Bupati Jayapura: Dualisme regulasi otonomi membuat Otsus Papua terseok-seok

Kebebasan Sipil di Papua
Poster diskusi daring "Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua" yang diselenggarakan Koalisi Kemanusiaan Papua pada Minggu (4/7/2021). - IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw menyatakan dualisme regulasi antara Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah membuat Otonomi Khusus atau Otsus Papua terseok-seok. Hal itu dinyatakan Awoitauw selaku pembicara dalam diskusi daring Koalisi Kemanusiaan Papua bertajuk “Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua” pada Minggu (4/7/2021).

“Kami [di tingkat pemerintah kabupaten/kota] tidak merasa dampak dari Otsus Papua, sebab yang berlaku di daerah [kabupaten/kota] adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah, bukan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Padahal masyarakat adat [di Papua] harus dilindungi dan diproteksi  berdasarkan kewenangan khusus itu ada di daerah [kabupaten/kota]. Itu kesulitan yang luar biasa. Dualisme aturan itu membuat Otsus Papua berjalan terseok-seok,” kata Awoitauw.

Read More

Awoitauw mengatakan banyak kewenangan khusus yang tidak dilaksanakan atau tidak memiliki aturan pelaksanaan. Pemerintah Kabupaten Jayapura bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayapura berusaha membuat terobosan untuk mengatur hak masyarakat adat di wilayahnya, kendati Peraturan Daerah Khusus tentang itu belum ada.

Baca juga: Evaluasi Otsus Papua wewenang MRP, bukan wewenang pemerintah pusat

“Pemerintah kabupaten/kota melakukan sesuiai dengan peraturan daerah yang ada. Itu seharusnya dikawal oleh Pemerintah Provinsi Papua, karena [kewenangan] Otsus Papua itu ada di Pemerintah Provinsi Papua. Kami, [pemerintah kabupaten/kota] berjuang sendiri untuk mengimplementasikan amanat UU Otsus Papua. Kami bicara hak hak masyarakat adat kepastian hukumnya di mana? [Bagaimana] implementasinya,” kata Awoitauw.

Awoitauw mencontohkan Pemerintah Kabupaten Jayapura mengidentifikasi sembilah wilayah adat di Kabupaten Jayapura. Identifikasi itu termasuk menentukan batas wilayah, sumber daya alam di setiap wilayah, kelembagaan adat di setiap wilayah, serta sejarah dan asal-usul masyarakat adat setempat.

“Tim yang mengidentifikasi  [ditunjuk] kepala daerah, terdiri dari akademisi, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah daerah. Apa yang kami lakukan  itu amanat UU Otsus Papua,” kata Awoitauw.

Baca juga: Ketua MRP: Wajah demokrasi Papua semasa Otsus tetap buruk

Menurutnya, belum semua pemerintah kabupaten/kota melakukan identifikasi serupa itu. Padahal, identifikasi data sosial dan data spasial itu penting untuk bisa merumuskan aturan perlindungan masyarakat adat di Papua. Data etnografi masyarakat adat di Papua justru lebih banyak dimiliki Gereja-gereja di Papua, termasuk Summer Institute of Linguistics yang menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah di Papua.

“Amanat Otsus itu sendiri tidak kita identifikasi secara baik supaya hak masyarakat adat terlindungi. Itu kekurangan kami di daerah.  Akan tetapi, pengawasan dari pusat juga lemah, tidak mendorong penerapan pasal-pasal yang ada dalam UU Otsus Papua. Seharusnya setiap tahun dilakukan evaluasi, yang mengawasi pelaksanaan MRP,”katanya.

Ia menyatakan evaluasi pelaksanaan Otsus Papua tidak berjalan karena para pemangku kepentingan Otsus Papua saling mencurigai satu sama lain. Jika evaluasi tahunan Otsus Papua dijalankan secara rutin, pemerintah akan mudah merumuskan revisi UU Otsus Papua. “Kita bicara baik dan usulkan baik, agar apa yang belum dikerjakan dapat dikerjakan kemudan hari. Proses itu harus dilakukan, agar kita bisa mengukur kebijakan kita,” kata Awoitauw.

Baca juga: MK tunda gugatan MRP/MRPB karena COVID-19

Dalam diskusi yang sama, Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib menyatakan Otsus Papua gagal menyelesaikan empat akar persoalan Papua yang telah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Masalah kontroversi sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia misalnya, tidak terselesaikan. Berbagai konflik baru yang ditimbulkan kontroversi itu akhirnya dijawab dengan operasi militer yang juga menimbulkan masalah baru.

Persoalan stigma dan marjinalisasi orang asli juga tidak terselesaikan. Begitu pula dengan kegagalan pembangunan di Papua. “Empat masalah itu, sebagai mana telah dibicarakan LIPI, [harus dituntaskan] untuk mempercepat penyelesaian persoalan di Papua sejak diintegrasikan,”katanya.

Murib mengatakan 20 tahun pemberlakuan Otsus Papua juga tidak menyejahterakan orang asli Papua. Salah satu penyebabnya, berbagai kewenangan khusus yang diatur Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dibenturkan dengan otonomi daerah yang diatur Undang-undang Otonomi Daerah.

“MRP mengidentifikasi ada 26 kewenangan khusus yang diberikan [Otsus Papua] kepada pemerintah daerah. Dari 26 kewenangan khusus itu, hanya empat saja [yang] dilaksanakan. Yaitu, pembentukan lembaga kultural MRP, ada 14 kursi perwakilan wilayah adat di DPR Papua, Gubernur dan Wakil Gubernur harus orang asli Papua, dan [kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen] Dana Alokasi Umum [Nasional] yang sekarang dibicarakan. Sedangkan 22 kewenangan [khusus lainnya] teramputasi aturan sektoral,” kata Murib. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply