Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Siorus Degei*
Selain kualitas manajerial dan spesialisasi pemain, agaknya fenomena “pontang-pantingnya” Persipura Jayapura merupakan sebuah setingan aktor invisible hand neokolonialis NKRI sebagai strategi pengalihan isu dan pembaruan opini publik Papua, demi suksesi misi dekolonisasi dan depopulasi di Papua menuju ambang ekosida dan genosida.
Elite dan investor oligarkis di Jakarta tahu dan sadar bahwa banyak agenda strategis yang mesti diloloskan di Papua. Kita sebut saja, Otsus Jilid II, pemekaran, KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) pengadilan HAM, eksploitasi SDA, dan pelbagai program nasional lainnya.
Jakarta pandai belajar dari sejarah. Acapkali ragam program digelontorkan ke Papua. Mayoritas direspons dengan rangsangan represif dari rakyat Papua. Orang Papua selalu menolak program nasional yang bertendensi mengancam eksistensinya.
Baca juga: Semangat anak-anak “kaki abu” di rutan Polda Papua
Berkaca dari semua ini, maka pemerintah mesti punya treatment solutif untuk mengelabui konsentrasi masyarakat Papua. Untuk itu, rupanya ragam cara ditempuh oleh Jakarta (pemerintah pusat).
Beberapa diantaranya, rupanya telah sukses meraup opini dan konsentrasi masyarakat Papua. Penangkapan dan penahanan juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat Victor Yeimo dengan jurus manipulasi hukum, PON XX 2021 dan Peparnas XVI Papua, pembangunan konstruksi smelter, operasi militer (Maybrat, Kiwirok, Intan Jaya, Ndugama, Puncak, dan Yahukimo) dan degradasi Persipura.
Penulis akan lebih berfokus pada strategi terakhir, yakni degradasi Persipura dan Liga 2 sebagai strategi pelegalan dekolonisasi dan depopulasi “neokolonialis NKRI” di Papua.
Persipura di BRI Liga 1 2021-2022
Berdasarkan data klasemen sementara putaran kedua Liga 1 BRI 2021-2022, dari 18 klub yang berkompetisi, Persipura Jayapura menduduki posisi ke-16 densinigvieraup 22 poin, dibawahnya ada Persela Lamongan (19 poin), dan Persiraja Banda Aceh (12 poin). Klasemen sementara dipimpin oleh Arema FC (52 poin), Bali United (51 poin), dan Bhayangkara FC 50 poin (bola.com, Klasemen BRI Liha 1 2021/2022).
Data di muka menunjukkan bahwa klub kesayangan orang Papua berjulukan “Mutiara Hitam” itu di ambang zona degradasi. Banyak pihak hampir pasti mempunyai multi perspektif dan argumentasi untuk mengupas isu ini.
Menurut Benhur Tommy Mano, Ketua Umum Persipura Jayapura, beberapa hal ikhwal yang melatarbelakangi kemerosotan kuantitas dan kualitas permainan Persipura di Liga 1 BRI.
Baca juga: Perjuangan Viktor Yeimo menurut perspektif moral Immanuel Kant
Pertama, masih banyak pemain senior yang mengalami cedera dan absen main, seperti, Ricky Kayame, Motta, Imanuel Rumbiak, dan Ian Luis Kabes;
Kedua, pasca vakum selama masa pandemi banyak pemain yang dikontrak oleh tim nasional Indonesia dan tim lain, semisal Tibo, dan Osvaldo Hai;
Ketiga, ada juga pemain yang sedang menjalani masa karantina mandiri, sehingga tidak sempat menguatkan squad. Jadi, kendala paling empiris yang menyebabkan merosotnya track record Persipura ialah kurangnya personil yang memperkuat skuad tim kesayangan bangsa Papua ini (beritapapua.id, 4/11/2021).
