Papua No.1 News Portal | Jubi
Sentani, Jubi – Papua seharusnya menjadi sebuah wilayah berdaulat setelah kebijakan otonomi khusus berakhir. Tuntutan tersebut dinilai sejalan dengan keinginan rakyat Papua selama ini.
“Tuntutan itu sudah lama. Sejak sejumlah kongres (rakyat) hingga saat ini, tuntutannya tetap sama, yakni kedaulatan bagi Papua,” kata Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah Mamta Zadrahk Taime, Senin (20/7/2020).
Dia menjelaskan tuntutan kedaulatan bagi Papua telah bergulir sejak 1961. Kemudian, terus mengemuka hingga Kongres Rakyat Papua II pada 1962, Kongres Rakyat Papua III pada 2011, dan sampai sekarang.
“Perjuangan dalam menuntut kedaulatan Papua memiliki dasar yang kuat sesuai hukum internasional. Pemerintah Indonesia harus mengakui hal itu,” tegas Taime.
Dia mengatakan jika telah menjadi sebuah negara berdaulat, Papua dan Indonesia tetap bisa saling membantu dalam mengatasi persoalan bersama. Papua tetap menganggap Indonesia sebagai ‘orang tua asuh’.
“Para pekerja Indonesia tetap masih bisa bekerja di PT Freeport. Sebaliknya, Indonesia harus membantu kesulitan yang dihadapi Papua,” kata Taime.
Pengurus DAP Wilayah Grimenawa Abner Giyai menilai Rakyat Papua tidak pernah merasakan keadilan dalam pembangunan sejak otonomi khusus diterapkan pada 2001. Para pemilik ulayat bahkan tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program pemberdayaan terhadap Orang Asli Papua (OAP).
“Tidak ada kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat lokal. Ketika kami menuntut keadilan, malah dipolitisasi (dituduh memberontak),” kata Giyai.
Dia mengatakan Pemerintah Indonesia sejak dahulu tidak pernah mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan di Papua. “Pada zaman pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala ada Rp100 triliun anggaran diturunkan (dialokasikan) ke Papua, tetapi itu untuk apa saja (tidak diketahui jelas hasilnya).” (*)
Editor: Aries Munandar