Beban perempuan bertambah besar di tengah physical distancing

papua
Ilustrasi perempuan dan anak, pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Pekanbaru, Jubi – Pemerhati masalah perempuan dan anak, Lianny Rumondor menyebut beban perempuan bertambah besar selama physical distancing atau masa jaga jarak. Pada keluarga struktur sosial patriarki menjadikan perempuan dituntut berperan sebagai pengasuh, pendidik, memastikan kesehatan keluarga, hingga menyiapkan makanan.

Read More

“Kondisi ini bisa jadi pemicu kekerasan dan ketika perempuan dianggap tidak maksimal menjalankan tugasnya dan saat itulah kekerasan kerap dianggap wajar untuk kaum perempuan,” kata Lianny Rumondor, Rabu, (9/6/2020) kemarin.

Baca juga : Koalisi Perempuan dukung kebijakan Pemprov cegah wabah Covid-19 di Papua

Lapas perempuan dan anak akhirnya dibangun di Papua 

Persoalan perempuan dan anak asli Papua harus ditangani lembaga tersendiri 

Pernyataaan Lianny itu disampaikan menanggapi temuan Komnas HAM yang menyebutkan kekerasan rumahtangga meningkat saat Work From Home (WHF) meningkat 80 persen pada keluarga berpenghasilan dibawah Rp5 juta, anak kerap menjadi sasaran kekerasan karena konflik WHF dan SHF dan bagaimana sebaiknya mendidik anak saat SFH saat WFH itu.

Menurut lianny, situasi ini jadi semakin serius karena sebagian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan juga akan melibatkan kekerasan terhadap anak-anak dan remaja.

Pandemi Covid-19 dinilai mengubah setiap sisi tatanan kehidupan kita. Termasuk sejak pemerintah mengimbau masyarakat membatasi kegiatan di luar rumah dengan dan selalu menjaga jarak.

“Itu sekaligus menjadi bukti bahwa rumah belum tentu menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak,” kata Lianny menjelaskan.

Di masa pandemi saat ini perempuan dan anak  tak hanya rentan tertular virus, tapi juga rentan menjadi korban kekerasan. Banyak orang yang stress akibat di PHK sehingga tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidup mereka seperti biasanya. Sedangkan korban PHK maupun WFH adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan aktifitas di luar rumah dan terpaksa harus berada di rumah saja.

“Mereka menjadi jenuh, tentunya, katanya lagi stress dan mudah tersinggung. Keadaan inilah yang bisa menjadi faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya.

Lianny berharap para orang tua mampu mengelola stress sebaik-baiknya guna meminimalisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak di rumah. (*)

Editor : Edi Faisol

Related posts

Leave a Reply