Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Yosep Riki Yatipai*

Pada 15 Juli 2021, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua resmi disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna di DPR. Pengesahan itu sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan lompatan kemajuan kesejahteraan di Provinsi Papua (Tirto.id, 28/1/2022).

Presiden berniat baik terhadap OAP secara retoris. Namun kenyataannya ujaran itu hampir bukan sebuah solusi atas berbagai persoalan di Tanah Papua. Pemerintah justru memberikan konflik baru dengan pemekaran dan pembangunan fisik saja. Dalam hal ini, pemerintah tidak mencintai dan memandang OAP sebagai manusia yang sama derajatnya dengan yang lain.

Orang asli Papua (OAP) tidak membutuhkan pemekaran di atas praktik kekerasan, pelanggaran HAM, pembungkaman ruang demokrasi, eksistensi yang terancam punah akibat dominasi (imigran), rasialisme, dan berbagai konflik bersenjata. Pemekaran bukan keinginan dan harapan OAP.

Namun pemekaran merupakan keinginan segelintir elite politik Papua dan Jakarta atas sumber daya alam (SDA) Papua. Sekalipun kepentingan tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat Papua, OAP sama sekali tidak membutuhkan uang, bangunan dan kedudukan. Orang Papua membutuhkan rasa hormat terhadap harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan (Kej. 1:26-27) di tanah leluhurnya yang dikeruk habis-habisan oleh aristokrasi negara dan pengusaha-pengusaha rakus.

Pemekaran di Papua

Dalam UU Otsus Papua terbaru, ketentuan pasal 76, perihal pemekaran wilayah diubah. Kini terdapat lima ayat dalam aturan tersebut. Misalnya, dalam ayat (3) menyebutkan, “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.

Artinya, ayat tersebut semakin mencerminkan bahwa UU Otsus Papua bersifat lex specialis derogat legi generali (the special law derogates from the general law atau undang-undang yang khusus menghilangkan nilai dari undang-undang yang umum; undang-undang khusus mengalahkan/mengenyampingkan undang-undang umum).

Baca juga: Perpanjangan otsus dan pemekaran sepihak, bukti Indonesia jajah Papua

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan berpendapat, formula pasal 76 UU Otsus baru sama dengan UU Otsus lama, yakni atas persetujuan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (Tirto.id, 28/1/2022).

Sekalipun UU Otsus baru sama dan lebih kuat dengan UU Otsus lama, harapan OAP tidak akan pernah terwakili melalui MRP dan DPRP, sebab, suara MRP dan DPRP dibungkam oleh pemerintah pusat dengan pengambilan keputusan sepihak.

Selama 20 tahun implementasi otsus di Tanah Papua tidak mendapatkan hasil yang memuaskan dan tidak menyelesaikan konflik, baik konflik vertikal, maupun konflik horizontal.

Secara sarkastik juga Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyatakan bakal menambah tiga wilayah baru di Papua, sehingga ke depan terdapat lima provinsi. Selain itu, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menjelaskan, ada beberapa aspirasi pemekaran di Papua dan Papua Barat. Aspirasi itu ialah pemekaran wilayah menjadi Provinsi Papua Tabi Saireri, Provinsi Pegunungan Tengah, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Barat, serta Provinsi Papua Barat Daya.

Baca juga: Merosotnya ruang demokrasi di Papua

Pernyataan serupa tidak berkaidah dan berdasar, sebab pemerintah menyinggung perasaan OAP dengan kebijakan yang tidak bersifat diskusif terhadap pemilik hak ulayat dan mendapat tanggapan dari LIPI.

Adriana Elisabeth, peneliti LIPI, mengatakan situasi konflik yang masih terjadi di Papua akan menyulitkan rencana pemekaran wilayah atau DOB (daerah otonomi baru), meski pemerintah sudah membuat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua (Suara.com, 28/1/2018).

Kemudian peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas mengatakan, seharusnya MRP itu didengar oleh pemerintah. Bukan hanya karena itu kewajiban undang-undang, melainkan karena MRP yang memaham situasi dan kondisi Papua.

Bila MRP enggan menerima usulan pemekaran, maka rencana itu sebaiknya ditunda saja. Jika dipaksakan, maka rakyat Papua bakal semakin curiga ada maksud jahat, entah itu kepentingan politik, eksploitasi sumber daya, atau kontrol keamanan (Tirto.id, 28/1/2022).