Menurutnya, kendala tim saat ini adalah tim belum pernah lengkap atau utuh, karena sebagian pemain ada yang mengalami cedera dan 3 pemain lainnya mendapatkan panggilan utama ke tim nasional Indonesia.
Baca juga: Hentikan pemekaran, segera gelar dialog Jakarta – Papua!
Hemat penulis, selain itu, ada dua hal penting yang menyebabkan terpuruknya Persipura, yakni dikeluarkannya Boaz Solossa dan Tinus Pae, serta iklim internal manajemen Persipura yang bercokol dengan pihak-pihak yang ngotot melengserkan Persipura dari panggung persepakbolaan elite Indonesia.
Pertama, Boaz dan Tinus dikeluarkan secara tidak terhormat oleh manajemen Persipura lantaran pelanggaran interdisipliner. Pasalnya, keduanya sempat mabuk dan berperang bersama pelatih, Jacksen F. Thiago. Alhasil, keduanya tanpa intervensi apapun dikeluarkan secara tidak terhormat (Suarapapua.com, 6/7/2021)
Boaz Solossa dan Tinus Pae merupakan pemain profesional yang selalu menjadi tulang punggung permainan Persipura di setiap ajang kompetisi. Terlebih Boaz Salossa, kita semua harus sadar bahwa Boaz adalah roh permainan Persipura. Ia adalah arsitek permainan yang membuahkan Persipura selalu memanen kemenangan di setiap kompetensi, baik nasional, maupun internasional (Suarapapua.com, 23/7/2021).
Baca juga: Ideologi Papua merdeka bukan “jenaka” di Jakarta
Perlu dicatat secara kritis bahwa setiap klub sepak bola tidak pernah tidak memiliki pemain yang dijagokan dan motor penggerak. Ada Lionel Messi di Barcelona (sebelum berpindah ke PSG Paris), Cristiano Ronaldo di Real Madrid (sebelum berpindah ke Juventus dan Manchester United), dan lain-lain.
Teruntuk di Persipura, selain Boaz Solossa, belum ada pemain pengganti yang sanggup mengapit spirit Mutiara Hitam itu dengan begitu tersohor. Bahwa roh di balik kejayaan Persipura selama ini, sehingga seluruh tampil sebagai “Fajar Timur” yang mengharumkan fitrah dan marwah bangsa Papua lebih khusus, dan Indonesia timur secara umum, yang notabenenya teramat terbelakang dan kerdil dalam perspektif politik diskriminatif Jakarta.
Mambesak dan Persipura, Boaz Salossa dan Arnold Ap
Pada pertengahan Orde Lama dan sepanjang Orde Baru terjadi operasi militer yang membabi-buta di Papua, Poso, Timor Leste, dan Maluku. Operasi militer di Papua, antara lain:
Pada Orde Lama ada Operasi Winimurti (I, II, II, IV) pada masa Pagdam Brigjen Rukman-Brigjen R. Kartodjo, dilanjutkan Operasi Giat, Tangkas, dan Sadar pada tahun 1964-1965, Bharatayudha 1966-1967 di bawah pimpinan Brigjen Bintaro, Wibawa 1967-1969 di bawah pimpinan Sarwo Edhie Wibowo.
Korban orang asli Papua (OAP) yang berjatuhan berkisar dua sampai tiga ribu jiwa. Sekitar lima ribu OAP mengungsi ke Papua Nugini (PNG). Wilayah operasi di Manokwari-Sorong Raya, Paniai dan sekitarnya, Jayapura, Biak, dan Merauke .
Operasi militer di Orde Baru, seperti, Operasi Pamungkas 1971 (Brigjen Acup Zainal), Koteka 1977 (Brigjen Imam Munandar), Sapu Bersih 1878-1982 (Brigjen Ci Santoso), Sate 1984 (Brigjen RKRK Sembiring Meliala), Gagak-I 1985-1986 (Brigjen H Simanjuntak), Gagak-II 1986-1987 (Brigjen Mayjen Setiana), Kasuari I 1987-1988 (Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar), Rajawali I 1989-1990 (Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar), Rajawali II 1990-1991 (Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar), Rajawali III (Mayjen I Ketut Wardhana), pengamanan daerah rawan (Mayjen Amir Sembiring). Jumlah korban sekitar 100 ribu jiwa (LB3BH Manokwari dan Yalle University), 600 ribu jiwa (Tom Beanal), 500 ribu (Benny Wenda), 1,5 juta jiwa (Yakobus E. Dumupa), sedangkan 40 ribu . mengungsi ke PNG, negara-negara Melanesia, Australia, dan Eropa. Wilayah operasi meliputi Sorong-Manokwari, Biak, Supiori, Serui, Jayapura, Keerom, Merauke, Boven Digul, Timika, Wamena, dan sekitarnya.
Baca juga: Menatap Pemilu 2024 dengan penuh kasih sayang
Operasi-operasi militer di atas sangat menggores luka yang teramat dalam di sanubari bangsa Papua. Memoria Passionis pun tak terelakkan hingga hari ini.
Di tengah-tengah krisis humanis itu, pada 1978 muncul grup musik tradisional bernama Mambesak (Burung Cenderawasih, bhs. Biak), personil grup musik, tari, mob, dan cerita rakyat Papua proto yang mengangkat harkat dan martabat orang Papua, yang menjadi korban operasi ialah Arnold Ap, Demianus Kurni, Constantinopel Ruhukail dan kawan-kawan.
Arnold Ap dan kawan-kawan dari Mambesak tampil menimbulkan secercah harapan bagi orang Papua yang nyaris tertutup tabir kedukaan dan keterpurukan. Musik, tari dan mop hadir sebagai oase.
Optimisme terlihat di balik mata setiap orang Papua yang menyaksikan dan mendengarkan hasil karya seni Mambesak. Mata yang tadinya membinar tangisan lara nestapa, hati yang tadinya terkhusyuk rasa kabung, dan nalar yang tadinya terasuk sukma karena kehilangan yang ambigu, seakan berubah drastis menjadi kekuatan untuk menunjukkan eksistensi sebagai bangsa yang bermartabat sebagaimana bangsa lainnya (Tirto.id, 26/4/2021).
Baca juga: Karya malpraktik di Papua dan penentuan nasib sendiri
Mambesak benar-benar hadir dengan cahaya kehidupan yang menyelamatkan peradaban bangsa Papua yang hampir tertelan rezim otoriter.
Kendati pun demikian, kenyataan di wilayah koloni, tak berujung manis sebagaimana akhiran lirik lagu ciptaan Arnold dan kawan-kawan. Rupanya, pemerintah sudah mulai terusik dan tersiksa dengan setiap lirik lagu yang sampai di telinganya dan realita kebangkitan bangsa, yang menurutnya akan terkubur hidup-hidup bersama tulang-belulang.
Eksistensi Mambesak mulai secara salah kaprah diterjemahkan oleh rezim Soeharto sebagai kebangkitan pergerakan Papua merdeka. Mambesak mulai dipolitisir, sehingga eksistensinya mulai terancam. Mereka mulai diincar bak hewan buruan.
Hal ini mungkin nampak dalam sebuah lagu fenomenal yang diciptakan oleh Arnold Ap dalam penjara dengan judul “Hidup Ini Suatu Misteri”. Lagu ini melukiskan gambaran hidup orang Papua yang mendambakan kebebasan, tetapi selalu salah dipahami oleh penguasa dan tenggelam sebagai buruan. Akhirnya pada 26 April 1984 Arnold Ap sebagai musisi jenius asal Papua, intelektual dan tokoh kunci Mambesak tutup usia secara tragis di tangan militer Indonesia (Yasonngelya.blogspot.com, 25/4/2020).
