Warga pemilik gunung emas minta dilibatkan dalam pengurusan izin Freport

Papua No. 1 News Portal | Jubi 

Jayapura, Jubi – Forum Pemilik Hak Sulung (F-PHS) yang didalamnya terdapat masyarakat tiga kampung (Tsinga, Waa, Aroanop) pemilik gunung emas yang saat ini dikuasai PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Papua meminta dilibatkan dalam pengurusan izin tambang.

Sekretaris Daerah Papua Hery Dosinaen, mengatakan forum ini meminta pemerintah Provinsi Papua mendorong satu regulasi atau Perdasus melalui DPR, MRP dan Gubernur, untuk mengakomodir keinginan masyarakat pemilik hak kesulungan kawasan Freeport.

"Selama ini semua orang berbicara tentang Freeport, namun sejarah selalu terabaikan," kata Hery kepada wartawan, di Jayapura, Selasa (29/1/2019).

Menurut ia, F-PHS sudah berjuang sejak 2006 dan telah sampai ke lembaga keduataan Amerika bahkan telah diterima langsung oleh McMoran, Dirjen Minerba serta Presiden Jokowi. Sebab, ada kesalahan dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Dalam Undang-undang Minerba Pasal 135 mengatakan, sebelum memegang IUPK harus mendapat persetujuan dari pemilik hak ulayat. Nah sampai hari ini belum pernah dilibatkan dan diperhatikan. Untuk itu, kami akan laporkan ini ke pak gubernur terkait hal-hal yang diperjuangkan forum ini," ujarnya.

Ia tekankan, perjuangan pemilik hak ulayat harus didukung agar tidak ada lagi rakyat Papua tertipu, dianggap remeh, diabaikan, leluhur yang telah tiada hanya karena Freeport tidak terulang lagi.

"Untuk itu, anak cucu mereka telah hadir memperjuangkan ini tanpa tendensi apapun," katanya,

Sekretaris I Forum Pemilik Hak Sulung, Yohan Zonggonau mengatakan pihaknya sudah berjuang dari 2006, dan telah mendapat dukungan dari seluruh stakeholder di Mimika, bentuknya ada kajian ilmiah yang dilakukan oleh Universitas Cenderawasih.

Setelah ada kajian ilmiah, lanjutnya, pihaknya ditugaskan untuk melanjutkan perjuangan ini dengan diberikan mandat oleh Lemasa.

"Kami sudah ke Jakarta bertemu beberapa menteri terkait untuk menyerahkan bentuk pengakuan terhadap masyarakat adat pemilik gunug emas. Sebab, selama ini kami tidak diperhatikan dan diabaikan. Hanya diberikan gula-gula saja tapi secara tertulis keberadaan kami sama sekali tidak dianggap, karena itulah kami terus berjuang," kata Zonggonau.

Menanggapi itu, dirinya berharap seluruh regulasi terkait Freeport harus jelas, kalau soal persenan dan segala macamnya itu bisa dibicarakan dengan pemilik hak ulayat sesuai aturan, termasuk konvensi ILO 169 yang berbunyi, negara harus menjamin hak-hak dasar masyarakat adat.

"Kalau negara tidak melakukan itu, berarti negara telah melanggar aturan," ucapnya dengan tegas.

Hal senada disampaikan Sekertaris II Forum Pemilik Hak Sulung, Elfinus Jangkup Omaleng. Dirinya menyatakan, pemerintah Indonesia sudah mengabaikan pemilik hak sulung selama 51 tahun.

"Orang tua kami waktu itu tidak bersekolah dan kami sengaja dilupakan (tidak diberi pendidikan). Sebab, pendidikan di kampung saya baru dibangun tahun 1994 sementara Freeport sudah beroperasi sejak 1963, ini tentu sebuah kesengajaan," kata Omaleng.

Untuk itu, tegas ia, anak-anak pemilik hak ulayat yang sudah menempuh pendidikan telah kembali pulang dan memperjuangkan semua hak-hak yang telah dilupakan.

"Kami akan mengadili negara Indonesia dan Freepot di pengadilan Internasional, bahkan perjuangan ini sudah dilakukan Forum Pemilik Hak Sulung atas pengabaian dengan sengaja, sehingga undang-undang telah dilanggar," ujarnya. (*)

 

Related posts

Leave a Reply