Baca juga: Demi demokrasi, Presiden Jokowi harus hentikan kriminalisasi Haris-Fatia

Pemerintah terkesan tergesa-gesa menanggapi soal Papua. Papua bukan hanya soal pembangunan infrastuktur. Ada soal lain di Papua yang saling terkait dan belum direspons secara terbuka oleh pemerintah.

Pemerintah melihatnya dalam semangat palsu pemekaran Papua, karena luasnya wilayah dan perlu adanya percepatan pembangunan, serta upaya memperteguh keutuhan wilayah Indonesia.

Secara tidak langsung, pemerintah sedang membangun konflik baru dan tidak sama sekali menjawab harapan terdalam dari OAP. Hal ini juga justru akan menimbulkan pergesekan kebudayaan, sosial kultural, dan eksistensi OAP di tanah leluhurnya.

Rupanya pemerintah sedang menunjukkan kewibawaannya sebagai sebuah negara hukum yang kapasitas kemanusiaannya nihil dan absurd. Dengan kata lain, pemerintah sedang menanamkan ideologi kapitalisme dalam tubuhnya.

Pemekaran hanya menambah luka dan konflik baru di Papua

Anggota DPR RI Gusnardi Gaus, yang juga anggota Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus (Otsus) Papua mengatakan, UU Nomor 2 Tahun 2021 dibuat pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan di berbagai sektor di Papua, seperti di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, infrastruktur dan lain sebagainya (Suara.com, 28/1/2022).

Banyak yang merespons dan mendukung pemekaran tersebut. Namun tak sedikit pula yang menolaknya, salah satunya MRP. Lembaga ini dengan tegas menyatakan tidak menginginkan pemekaran sebelum ada aspirasi dari warga orang asli Papua (mrp.papua.go.id, 28/1/2022).

Ketua MRP Timotius Murib mengatakan, pemekaran wilayah terlalu dipaksakan, meskipun sebenarnya baik untuk dilakukan. Karenanya, perlu evaluasi menyeluruh terhadap penerapan otsus selama 20 tahun terakhir, yang diatur dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001. Hal ini ditanggapi perwakilan adat Papua, sebagaimana pemekaran semestinya dibangun dengan berdasarkan pada kesiapan kesehatan, ekonomi, dan pendidikan merata di Papua.

Baca juga: Empat negara boneka ala Peter W. Botha dan 5 provinsi ala Jokowi

Menurut Murib, jika mengacu pada Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka syarat sebuah pemekaran dilakukan berdasarkan rekomendasi dari gubernur, MRP dan DPRP.

Namun, setelah dilakukan perubahan hingga akhirnya ditetapkan Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dalam perubahan ini, kewenangan tersebut disederhanakan, kemudian menjadi tanpa rekomendasi MRP.

Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda mengatakan sejak pertama kali Papua Barat (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) dikuasai Indonesia tahun 1960-an, lebih dari 500 ribu warga menjadi korban genosida. Jim Elmslie, akademisi dari University of Sydney juga mengatakan, secara demografi OAP terancam punah. Jumlahnya terus menurun, terutama di perkotaan. Ia menyebut ini sebagai ‘slow-motion genocide’ (Tirto.id, 28/1/2022).

Pemekaran ini kerap kali tak melibatkan masyarakat Papua, pola yang sejak dahulu tidak berubah. Bahkan evaluasi dari pemekaran pun tak ada, misalnya, dari kelahiran provinsi Papua Barat atau kabupaten. Akibatnya adalah tidak ada kemajuan sama sekali dan hanya menguntungkan kelompok elite politik.

Pemekaran harus dibatalkan

Pemekaran wilayah di Papua sebenarnya dilakukan untuk memudahkan investor masuk untuk mengelola sumber daya alam Papua, yang keuntungannya bakal diambil oleh pemerintah pusat, bukan untuk membangun manusia Papua.

Sekalipun pemekaran itu tetap dilaksanakan, jika regulasi tidak memihak rakyat Papua, maka itu mengakibatkan kerugian dan mengungkapkan ambisi Jakarta terhadap Papua.

Dalam hal ini, dialog antara Jakarta dengan Papua hendaknya dilakukan. Dialog itu mesti dipandu oleh iman dan dijiwai oleh cinta yang mendamaikan, bukan menghancurkan kesatuan dan persatuan kemanusiaan itu sendiri.

Sebagaimana dialog terus diupayakan oleh LIPI dan JDP (Jaringan Damai Papua), pemerintah dan rakyat Papua semestinya berdiskusi untuk mencarikan jalan keluar bersama, yang menyejukkan dan tidak merugikan antara satu dengan yang lainnya. (*)

* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply