Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ketua United Liberation Movement for West Papua, Benny Wenda menyatakan referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat menjadi satu-satunya solusi yang adil, demokratis dan layak untuk Papua Barat atas konflik dan kekerasan di Tanah Papua. Hal itu dinyatakan Benny Wenda melalui siaran pers tertulisnya pada Senin (6/7/2020).
Siaran pers Benny Wenda itu menanggapi berkembangnya wacana tentang evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua serta revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Benny Wenda menyatakan pelaksanaan otonomi daerah maupun Otsus Papua tidak menghentikan praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua, sehingga tidak layak dilanjutkan.
“Selama 50 tahun, Indonesia terus menjanjikan ‘otonomi’ untuk Papua Barat, dan selama itu ‘otonomi’ dijalankan dengan penuh kebohongan, dan berlandaskan peluru dan pembunuhan rakyat Papua Barat. Dengan habis berlakunya UU tahun 2001 tentang Otsus Papua, ULMWP dan seluruh rakyat Papua Barat bersatu menentang ‘otonomi’ yang dikontrol oleh pemerintahan Indonesia. Hanya ada satu solusi untuk permasalahan kita, yakni referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat,” demikian siaran pers Benny Wenda.
Baca juga: Pansus otsus tidak akan menyelesaikan polemik Otsus 2021
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) mengatur berbagai kekhususan Otsus Papua. Kekhususan itu termasuk pembentukan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), melakukan klarifikasi atau pelurusan sejarah, dan kucuran Dana Otsus.
UU Otsus Papua tidak menentukan jangka waktu berlakunya Otsus Papua, namun mengatur jangka waktu kucuran Dana Otsus Papua. Aturan besaran Dana Otsus setara 2 persen Dana Alokasi Umum Nasional akan berakhir 2021, sehingga memunculkan wacana mengevaluasi dan merevisi UU Otsus Papua. Wacana evaluasi Otsus Papua dan revisi UU Otsus Papua itulah yang ditolak Benny Wenda.
Dalam siaran persnya, Benny Wenda menyatakan penguasaan pemerintah Indonesia atas wilayah Papua Barat didasarkan kepada proses Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang direkayasa. Rakyat Papua Barat dijanjikan pemerintah Indonesia akan diberi status daerah otonomi.
Baca juga: Pemuda 7 wilayah adat di Papua nyatakan tolak Otsus dan segera gelar referendum
“Setelah diberikan status ‘otonomi’ ini, rakyat Papua Barat ditindas selama 30 tahun. Ratusan ribu rakyat Papua Barat, termasuk sebagian besar keluarga saya, dibunuh oleh militer dan polisi Indonesia. Dari operasi militer brutal di dataran tinggi Papua dari tahun 1977 – 1981 (Operasi ‘Koteka’ dan Operasi ‘Kikis’), sampai pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan massal yang terjadi di Biak pada tahun 1998, ‘otonomi’ palsu ini digunakan untuk menutupi suatu genosida besar-besaran,” demikian siaran pers ULMWP.
Wenda menyatakan menjelang milenium baru pada 2000, rakyat Papua Barat dengan damai menuntut hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, demi mengakhiri 30 tahun penindasan Indonesia. Indonesia menjawab tuntutan itu dengan membuat UU Otsus Papua.
“Pemerintah Indonesia berjanji kepada rakyat Papua Barat dan dunia internasional bahwa mereka akan memfasilitasi pembangunan dan demokrasi di Papua Barat, dan kemudian akan meninjau kembali perkembangan di Papua Barat setelah 20 tahun,” ujar Wenda melalui siaran persnya.
Setelah 19 tahun berlalu, berbagai pihak di Papua telah menyatakan Otsus Papua gagal, karena pemerintah Indonesia tidak menjalankan mandat-mandat terpenting UU Otsus Papua. Sejak 2001 hingga 2020, pemerintah Indonesia belum membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan tumpukan kasus pelanggaran, dan belum membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk melakukan klarifikasi atau pelurusan sejarah Papua.
