Papua No. 1 News Portal | Jubi
Deiyai, Jubi – Ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) Meepago, Oktovianus Marko Pekei, menegaskan ada ketidakpastian hukum dan kebijakan pembangunan yang tidak berdaya guna bagi masyarakat sekalipun kucuran data otonomi khusus (otsus) besarannya cukup fantastis, namun faktanya uang bukanlah subyek yang mampu mengurai segala persoalan yang hendak diselesaikan selama pemberlakuan otsus di Tanah Papua.
“Papua masih menjadi daerah konflik kekerasan sekalipun otsus telah berjalan 19 tahun lamanya. Menyadari atas realita berjalannya otsus tersebut, pemerintah (pusat) harus banting stir dari pemaksaan kehendak kepada rakyat,” ungkap Oktovianus Marko Pekei, kepada Jubi di Deiyai, Minggu (16/8/2020).
Pekei mengatakan pemerintah mesti menyadari bahwa rakyat Papua tidak bisa dipaksa kehendaknya, sebab pemaksaanlah yang selalu merongrong persatuan dan perdamaian tidak bisa dibangun dengan laras senjata.
“Pemerintah dituntut harus membuka diri untuk mendengarkan kehendak rakyat, sebab rakyatlah yang membangun sebuah negara yang secara konstitusional diberi kewenangan kepada pemerintah,” ujarnya.
Menurut dia, para elit politik daerah dan akademisi sebaiknya tidak boleh terlibat dalam merancang otsus dengan wajah baru, sebab pemerintah pusat dan pemerintah daerah gagal membangun kesepahaman untuk membangun Papua dalam segala aspek hidup orang asli Papua selama 19 tahun otsus diberlakukan.
Mempelajari UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, ia nyatakan tidak terdapat satu pasal atau ayatpun yang mengatur dan menegaskan tentang batas waktu pemberlakukan dan merumuskan kemungkinan atau alternatif apabila masa pemberlakuannya selesai.
“Ini ialah sebuah kegagalan fatal ketika menggagas UU No 21 Tahun 2001 tersebut,” ucap Marko Pekei.
“Para elit politik dan akademisi yang merumuskan Undang-Undang Otsus telah gagal dalam merumuskan sebuah produk hukum, dan dampaknya sangat besar, sebab tentu berimplikasi terhadap seluruh rakyat dan pemerintah. Tidak ada batas waktu pemberlakuan juga memberi peluang bagi semua pihak terkait dalam mengabaikan kewajiban dan keseriusan dalam pembangunan dan penyelesaian konflik laten di Tanah Papua,” imbuhnya.
Akibatnya, lanjut Pekei, orang bekerja tanpa target selama masa otsus. Memang dalam konteks otsus, bukan hanya sebatas ada tidaknya batas waktu pemberlakuan otsus, tetapi fakta menunjukkan bahwa keseriusan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan pembangunan tidak nampak.
“Tidak ada kebijakan yang produktif bagi orang asli Papua. Evaluasi pelaksanaan otsus yang disampaikan beberapa komponen masyarakat pun diabaikan. Otsus terkesan hanya sebatas kucurkan dana seolah-olah dengan bertambahnya anggaran akan mengamini semua persoalan di Tanah Papua,” ujar Pekei.
Baca juga: 2 unjuk rasa Perjanjian New York di Kota Jayapura dibubarkan, 3 orang ditangkap
Ketua Dewan Adat Mee Kabupaten Dogiyai, Germanus Goo, mengaku pihaknya telah mengusulkan kepada MRP pada tahun 2019 saat reses di wilayah Meepago yang dipusatkan di Paniai, bahwa pihaknya minta pemerintah pusat jika masa otsus habis maka haknya dilimpahkan ke rakyat Papua.
“Apabila masa otsus selesai berarti selanjutnya hak menentukan aspirasinya turunkan kepada kami rakyat Papua. Dari situ lanjut atau tidak kami akan jawab. Jadi hak itu bukan kepada pejabat Papua, apa lagi petinggi negara. Karena alasannya di Papua itu entah baik atau buruk, suka atau duka, semua kami rakyat yang alami,” ujar Goo.
Ia menambahkan Otsus merupakan alat tukar dan tawaran politik Indonesia atas perjuangan kemerdekaan bangsa Papua. (*)
Editor: Dewi Wulandari