Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Zely Ariane
“Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak berakar pada ratusan tahun dominasi laki-laki. Jangan kita lupa bahwa ketidaksetaraan gender yang menyulut budaya perkosaan pada dasarnya merupakan persoalan ketimpangan kuasa.” — Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia 25 November 2019 (un.org)
Telah 109 tahun berlalu sejak lebih dari 100 perempuan dari 17 negara bersepakat untuk menetapkan sebuah hari peringatan bagi hak-hak perempuan internasional. Hari Perempuan Internasional yang kemudian diperingati setiap 8 Maret adalah penanda atas seberapa jauh capaian serta tuntutan atas hak-hak perempuan di segala bidang.
Banyak sekali hal sudah tercapai yang telah memberi perempuan ruang bergerak dan bereksistensi selayaknya manusia yang sama dengan lelaki. Namun banyak juga yang masih jalan di tempat bahkan memburuk, tak berkesesuaian dengan kemajuan zaman dan peradaban. Salah satu contohnya adalah kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai salah satu kejahatan terhadap tubuh perempuan yang hingga saat ini terus terjadi dengan angka yang terus meningkat.
Dekat, marak, namun sunyi
Kekerasan seksual adalah kejahatan yang dekat dan marak namun sunyi. Dekat karena setiap satu dari tiga orang perempuan dan anak-anak di seluruh dunia mengalami kekerasan seksual ataupun kekerasan fisik paling banyak dari suami, pacar laki-laki, orangtua, saudara, rekan kerja, dan atasannya di kantor (WHO 2020). Marak namun sunyi karena kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, adalah pelanggaran hak azasi manusia yang paling luas menyebar, terus terjadi dan merusak kemanusiaan namun masih sangat sedikit yang dilaporkan disebabkan oleh impunitas, pembungkaman, stigma, serta rasa malu atas kejahatan tersebut. (UN 2019).
“Ada dua korban yang sekarang sedang dalam tanggung jawab saya. Yang satu pelakunya adalah bapak kandungnya sendiri dan satunya saudara sepupu. Bapak kandung itu sudah ditangkap dan ditahan di Jayapura lalu bunuh diri di sel,” ungkap Nur Aida Duwila, Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Jayapura kepada Jubi melalui sambungan telpon, akhir Februari lalu.
Kini korban terpaksa hamil akibat kejahatan itu.
“Sekarang umurnya mau masuk 18 tahun bulan Juli nanti. Namun kejahatan bapaknya itu sudah terjadi sejak korban berumur 15 tahun,” kata Nur Aida.
Dia menjelaskan butuh waktu sampai tiga tahun hingga korban tersebut akhirnya bisa mendapat pertolongan karena keluarga tidak mendukung.
“Sempat dia (korban) dibawa lari, ‘ditangkap’ oleh keluarga dibawa pulang ke rumah, dipaksa kawin, akhirnya bisa lari lagi dan bertemu dengan saya atas bantuan orang lain. Bayangkan bagaimana tersiksanya jiwa anak ini.”
Sementara satu korban lainnya harus berhadapan dengan ancaman dari bapaknya sendiri jika tidak mencabut tuntutan.
“Anak yang satunya bahkan diancam oleh bapaknya jika tidak mencabut tuntutannya. Dan bapaknya ini mantan anggota instansi keamanan. Kedua korban yang sedang saya bantu sekarang hidup dalam ancaman selama ini,” ungkap Nur Aida.
Sejak berdiri Maret 2017, LBH APIK Jayapura telah menerima 55 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, 19 di antaranya adalah kasus perkosaan. Perkosaan terhadap anak mendominasi angka itu.
“Yang paling banyak kami tangani adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan seksual terhadap anak. Untuk kasus kekerasan seksual itu mayoritas terjadi terhadap anak di bawah umur, di bawah 15 tahun, dan dilakukan oleh keluarganya sendiri, seperti bapak kandungnya, kakeknya, atau pamannya,” lanjut Nur Aida.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) pada pertengahan tahun 2019 lalu meluncurkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018). Dalam rilisnya, Kemen PPA menyebutkan hasil survei menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
Kuasa pelaku
Ada juga kasus dugaan kekerasan seksual oleh suami kepada istrinya, dan si istri kemudian juga menggugat cerai suaminya. Namun gugatan itu lalu ditarik kembali.
“Besar dugaan kami suami yang oknum pejabat tidak ingin masalah diketahui publik karena menyangkut reputasinya. Padahal proses pendampingan cukup panjang dari diskusi dengan keluarga hingga di kepolisian,” Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), yang juga seorang pengacara kasus-kasus HAM, menceritakannya kepada Jubi lewat sambungan telpon akhir pekan lalu.
Anum mengakui sulitnya penanganan kasus kekerasan seksual oleh pelaku oknum pejabat publik atau aparat keamanan.
“Karena kita bukan saja mengurus proses hukumnya tetapi juga berhadapan dengan relasi kuasa, tantangannya jauh lebih berat.”
Dia menyontohkan kendala yang dihadapi ketika pelaku adalah oknum kepolisian dan memiliki posisi penting.
“Kadang pihak penyidik yang menangani justru mengalami kendala internal. Ada relasi kuasa di dalam institusi yang juga harus diselesaikan lebih dulu.”
Dalam ringkasan temuan Kelompok Kerja Pendokumentasian Kekerasan Negara terhadap Perempuan Papua sepanjang tahun 1963-1998, perkosaan dan percobaan perkosaan oleh militer dan polisi adalah kejahatan HAM yang terbanyak mencapai 54 kasus. Angka itupun dipastikan masih jauh dari kasus-kasus yang belum dan tidak terdata, apalagi mengingat sepanjang 35 tahun itu Papua dan Papua Barat adalah wilayah operasi militer.
Nur Aida membenarkan tantangan besar serta upaya yang ekstra harus pendamping lakukan berhadapan dengan kuasa pelaku kekerasan seksual yang punya jabatan publik. Dia menyontohkan kasus kekerasan seksual dilakukan oknum SJ di Jayapura yang kasusnya saat ini sudah di tingkat kasasi, serta oknum kepala sekolah di Jayapura.
“Nah, kasus-kasus semacam ini walau semuanya menempuh jalur pengadilan tetapi sangat berliku-liku dan prosesnya lama. Mungkin karena pelaku punya power dan punya duit, dia bisa akses ke penyidik dan bisa melakukan apa saja,” ujarnya.
Terkait kasus SJ, dia menyebutkan proses hukum bisa didorong relatif cepat dan maksimal karena ada tekanan dari luar.
“Saya dan teman-teman STOP SUDAH yang kami bentuk tahun 2018 itu ramai-ramai aksi dan bertemu Kapolda, baru kemudian ditindaklanjuti dengan cepat,” ujarnya.
Persoalan lainnya adalah sarana dan mekanisme perlindungan korban dari intervensi pelaku. Di Jayapura, menurut Nur Aida, Ruman Aman bagi korban kekerasan seksual yang telah disediakan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) saat ini tak bisa digunakan. Karena Standar Operasional Prosedur (SOP)-nya belum ada maka dana juga tidak ada yang bisa dialokasikan untuk lindungi korban, tak saja terkait keamanan namun juga makan dan hidup sehari-hari.
“Rumah Aman ini disediakan oleh P2TP2A bekerja sama dengan Polda Papua. Nah karena dibangun di dalam Polda, kadang-kadang jika pelaku punya akses orang dalam kan itu repot kita,” kata Nur Aida.
Perspektif hukum bermasalah
“Instrumen hukum sudah memadai, namun letaknya lebih pada prespektif aparat hukum,” kata Anum.
Menurutnya, kekerasan seksual seharusnya dianggap sebagai kejahatan serius karena berdampak sangat besar terhadap korban dan keluarganya untuk jangka waktu yang lama.
“Ada beban psikologi yang sangat luar biasa beratnya. Beban psikologis ini harus diterjemahkan ke dalam masa hukuman atau pemidanaan yang berat kepada pelaku. Selain itu negara dan lingkungan juga harus menyiapkan ruang dukungan yang tinggi kepada korban,” lanjutnya.
Namun, menurut Nursyahbani Katjasungkana, seorang advokat senior dan aktivis perempuan yang tahun lalu menerima gelar Doktor Kehormatan dari School of Oriental and Africak Studies (SOAS), harapan itu hampir bisa dipastikan sulit terwujud.
“Rezim hukum yang berlaku dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) Indonesia adalah rezim ketertiban umum dan aturan moral kesusilaan yang dapat berubah menurut tempat dan waktu. Sementara rezim hukum yang dibutuhkan adalah rezim hukum HAM yang universal.”
“Masalahnya berkenaan dengan perlindungan perempuan (korban), KUHP sudah tak lagi memenuhi tuntutan jaman. KUHP peninggalan jaman kolonial itu berorientasi kepada penghukuman terhadap pelaku sebagai alat pengendalian perilaku dan represi, bukan upaya-upaya preventif dan rehabilitatif/pemulihan bagi korban,” kata Nursyahbani kepada Jubi melalui wawancara tertulis akhir Februari lalu.
Penyebutan kekerasan seksual tidak ada di dalam KUHP, melainkan kejahatan terhadap kesusilaan yang diartikan sebagai kejahatan yang bertentangan dengan etika dan kesusilaan umum.
“Karena itu, para ahli pidana menyatakan bahwa pelaksanaannya sangat tergantung pada rasa kesusilaan masyarakat setempat dan karena itu dapat berubah menurut tempat dan waktu.”
Kelompok perempuan, lanjut Nursyahbani, telah lama menuntut perubahan paradigma KUHP ini.
“Dalam kasus perkosaan dan perdagangan orang dan kasus-kasus kekerasan seksual yang lain, bukan kesusilaan dan ketertibaan umum yang terancam melainkan integritas tubuh dan jiwa, bahkan nyawa korban,” tegasnya
Tidak jelasnya politik hukum pidana terkait kekerasan seksual karena tidak secara jernih mendefinisikan kepentingan umum mana yang harus dilindungi dan siapakah korban yang harus dilindungi.
“Dan ini mempengaruhi pemahaman tentang posisi delik aduan dalam hukum pidana maupun dalam hal pengertian kepentingan umum,” katanya.
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (hukumoinline.com).
Jalan panjang pemulihan
Setelah pendampingan hukum, pemulihan untuk memperbaiki kondisi psikologis korban adalah persoalan berikutnya yang juga sulit.
“Anak ini (korban) kan nanti tumbuh dan berkembang, anak adalah masa depan, jika tidak ada efek jera terhadap pelaku maka anak ini dia tidak akan berkembang. Kalau ada efek jera dan pertanggungjawaban hukum maka anak ini berpeluang tumbuh dengan baik,” kata Nur Aida.
Selain itu akses ke psikolog untuk memulihkan mental dan kepercayaan diri anak menjadi tantangan berat berikutnya di Papua.
“Itu PR berat sekali, karena bicara psikolog maka kita bicara duit.”
Bagi Nur Aida “penyelesaian” dengan pendekatan kekeluargaan khususnya bagi korban anak di bawah umur, tak bisa ia terima. Karena yang paling sulit dan tak diperhitungkan adalah bagaimana rusaknya mental korban dan sulitnya memperbaiki kerusakan itu.
“Baru-baru ada kasus anak umur 10 tahun diperkosa oleh sepupunya dan diselesaikan dengan kekeluargaan sampai saya ngamuk-ngamuk. Mamanya korban bilang iya, tante korban juga bilang iya. Dengan alasan malu. Harusnya bukan pikir malu tapi anak ini bagaimana? Sampai rusak tubuhnya, robek hingga anus dan harus dioperasi?” ujarnya sambil menahan emosi.
Ada kata kunci menarik pada pesan yang disampaikan Sekjend PBB Antonio Guiterres di awal tulisan ini: “dominasi laki-laki”. Bagaimana “dominasi laki-laki” ini beroperasi dalam kasus-kasus kekerasan seksual? Dan mengapa masyarakat masih memilih melindunginya?
Menurut Anum Siregar, karena paham patriaki yang masih kuat membuat perempuan dianggap sebagai property (barang milik) laki-laki.
“Belum cukup terbangun kesadaran bersama dan juga perjuangan bersama untuk membela korban kejahatan seksual, ini pun masih dianggap sebagai ruang perjuangannya perempuan saja dan di wilayah tertentu saja.”
Akibatnya, ruang untuk korban bersuara menjadi sangat dibatasi, bahkan ditakut-takuti.
Beruntung masyarakat dunia saat ini telah mengadopsi secara umum prinsip-prinsip universal HAM, sehingga dalam konteks HAM ini pula ruang bagi korban untuk bersuara telah dibuka.
“Mau tak mau, korban harus merasa bebas dari rasa takut, siapapun pelaku yang dia hadapi,” tegas Anum. (*)
*) Penulis adalah redaktur Jubi