Baca juga: TPNPB Paniai tolak upaya memperpanjang pemberlakuan Otsus Papua
Benny Wenda menegaskan bahwa “di bawah ‘otsus’ ini, rakyat Papua Barat terus dibunuh, dipinggirkan dan disingkirkan. Lingkungan hidup, dan juga cara hidup tradisional rakyat Papua Barat, terus dihancurkan dalam sebuah proses ecocide. Gunung- gunung, sungai-sungai dan hutan-hutan di Papua Barat dimakan oleh tambang, dikeruhkan oleh polusi, dan dibabat habis. Kami, rakyat Papua Barat, dengan sepenuh hati menolak ‘otonomi’ dan ‘pembangunan’ yang diberikan oleh suatu pemerintahan kolonial yang menduduki tanah Papua secara ilegal,” ujar Wenda dalam siaran persnya.
Ia menyoroti berbagai kasus pelanggaran HAM baru yang terjadi pada masa pemberlakukan Otsus Papua. “Kita semua menyaksikan pembunuhan empat anak sekolah di Paniai pada tahun 2014. Kita menyaksikan invasi Nduga dan pembunuhan lebih dari 200 rakyat Papua Barat pada tahun 2019-2020. Kita bersama-sama merasakan penghancuran gerakan protes di Papua Barat pada tahun 2019, di mana enam pendemo damai ditembak mati … di Deiyai. Kita juga melihat ditempatkannya enam belas ribu tentara tambahan dari Indonesia, dan diputusnya internet di Papua Barat. Bahkan organisasi-organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia selama masa otsus, seperti MRP, juga menolak pembaharuan UU ini,” tulis Wenda.
Wenda menegaskan Indonesia tidak bisa melaksanakan ‘pembangunan’ di Papua di atas pembunuhan massal dan mayat rakyat Papua Barat. “Satu-satunya ‘otonomi’ yang berlaku di Papua Barat adalah ‘otonomi’ TNI dan polisi Indonesia untuk membunuh rakyat Papua. Hanya ada satu solusi yang adil, demokratis dan layak untuk Papua Barat: dipenuhinya hak rakyat Papua untuk menentukan pendapat sendiri melalui referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat,” tuntut Wenda.
Ia mencontohkan berbagai konflik politik yang diselesaikan dengan mekanisme referendum, seperti di Kaledonia Baru, Sudan Selatan, dan Bougainville. “Pemerintahan Perancis, Sudan dan Papua Nugini memberikan jadwal yang jelas kepada kelompok-kelompok pro-kemerdekaan untuk melaksanakan referendum kemerdekaan. Indonesia belum pernah mencapai suatu persetujuan dengan perwakilan rakyat Papua,” kata Wenda membandingkan.
Baca juga: Empat bidang ini menjadi prioritas evaluasi Otsus MRP
ULMWP memberikan enam tuntutan kepada pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2019, namun tuntutan itu diabaikan pemerintah Indonesia. Selaku Ketua ULMWP, Wenda menuntut pemerintah Indonesia secepatnya melaksanakan suatu referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat, yang dimediasi oleh dunia internasional. Tuntutan itu didasarkan kehendak dan kedaulatan rakyat Papua Barat, seperti yang ditunjukkan dalam petisi tahun 2017 yang ditandatangani oleh 1,8 juta rakyat Papua Barat.
“Referendum adalah solusi yang adil untuk rakyat Papua Barat, pendatang dari Indonesia di Papua Barat, negara tetangga, sahabat di kawasan Pasifik, dan juga untuk dunia internasional. Negara dan organisasi dunia seperti Uni Eropa, Bank Dunia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, dan Australia harus berhenti mendanai tentara pendudukan Indonesia dan proyek-proyek ‘pembangunan,’. [Mereka harus] bergabung bersama 79 negara di Kelompok Daerah Afrika, Karibia dan Pasifik yang menuntut penyelesaian akar permasalahan konflik di Papua Barat,” tulis Wenda dalam siaran persnya.
Ia menyeru kepada semua rakyat dan pemangku kepentingan politik di Papua untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. “Kepada semua rakyat Papua Barat: nasibmu ada di tanganmu. Saat ini, tindakanmu akan menentukan jalan Papua Barat dan nasib generasi yang akan datang. Bisa jadi anda adalah penduduk asli Papua Barat, atau pendatang dari Indonesia. Tetapi, apapun latar belakang anda, marilah kita semua bersatu untuk menolak kebohongan yang datang dari Jakarta, dan bersama-sama mendukung satu-satunya solusi untuk Papua Barat: referendum,” demikian siaran pers Benny Wenda.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G