Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tersangka kasus makar, Victor Yeimo selaku juru bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat menegaskan, dirinya kembali dari negara tetangga, Papua New Guinea (PNG) pada awal 2020 lalu karena dirinya merasa tidak bersalah atas kerusuhan yang terjadi pada 29 Agustus 2019 lalu di Jayapura, dalam aksi lanjutan tolak rasisme.
“Saya kembali dari PNG itu karena saya tahu, saya tidak bersalah pada aksi lanjutan 29 Agustus 2019 lalu itu. Kalau saya bersalah, pasti minta suaka politik di Amerika,” ungkap Victor Yeimo saat ditemui Jubi di rutan Mako Brimob Polda Papua belum lama ini.
Yeimo yang juga juru bicara Petisi Rakyat Papua (PRP) ini mengatakan, sekalipun ia mengetahui akan ditangkap oleh aparat keamanan namun ia tidak ragu lagi berada di Kota Jayapura.
“Saya tahu akan ditangkap walaupun saya tidak bersalah. Tapi saya biasa-biasa saja. Kan kita semua tahu, saya tidak pernah terlibat dalam aksi lanjutan (aksi kedua) itu. Kalau saya salah, pasti saya lari dan tidak kembali ke tanah air West Papua lagi,” ungkapnya.
Ia mempertanyakan, jika disangkakan karena kerusuhan pada aksi 29 Agustus harus ada buktinya. “Mana buktinya kalau saya ditangkap lalu disangkakan tuduhan perusuh pada aksi 29 Agustus 2019? Kan saya tidak terlibat, tidak masuk dalam peserta demo atau pun pembicara.”
Kapolda Papua, Irjen Pol Mathius Fakhiri mengatakan, Victor Yeimo ditangkap berdasarkan laporan Polisi (LP) terkait kerusuhan pada 19 Agustus 2019 lalu. Ia mengaku sulit menangkap Yeimo pasalnya yang bersangkutan lincah menghindar.
“Satgas Nemangkawi tangkap dia di Tanah Hitam Abepura. Setelah dalami, Victor punya banyak kasus. Seperti UU ITE juga hubungan komunikasi dengan Veronica Koman. Victor ambil foto atau video di sini lalu kirim ke Koman, jadi mereka dua bikin Papua ini tidak kondusif,” ujar Fakhiri belum lama ini saat pertemuan tertutup dengan John NR Gobai dan Pdt Niko Degei.
Fakhiri juga telah meminta agar penyidik Polda mempercepat berita acara pemeriksaan (BPA) supaya proses hukum dilanjutkan. “Saya sudah minta penyidik (untuk) dipercepat,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur LBH Papua ini menegaskan, Victor Yeimo sebagai tersangka memiliki hak untuk mendapatkan kunjungan dokter pribadi, dikunjungi oleh keluarga, mengirimkan surat kepada pengacara, dikunjungi oleh rohaniawan dan hak berhubungan dengan pengacara, namun sepanjang Viktor Yeimo ditahan di Mako Brimob Polda Papua dari 10 Mei 2021 sampai dengan 14 Mei 2021, hak-hak tersangka di atas sangat sulit terealisasi secara maksimal.
“Hambatan pemenuhan hak-hak Victor Yeimo sebagai tersangka, rupanya diakibatkan karena petugas penjaga Pos Mako Brimob yang menggunakan pendekatan SOP internal, yang intinya menegaskan bahwa bagi siapa pun yang hendak memenuhi hak tersangka wajib berkomunikasi dan atau atas persetujuan penyidik. Sementara, penyidiknya sendiri mengarahkan pihak yang hendak memenuhi hak tersangka untuk terlebih dahulu mengunjungi penyidik yang berada di Polda Papua. Atas kebijakan ini telah berdampak pada terhambatnya hak Victor Yeimo sebagai tersangka yang memiliki hak untuk mendapatkan kunjungan dokter pribadi, hak dikunjungi oleh keluarga, hak untuk mengirimkan surat kepada pengacara, hak dikunjungi oleh rohaniawan dan hak berhubungan dengan pengacara. Dengan melihat fakta di atas secara jelas-jelas menunjukkan bukti bahwa penyidik Polda Papua dan petugas pos penjagaan serta petugas tahti Mako Brimob lebih mengedepankan SOP internal, dan mengabaikan perintah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana khususnya berkaitan dengan hak-hak tersangka,” ujarnya. (*)
Editor: Kristianto Galuwo