Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tradisi bakar batu bersama untuk menyambut bulan Ramadhan yang biasa dilakukan warga Muslim Kampung Walesi dan Kampung Tulima di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, tahun ini tidak digelar. Pemerintah tidak memperkenankan kegiatan yang melibatkan banyak orang dalam upaya menghindari penularan virus corona penyebab Covid-19.
“Tradisi bakar batu itu juga sekaligus sebagai bentuk ucapan syukur bulan Ramadhan telah tiba, sebagai bentuk silaturahmi dan saling meminta maaf dengan seluruh kerabat, baik itu kerabat Muslim maupun kerabat Kristen,” kata Tahuluk Asso, pemuka agama Islam di Kampung Walesi.
Baca juga : Bubarkan bakar batu, Kapolres Mimika diadukan ke Kompolnas dan Kapolda Papua
Hilangkan trauma, masyarakat Olenki di Kabupaten Puncak bakar batu “inogur wakwi”
Bubarkan acara bakar batu, Kapolres Mimika dinilai langgar aturan adat
Menurut Asso, bakar batu menyambut bulan Ramadhan di Lembah Baliem itu juga sebagai bentuk toleransi karena dilakukan bersama warga Katolik dan Kristen.
“Saat tidak ada wabah seperti sekarang, warga Muslim biasanya menggelar acara bakar batu bersama warga Kristen dan Katolik di halaman Masjid Al Aqsha di Kampung Walesi,” kata Asso menambahkan.
Budaya bakar batu menyambut bulan Ramadhan oleh warga Muslim di Lembah Baliem itu sebagai budaya yang menyesuaikan tradisi dengan ajaran Islam. Bakar batu yang biasa menggunakan babi sebagai salah satu menu utama, diganti dengan ayam yang sudah disembelih. Dalam acara itu, para lelaki bertugas menyusun batu di atas tumpukan kayu kering serta dedaunan dan rumput kering yang kemudian akan dibakar.
Tidak jauh dari tempat batu dibakar, sudah disiapkan lubang di tanah. Batu yang sudah dibakar selanjutnya ditata di lubang itu. Bahan makanan seperti sayuran, keladi, ubi jalar, singkong, pisang, dan ayam lantas ditaruh di atasnya. Setelah itu, batu-batu panas akan diletakkan di atas tumpukan makanan.
“Setelah sekitar tiga jam, ayam, ubi jalar, singkong, serta sayuran yang diletakkan di antara batu panas itu bisa diangkat dan disantap bersama,” kata Asso menjelaskan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya Alpius Wetipo, mengatakan tradisi bakar batu untuk menyambut Ramadhan di Lembah Baliem merupakan contoh toleransi antar-umat beragama yang perlu dilestarikan.
“Kampung Tulima dan Kampung Walesi akan dikembangkan sebagai destinasi wisata pendidikan agar nilai-nilai toleransi diketahui dan diajarkan pada siswa sekolah,” kata Wetipo.
Menurut dia, transmigran warga Muslim dari Jawa yang datang sekitar tahun 1960-an ke Lembah Baliem memperkenalkan Agama Islam kepada warga setempat. Mereka masih mempertahankan budaya lokal salah satunya bakar batu saat menyambut Ramadhan.
“Selain dari para guru dan transmigran dari Jawa di daerah Sinata, yang kini disebut Megapura, di Distrik Asso-Lokobal, warga asli Lembah Baliem mengenal Islam dari interaksi dengan pendatang dari Bugis,” kata Wetipo menjelaskan.
Merasugun, Firdaus, dan Muhammad Ali Asso disebut sebagai generasi pertama pemeluk Islam di Lembah Baliem pada tahun 1970-an. Mereka berperan dalam menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah tersebut.
Kini sebagian Suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem memeluk Agama Islam, termasuk di antaranya yang tinggal di Kampung Tulima dan Kampung Walesi. (*)
Editor : Edi Faisol