Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pengacara publik dan pegiat lingkungan, Nur Amalia menyatakan ada berbagai modus atau cara yang digunakan perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat, melakukan dugaan pelanggaran dalam beroperasi.
Ia mengatakan, tim evaluasi perizinan perkebunan pemerintah daerah dan kementerian, lembaga menemukan sedikitnya 17 modus yang digunakan perusahaan perkebunan sawit di Papua.
Menurutnya, modus itu di antaranya, ada yang punya izin lokasi tapi tidak punya izin usaha perkebunan atau sebaliknya.
Ada yang punya izin lokasi, punya izin usaha perkebunan, tapi tidak punya izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Ada yang punya izin lokasi, punya izin usaha perkebunan, tapi tidak punya izin lingkungan. Ada yang punya izin lingkungan, tapi tidak punya izin usaha perkebunan.
“Ada yang punya izin usaha perkebunan, izin lokasi, izin lingkungan, tapi melanggar Peraturan Menteri Pertanian. Yang mana mesti mengalokasikan 20 persen lahan untuk plasma masyarakat. Harus menyiapkan sarana prasarana di kebunnya, mesti melakukan pembebasan lahan dan kesepakatan lahan dengan masyarakat adat,” kata Nur Amalia, Selasa (24/8/2021).
Menurutnya, sesuai aturan .estinya paling lambat dua tahun setelah dapat izin lokasi, perusahaan perkebunan sawit harus menyelesaikan pembebasan lahan dengan masyarakat adat.
“Akan tetapi, itu tidak dilakukan sebagian besar perusahaan. Sebagian besar perusahaan yang izinya dicabut Bupati Sorong, tidak memenuhi itu,” ujarnya.
Kata Nur Amalia, apabila perusahaan tidak bisa melakukan pembebasan lahan dengan masyarakat dalam waktu yang telah ditentukan, ini menandakan masyarakat tidak sepakat lahan mereka dijadikan perkebunan sawit.
“Makanya, saat Bupati Sorong mencabut izin empat perusahaan, masyarakat mendukung karena selama ini mereka tidak pernah menyetujui beroperasinya sawit di lokasi mereka,” ucapnya.
Ia mengatakan, ketika tim lintas sektoral di daerah, dan kementerian, lembaga mengevaluasi perizinan perkebunan sawit di Papua Barat beberapa waktu lalu, ditemukan ada perbedaan peta area lokasi perkebunan antara perusahaan dan instasi terkait.
Akan tetapi setelah diklarifikasi, kedua pihak kemudian dapat menyamakan perbedaan peta lokasi area perkebunan itu.
Selain itu katanya, ada perusahaan yang peta area izinnya benar, namun saat dicek ke lapangan mereka beroperasi di luar yang diberikan izin.
“Setelah dicek, dalam izin yang diberikan kawasan itu berada di lahan gambut. Perusahaan sulit melakukan penebangan dan cari gampang, di luar dari area izin. Padahal di pinggirnya itu, tidak masuk di area perizinan. Diinvestigasi dan diklasrifikasi tim penegakan hukum Kementerian KLHK waktu itu,” ujarnya.
Nur Amalia mengatakan, dari sekitar 30 perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat kini, baru delapan perusahaan yang beroperasi dan melakukan penanaman sawit.
“Fakta lainnya, mereka beroperasi tapi tidak melakukan penanaman sawit. Apa yang dilakukan? Yang dilakukan adalah menebang pohon. Mereka ada yang beroperasi sejak 2013, 2014, 2015. Mereka tidak melakukan penanaman tapi kayu di area perizinan mereka itu sudah tidak ada,” katanya.
Satu di antara advokat di Papua, Pieter Ell mengatakan ada berbagai cara yang diduga digunakan perusahaan untuk mengambil kayu dari hutan Papua dan Papua Barat.
“Seperti sekarang, ada izin itu untuk perkebunan sawit masuk. Akan tapi yang ditanam bukan sawit. Jadi land clearingnya itu mereka ambil kayunya,” kata Pieter Ell.
Katanya, begitu juga misalnya saat pembukaan ruas jalan baru. Secara teknis kata dia, pembukaan akses jalan baru areanya dengan menarik garis lurus.
“Kalau dibuka jalan baru, secara teknis lurus saja. Tapi kalau sepanjang jalan tidak ada kayunya, maka dibelokkan dulu. Cari yang ada potensi kayunya dulu. Itu modus modus yang terjadi di Papua,” ucapnya.
Piter Ell mengatakan, cukup panjang apabila membicarakan masalah kayu di Papua dan Papua Barat. Sebab sebelum ada Operasi Hutan Lestari (OHL), ada Izin Pengolahan Kayu Masyarakat Adat (IPK MA).
Ketika itu, sekitar 200 Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas) di Tanah Papua diberikan IPK MA.
“Ada [kata masyatakat] adat di belakang untuk legalisasi. Tapi praktiknya, masyarakat adat tidak dapat hak haknya. Kayu dibeli dengan sangat murah. Satu kubik sekitar Rp 100 ribu kalau tidak salah. Itu 15 hingga 20 tahun lalu. Tapi saat diekspor ke luar itu Rp 15 juta perkubik,” ujarnya.
Menurutnya, setelah adanya OHL semua perizinan dicabut. Para pengusahapun bersembunyi di balik modus terbaru.
“Potensi potensi kayu log di Papua itu mulai dari Kaimana, kemudian Bintuni, Sorong, Merauke sedikit, Jayapura sedikit. Tapi yang potensi itu di wilayah kepala burung,” katanya. (*)
Editor: Edho Sinaga