Baca juga: Fenomena komunitas lokal “gadungan” di Papua
Mengapa penulis mengenang kembali kiprah Mambesak dalam sejarah peradaban orang Papua? Persipura merupakan manifestasi konkret dari neo-Mambesak atau alter-Mambesak.
Melalui Persipura harkat dan martabat orang Papua dihormati dan dihargai. Melalui permainan sepak bola yang indah, elok dan khas, serta kemenangan-kemenangan Persipura selama ini, maka paling kurang penderitaan, penindasan dan penjajahan yang selama ini dialami oleh orang Papua sedikit banyaknya telah terobati.
Jadi, jika dulu Mambesak hadir mengobati melodi prahara dan lara nestapa dalam kalbu dan hati orang Papua akibat rezim Soeharto, kini Persipura juga hadir mengobati luka orang Papua.
Namun penulis sangat menyangsikan bahwa rupanya Jakarta tahu dan sadar akan persoalan ini. Jakarta juga, sepertinya stres ketika menyaksikan aksi heroik dari Didier Drogba Sang Pahlawan–Kapten Timnas Pantai Gading–yang menyerukan perdamaian bagi rakyatnya yang terlibat perang saudara untuk meletakkan senjata, saling memaafkan dan mulai hidup damai (Panditfootball.com, 11/3/2018).
Baca juga: Pemekaran itu ambisi Jakarta
Dengan ragam kontak senjata di Papua mulai tahun 2019 hingga hari ini, barangkali membuat Jakarta khawatir kalau-kalau hal yang pernah dibuat oleh Didier Drogba, dibuat juga oleh Boaz dan rekan-rekannya di Persipura.
Atau lebih daripada itu, Jakarta khawatir bahwa misinya untuk membuat galau bangsa Papua seumur hidup itu gagal, sebab masih ada Persipura yang terus mematri dan merangsang semangat dan optimisme dalam diri orang Papua, sehingga alternatif solusi yang mau tidak mau, harus ditempuh oleh Jakarta ialah melengserkan Persipura dari persepakbolaan Indonesia.
Maka mendegradasi dan menumbangkan Persipura adalah sebuah misi khusus yang telah didesain rapi. Pada akhirnya sama seperti Mambesak, Persipura juga akan lepu (leher putus: kritis).
Kurang lebih, apa yang dialami oleh Boaz Salossa, dkk. serupa dengan apa yang dialami oleh Arnold Ap. Bahwa Arnold Ap adalah roh di balik kejayaan Mambesak.
Baca juga: Perpanjangan otsus dan pemekaran sepihak, bukti Indonesia jajah Papua
Persis seperti kiprah Boaz Solossa, ia adalah roh Persipura, tetapi ia dibunuh secara mental dan spiritualnya dari Persipura, lantaran perkara kerupuk.
Ini sudah sangat menegaskan bahwa memang antek-antek elite dan investor oligarkis Jakarta yang bertopeng di dalam manajemen Persipura mencari kesempatan untuk “membunuh” Boaz, sebab jika Boaz “mati” maka Persipura juga akan “mati”.
Strategi itu berjalan mulus. Untuk keluar dari tempurung ini ada tiga hal penting yang mesti diperhatikan.
Pertama, memanggil kembali Boaz Salossa sebagai roh Mutiara Hitam; Kedua, perlu rekonsiliasi internal manajemen dan eksternal pemain; saling evakuasi, koreksi, diskusi, dan menyamakan dan menyatukan tekad; Ketiga, ciri khas kepapuaan sebagai identitas Persipura mesti diperhatikan; manajemen dan pemain harus berwatak asli Papua, dalam artian roh Persipura yang hilang selama ini, itu dikembalikan dengan mengembalikan Boaz dan adanya rekomendasi komprehensif di dalam maupun di luar Persipura. Hanya dengan jalan seperti ini, kita bisa mengembalikan fitrah dan marwah Mutiara Hitam dan sang Fajar Timur. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten