Dewan Gereja Papua: Tarik pasukan dan pulangkan pengungsi dulu, baru dialog

Dewan Gereja Papua
Para pimpinan Dewan Gereja Papua, Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman (paling kiri), Pdt Benny Giay (tengah), dan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo (paling kanan) saat menyampaikan seruan Dewan Gereja Papua di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Senin (21/3/2022). - Jubi/Yance Wenda

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua pada Senin (21/3/2022) menyampaikan seruan moral atas situasi terkini Papua, termasuk wacana dialog Papua yang dilontarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI. Dewan Gereja Papua menilai proses menuju dialog itu harus diawali dengan penarikan tambahan pasukan TNI/Polri di Papua, serta pemulangan puluhan ribu warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di Papua.

Hal itu dinyatakan Dewan Gereja Papua dalam keterangan pers di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Senin. “Kami menilai [dialog] harus diawali dengan langkan penarikan militer dari Tanah Papua, termasuk menghentikan penambahan pasukan,” kata Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman saat membacakan pernyataan resmi Dewan Gereja Papua.

Read More

Dewan Gereja Papua mencatat pemerintah pusat terus menambah pasukan TNI/Polri di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua menyatakan pengiriman pasukan TNI/Polri dari luar Papua ke Tanah Papua telah menambah eskalasi konflik bersenjata di Papua, dan menimbulkan berbagai kasus kekerasan baru. Dewan Gereja Papua menyatakan pengiriman tambahan pasukan itu terjadi sejak 2019, dan diperkirakan ada lebih dari 10 ribu pasukan tambahan yang ditempatkan di Tanah Papua untuk menjalankan operasi keamanan.

Baca juga: Komnas HAM RI belum tentukan siapa saja yang berdialog, fokus turunkan angka kekerasan

“Kebijakan operasi militer terhadap Tanah Papua yang dimulai sejak Desember 2018 di Kabupaten Nduga, dan semakin meningkat pasca aksi Rasisme 2019, telah menciptakan konflik di enam wilayah yang distigma sebagai Daerah Rawan Konflik, yaitu Kabupaten Puncak Papua, Intan Jaya, Maybrat, Distrik Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo, dan Distrik Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang. Konflik kekerasan antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB masih terus berlangsung sampai saat ini. Akibat dari konflik itu, sekitar 60.000 warga sipil mengungsi ke wilayah terdekat, termasuk ke negara tetangga Papua Nugini,” kata Yoman.

Dewan Gereja Papua berpandangan proses menuju dialog juga harus didahului pemulangan puluhan ribu warga sipil dari berbagi kabupaten yang dilanda konflik bersenjata. “Kami mendesak pemerintah untuk mengembalikan pengungsi lokal yang berjumlah lebih dari 60.000 orang ke kampung-kampung mereka masing- masing,” kata Yoman.

Yoman menyatakan Dewan Gereja Papua juga telah mendapatkan informasi atau laporan berbagai kasus penyiksaan yang di lakukan oleh TNI/Polri. Situasi itulah yang membuat Dewan Gereja Papua berpandangan penarikan tambahan pasukan di Tanah Papua mendesak untuk dilakukan sebagai langkah awal menuju dialog.

Baca juga: PAHAM Papua: Komnas HAM RI tidak punya mandat untuk gelar dialog Jakarta – Papua

“Kami juga menerima laporan penyiksaan, pembunuhan kilat dan penghilangan paksa yang dialami umat, termasuk para hamba Tuhan di Ndugama, Intan Jaya, Pegunungan Bintang oleh personil TNI/Polri. Beberapa fasilitas milik warga jemaat maupun milik gereja telah diambil oleh pasukan TNI/Polri. Kami terus menyaksikan dan meratapi sengsara dan penderitaan jemaat kami di pedalaman Papua khususnya di enam wilayah yang telah kami sebutkan,” kata Yoman.

Dewan Gereja Papua juga menyatakan dialog Papua harus diawali dengan penghentian proses hukum terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dua aktivis HAM yang mengkritisi keterlibatan purnawirawan dan perwira tinggi militer dalam bisnis tambang di Papua. Penetapan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka pencemaran nama baik Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan itu dinilai bisa berdampak terhadap pembela HAM lain yang juga mengadvokasi situasi HAM di Papua.

Dewan Gereja Papua menyatakan Komnas HAM RI harus meraih dukungan dan melibatkan masyarakat sipil untuk menggelar dialog Papua. Jika dialog dipaksakan tanpa ada dukungan dari masyarakat sipil, Dewan Gereja Papua menilai lontaran dialog dari Komnas HAM RI itu hanya proyek pencitraan untuk mengalihkan opini publik dan masyarakat internasional terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.

Baca juga: Benny Wenda : Komnas HAM tak punya kapasitas, dialog sudah terjadi di MSG dan PIF

“Apabila tidak ada dukungan dari masyarakat sipil, kami menilai [wacana dialog itu] cara untuk mengalihkan opini publik dari sorotan dunia internasional terhadap pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua. Kami juga menilai langkah Komnas HAM itu ditempuh dalam rangka politik pencitraan Negara Indonesia,” kata Yoman.

Dalam forum yang sama, Presiden Gereja Injili di Indonesia, Pdt Dorman Wandikbo mempertanyakan langkah Komnas HAM RI yang secara tiba-tiba melontarkan wacana dialog Papua. Wandikbo menyatakan selama ini Komnas HAM RI terlihat diam, lalu saat Pemerintah Indonesia disoroti masyarakat internasional tiba-tiba muncul wacana dialog Papua.

“Selama ini Komnas HAM di mana.? Banyak kasus yang sudah ada, yang terjadi di tanah Papua,” kata Wandikbo.

Wandikbo kembali menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab memulangkan 60 ribu Orang Asli Papua yang mengungsi karena konflik bersenjata di berbagai wilayah. Ia menyatakan Komnas HAM RI harus mengurus pemulangan para pengungsi itu sebelum menjalankan proses dialog. “Sebelum melakukan dialog itu, Komnas HAM harus kembalikan 60 ribu pengungsi yang masih ada di luar  itu ke kampung mereka masing-masing,” katanya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply