Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pendeta Zebu Miagoni dari Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua menyatakan konflik bersenjata di Papua harus diselesaikan dengan dialog yang serius dan membahas akar masalah Papua. Pendeta Zebu Miagoni menegaskan pemerintah tidak bisa mengklaim sudah melakukan dialog hanya karena pemerintah sudah membagikan sembako atau makanan bagi pengungsi.
Pendeta Zebu Miagoni menyatakan konflik bersenjata di Kabupaten Intan Jaya telah berdampak luas terhadap warga sipil di sana. Selain melumpuhkan pelayanan publik di sana, konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) itu juga menimbulkan korban dari kalangan warga sipil.
“Fasilitas pemerintah, perkantoran, dan fasilitas lainnya di Kabupaten Intan Jaya digunakan oleh TNI/Polri. TPNPB, mereka [bergerilya dan] tipu-tipu ganggu TNI/Polri. Tapi justru yang ditembak itu masyakarat yang tidak tahu apa-apa, [bahkan] anak kecil. Itu yang terjadi, sehingga terjadi pengungsian,” kata Miagoni kepada Jubi, Selasa (11/1/2022).
Baca juga: Mahasiswa berharap para pihak unjuk peduli terhadap pengungsi Intan Jaya
Menurutnya, konflik bersenjata yang berkepanjangan di Intan Jaya telah membuat warga sipil mengungsi dari kampung halamannya. Sebagian warga sipil bahkan sampai mengungsi ke sejumlah kabupaten tetangga.
“Karena takut, masyakarat mengungsi sampai Omeo, Wandae dan daerah lain. Itu terjadi sampai hari ini. Masyakarat mengungsi [dan meminta perlindungan dari tokoh agama seperti] pastor, namun pastor juga mengatakan [warga sipil] untuk mencari tempat aman, karena pastor juga manusia,” jelas Miagoni.
Ia mengecam keras sejumlah upaya memutarbalikkan fakta dengan menyatakan warga sipil yang terbunuh aparat keamanan adalah anggota TPNPB. “Aparat keamanan bunuh masyakarat biasa, lalu mereka menaruh senjata, parang, amunisi, bendera Bintang Kejora, jadi seakan masyakarat biasa yang mereka bunuh itu TPNPB. Itu hanya rekayasa,” kata Miagoni.
Miagoni menegaskan konflik bersenjata di Papua harus diselesaikan dengan cara orang asli Papua menyelesaikan konflik, yaitu dengan berdialog. “Untuk selesaikan konflik itu, seperti budaya kita orang Papua, dalam menyelesaikan satu masalah, ada orang-orang tertentu [yang bertemu dan berdialog], seperti kepala desa [misalnya]. Dialog itu hal yang biasa, agar kita juga bisa hidup aman. TNI/Polri juga manusia, agar bisa hidup baik, jadi [bisa berdialog]. Seperti begitu yang masyarakat berharap sampai hari ini,” ujar Miagoni.
Meskipun demikian, Miagoni juga mengkritik klaim pemerintah yang menyatakan mereka sudah berdialog dengan para pemangku kepentingan konflik Papua. “Dialog itu bukan soal minta beras dan minta uang. Dialog itu bukan soal makan dan minum. [Jika pemerintah seperti itu terus], itu sama seperti orang sakit kepala dikasih obat sakit perut. Dialog itu harapan kami, masyakarat, [agar] orang yang berpendidikan di negara Indonesia dan orang Papua yang berpendidikan duduk sama-sama dan cari solusinya,” ucapnya.
Baca juga: Hasil penjualan album musik jadi donasi untuk pengungsi Intan Jaya
Sebelumnya, dalam keterangan pers kelompok mahasiswa yang berbondong-bondong pulang ke Papua pasca insiden rasisme yang terjadi di Surabaya pada 16 Agustus 2019—atau “mahasiswa eksodus”— pada Kamis (6/1/2022), aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar menyatakan upaya untuk menuntut penyelesaian konflik bersenjata di Papua tidak bisa dilakukan hanya dengan demonstrasi. Ia mengajak para pemangku kepentingan konflik Papua untuk mencari cara lain guna memaksa pemerintah mencari solusi damai atas konflik bersenjata di Papua.
“Beberapa bulan lalu, [sejumlah organisasi masyarakat sipil] sudah membuat pernyataan menolak eksploitasi Blok Wabu di Intan Jaya. [Kami] bikin surat resmi dan kumpulkan beberapa [tokoh] masyakarat, berangkat ke Jakarta serahkan surat resmi. Siapa yang rela kampungnya dikorek-korek. [Tantangannya, bagaimana mencari cara] menolak dengan kongkrit,” kata Haris.
Haris menyatakan upaya mengakhiri konflik bersenjata juga bisa dilakukan dengan membangun solidaritas di antara sesama warga negara. Solidaritas di antara sesama warga menjadi penting ketika Negara tidak menunjukkan upaya penyelesaian konflik. “Kalau negara tidak bisa memfasilitasi hak-hak kita, maka kita harus bergerak sendiri. Itu yang di sebut solidaritas,” ujar Haris. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G