang cacat hukum, karena tidak sesuai dengan ketentuan internasional “one man one vote” dan pelanggaran perjanjian internasional “New York Agreement” dan “Roman Agreement”.

Jalur ini melalui Pintu Mahkamah Internasional (ICJ/International Court Of Justice). Untuk sampai pada tahapan ini, kita membutuhkan pengacara-pengacara internasional, maka kita (West Papua) telah membentuk International Lawyers for West Papua (ILWP).

Mereka yang tergabung dalam ILPWP adalah para pengacara hukum. West Papua melalui lembaga politiknya harus memberikan mandat atau surat kuasa kepada ILWP sebagai pengacara yang sah dan Vanuatu sebagai badan hukumnya;

Kedua, jalur politik, adalah melalui pintu dekolonisasi atau C-24. West Papua harus mendaftar atau menghidupkan kembali daftar daerah dekolonisasi. Jalur ini juga berimplikasi pada proses hukum yang mana daftar West Papua sudah pernah masuk dalam daftar daerah dekolonisasi akan dibuktikan secara hukum;

Ketiga, jalur HAM, melalui pintu Dewan HAM. Pada jalur ini West Papua dapat meyakinkan dunia, bahwa terjadi pelanggaran HAM di West Papua. Pelanggaran HAM tersebut berkaitan dengan perjuangan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Baca juga: Setiap detik Bintang Kejora berkibar di Papua

Untuk ketiga jalur tersebut, perlu proses dan tahapan. Proses awal adalah bersatu. Seluruh elemen atau komponen perjuangan bersatu dalam wadah/honai bersama.

Persatuan itu harus kuat dan terarah berdasarkan tujuan dan agenda bersama yang terumuskan dalam satu agenda bersama, yaitu, penentuan nasib sendiri bangsa Papua.

Seluruh elemen terkoordinasi dan terakomodasi dalam satu aturan main dan pembagian peran di sayap sipil, diplomat, dan militer.

Proses selanjutnya adalah memulai kampanye dukungan negara-negara subregional, regional dan internasional. Itu menjadi hal pokok yang dikerjakan oleh diplomat.

Tahapan selanjutnya adalah meyakinkan dukungan formal negara-negara di dunia untuk mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Sekurang-kurangnya, persoalan West Papua harus masuk dalam komunike atau agenda politik dari negara-negara, seperti Melanesia, Pasifik, Karibia, dan Afrika. Untuk itu, harus sudah didapatkan. Sekarang bagaimana dukungan itu menjadi kekuatan untuk menekan Indonesia.

Hal utama adalah pengakuan dari negara-negara tetangga untuk penentuan nasib sendiri bangsa Papua melalui forum resmi, misalnya, MSG (Melanesian Spearhead Groups), PIF (Pacific Island Forum) dan ACP (States of the Africa Caribbean).

Pengakuan tersebut merupakan legal standing bagi West Papua, baik dalam gerakan sipil dan diplomatis, maupun gerakan militer. Paling kurang, agenda West Papua diakui secara legal dan diterima dalam komunike forum-forum tersebut.

Tahapan selanjutnya dari proses ini, adalah dukungan forum-forum yang disebutkan di atas, juga dapat menjadi dasar hukum gugatan di mahkamah internasional. Namun proses ini haruslah menjadi agenda dalam sidang umum PBB.

West Papua haruslah berupaya agar persoalan West Papua menjadi agenda di meja Sidang Umum PBB, dan catatan nomor 2504 harus ditinjau ulang.

Untuk jalur-jalur di atas itu menjadi urusan para diplomat West Papua. Rakyat sipil memberikan dukungan moril dan materil, sedangkan untuk dukungan militer West Papua terus mengobarkan perlawanan gerilya. (*)

* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply