Dituduh bakar hutan di Papua untuk investasi sawit, Korindo sampaikan klarifikasi

Papua
General Manager Palm Oil Division Korindo Group, Luwy Leunufna (kiri) saat menyampaikan keterang pers secara virtual, Rabu (18/11/2020) – Jubi/Arjuna

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – PT Korindo membantah pemberitaan media yang menyebut perusahaan asal Korea Selatan itu telah membakar hutan di wilayah Papua untuk kepentingan investasi sawit.

Bantahan itu disampaikan General Manager Palm Oil Division Korindo Group, Luwy Leunufna dalam keterang pers secara virtual, Rabu (18/11/2020).

Read More

Ia mengatakan, isu pemakaran lahan oleh PT Kordindo bukanlah kabar baru. Isu ini terus berulang disampaikan ke publik sejak beberapa tahun lalu oleh sejumlah pihak.

“Tuduhan kami membakar lahan ini bukan isu baru. Ini isu lama yang sengaja diulang. Sejak 2017 Korindo Group melakukan moratorium penghentian pembukaan lahan perkebunan sawit,” kata Luwy.

Menurutnya, isu ini dimulai dari kampanye negatif lembaga lobi internasional asal Amerika Serikat yaitu Mighty Earth. Pada 2016, lembaga ini menduh PT Korindo membuka lahan dengan cara membakar. Akan tetapi tuduhan itu dinilai tidak benar.

“Kami melaporkan Mighty Earth ke pengadilan Jerman dan saat ini berproses,” ucapnya.

Katanya, tuduhan Mighty Earth itu sebenarnya telah dibantah oleh The Forest Stewardship Council (FSC). Lembaga tersebut telah menginvestigasi laporan Mighty Earth dengan mendatangi wilayah PT Korindo. Hasil investigasi FSC menyatakan, tidak benar telah terjadi pembakaran hutan seperti yang dituduhkan kepada perusahaan itu.

Selain itu, Luwy mengatakan Dinas Kehutanan Merauke juga melakukan investigasi di lokasi perkebunan Sawit PT Korindoa di daerah Asiki dan sekitarnya dan menyatakan perusahaan membuka lahan sesuai aturan.

“Ini diperkuat surat resmi dari Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia pada 17 Februari 2017. Surat itu menyatakan tidak ditemukan adanya illegal deforestation. Ini juga berdasarkan hasil investigasi,” ucapnya.

Katanya, pada 12 November 2020 silam, Greenpeace Internasional juga merilis pernyataan yang menyebut PT Korindo melakukan pembakaran lahan, dan itu menjadi pemberitaan media.

Ia juga menyatakan tidak ada pelanggaran hak masyarakat oleh pihak perusahaan seperti pemberitaan salah satu media nasional beberapa hari lalu.

Ia mengklaim, pihak perusahaan telah membayar kompensasi kepada semua masyarakat pemilik ulayat di area PT Tunas Sawa Erma di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Salah satu narasumber dalam pemberitaan itu termasuk dalam 10 marga yang telah menerima kompensasi.

Selain itu, tangkapan terbaru Citra Satelit juga memperlihatkan areal perkebunan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erna masih tetap utuh. Belum ada satu pohon pun yang ditebang.

“Jadi tidak benar kalau kami dipojokkan dengan pemberitaan seperti ini. Perusahaan kami akan terus berkontribusi untuk hidup bersama masyarakat Papua dan membangun Papua dalam berbagai program,” katanya.

Sebelumnya, dalam situs Greenpeace menyebut anak usaha perusahaan Korea Selatan, Korindo Group telah  membakar hutan di Papua untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Temuan pembakaran itu berdasarkan investigasi Greenpeace International dengan Forensic Architecture.

“Perusahaan Korindo memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Papua dan telah menghancurkan sekitar 57 ribu hektare hutan di provinsi tersebut sejak 2001,” tulis siaran dari situs Greenpeace, yang diakses pada Jumat (13/11/2020).

Luas lahan yang dibakar itu hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan. Tim gabungan Greenpeace International dengan Forensic Architecture  menggunakan citra satelit NASA untuk mengidentifikasi sumber panas dari kebakaran lahan yang berlokasi di Merauke, Papua.

Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik menyatakan pemerintah harus meminta pertanggungjawaban Korindo terkait penemuan ini.

“Namun persoalannya, rekam jejak pemerintah dalam penegakan hukum lemah dan tidak konsisten apalagi kini regulasi perlindungan lingkungan dilemahkan pasca disahkannya UU Cipta Kerja yang pro-bisnis ketimbang aspek lingkungan,” kata Kiki. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply