Dewan Gereja Papua apresiasi langkah Dewan HAM PBB surati Indonesia

Dewan Gereja Papua
Para pimpinan Dewan Gereja Papua, Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman (paling kiri), Pdt Benny Giay (tengah), dan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo (paling kanan) saat menyampaikan seruan Dewan Gereja Papua di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Senin (21/3/2022). - Jubi/Yance Wenda

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua mengapresiasi langkah Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Dewan HAM PBB yang mengirimkan surat permintaan klarifikasi kepada pemerintah Indonesia terkait situasi HAM di Papua. Dewan Gereja Papua meminta pemerintah Indonesia berhenti menyangkal terjadinya berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Hal itu dinyatakan Dewan Gereja Papua dalam keterangan pers di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (21/3/2022). “Kami mengapresiasi surat permintaan klarifikasi kepada pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dalam Bidang Penghilangan Paksa, Penyiksaan, dan Pengungsian. Demikian juga surat pernyataan terbuka Dewan HAM PBB pada Februari 2022 sehubungan dengan penyiksaan kepada tujuh orang anak di Kabupaten Puncak,” kata Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman saat membacakan pernyataan resmi Dewan Gereja Papua.

Read More

Yoman menyatakan Dewan Gereja Papua berharap Dewan HAM PBB menindaklanjuti upaya klarifikasi itu dengan berkunjung ke Tanah Papua. “Kami mendesak Dewan HAM PBB untuk berkunjung ke Tanah Papua, supaya melakukan investigasi secara langsung dan menyeluruh atas situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua,” kata Yoman.

Baca juga: Dewan Gereja Papua tolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua

Dewan Gereja Papua menyatakan mengutuk sikap pemerintah Indonesia yang terus menyangkal adanya berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Dewan Gereja Papua menyatakan sangkalan Indonesia itu tidak memperbaiki situasi HAM Papua, dan kasus kekerasan baru justru terus bermunculan.

“Selama 59 tahun, kami menyampaikan kekecewaan, kesedihan, kemarahan kami atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak jujur dan objektif dalam menjawab pertanyaan dari para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia, tentang situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Kami mengutuk sikap pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri yang terus-menerus menyangkal fakta adanya pembunuhan kilat, penyiksaan, pengungsian dan penghilangan yang dilakukan TNI/Polri terhadap umat Tuhan di Tanah Papua,” kata Yoman.

Dewan Gereja Papua menyampaikan keprihatinan yang mendalam dan turut berduka cita kepada keluarga tujuh orang anak yang menjadi korban penyiksaan di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, pada 22 Februari 2022, terlebih salah satu anak itu, Makilon Tabuni meninggal dunia. Dewan Gereja Papua juga menyampaikan rasa duka citanya untuk keluarga dua demonstran yang meninggal dunia dalam demonstrasi tolak pemekaran Provinsi Papua di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo pada 15 Maret 2022 lalu, yaitu Yakob Meklok dan Esron Weipsa.

Baca juga: Dewan Gereja Papua: Tarik pasukan dan pulangkan pengungsi dulu, baru dialog 

Rasa duka cita yang sama disampaikan Dewan Gereja Papua kepada keluarga dan kerabat delapan pekerja PT Palapa Timur Telematika yang tewas ditembak kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, pada 2 Maret 2022. “Kami juga menyampaikan turut berduka cita yang mendalam kepada keluarga delapan korban,” kata Yoman.

Menurut Yoman, Dewan Gereja Papua melihat adanya berbagai upaya Negara untuk menyelesaikan konflik di Papua, termasuk dengan mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dewan Gereja Papua juga terus mengikuti upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI mengajukan beras kasus Paniai Berdarah 2019 ke Kejaksaan RI, maupun gagasan dialog Papua yang disampaikan Komnas HAM.

Meskipun begitu, Dewan Gereja Papua juga mengkritisi gagasan dialog yang dilontarkan Komnas HAM RI itu.  Dewan Gereja Papua menilai proses menuju dialog itu harus diawali dengan penarikan tambahan pasukan TNI/Polri di Papua, serta pemulangan puluhan ribu warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di Papua.

Baca juga: MRP mengapresiasi laporan ahli HAM PBB, sebut fakta tak bisa disembunyikan lagi

“Kami menilai [dialog] harus diawali dengan langkan penarikan militer dari Tanah Papua, termasuk menghentikan penambahan pasukan. Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, kami tetap konsisten mendesak dilakukannya dialog antara pemerintah Indonesia dengan United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP. [Itu] seperti yang telah di lakukan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka dalam penyelesaian konflik Aceh,” kata Yoman.

Dewan Gereja Papua menyampaikan terima kasih mereka kepada berbagai pihak yang terus menyuarakan situasi HAM dan konflik di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua meyakini persoalan Papua hanya bisa diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang peduli atas nasib Orang Asli Papua.

“Kami menyampaikan terima kasih kepada semua umat dan pemimpin Gereja, politisi, tokoh adat, akademisi, media massa di Indonesia, Melanesia, Asia, Pasifik, Australia, Aotearoa-Selandia Baru, Uni Afrika, Karibia, Uni Eropa, Amerika Serikat yang telah menjadi Simon dari Kirene, berjalan bersama kami memikul salib Bangsa Papua. Salib yang kami pikul masih berbeban berat.Jalan yang kami lalui masih tertatih-tatih, penuh duri di tubuh kami. Karena itu kami tetap membutuhkan solidaritas dan dukungan seluas-luasnya,” kata Yoman.

Baca juga: PBB serukan buka akses kemanusiaan mendesak ke Tanah Papua

Dalam forum yang sama, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo mempertanyakan peranan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI untuk memperbaiki situasi HAM di Papua. Wandikbo juga mempertanyakan Komnas HAM RI yang tiba-tiba melontarkan wacana dialog untuk menyelesaikan masalah Papua.

Wandikbo menyatakan Komnas HAM RI seharusnya juga bersuara menyikapi rencana pemerintah memekarkan provinsi di Tanah Papua, dan berbagai rencana TNI/Polri untuk menambah satuan teritorial di Tanah Papua.

“Komnas HAM punya kewenangan untuk menolak pemekaran. Komnas HAM juga punya kewenangan untuk menarik operasi militer, dan menarik pasukan non organik. Hal itu yang Komnas HAM [harus] lakukan,” ujarnya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply