Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tiga rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus) menjadi pembahasan utama saat Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPR Papua melakukan konsultasi publik sembilan raperdasi/raperdasus di wilayah adat Lapago, yang digelar di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada Jumat (9/8/2019).
Raperdasus yang menjadi pembahasan utama dalam konsultasi publik itu, yakni penanganan konflik sosial di Provinsi Papua, Raperdasus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua dan Raperdasus penyelesaian pelanggaran HAM.
Masyarakat, aktivis, perwakilan DPRD Jayawijaya dan Kepala Bagian Hukum Setda Jayawijaya, Afrida yang hadir dalam konsultasi publik tersebut menyampaikan berbagai pandangan mereka.
Satu diantara warga yang hadir, Enius Lokobal mendukung upaya DPR Papua membuat regulasi terkait pembentukan KKR. Hal itu dinilai penting karena sejak dulu hingga kini trauma masa lalu masih membekas di ingatan orang asli Papua.
“Trauma ini warisan turun temurun hingga kini. Untuk itu perlu dilakukan pemulihan, rekonsiliasi terhadap para korban. Rekonsiliasi ini penting,” kata Enius Lokobal.
Terkait penangan konflik sosial, Lokobal menilai penting ditegakkan hukum positif, bukan lagi bayar kepala (denda adat) dengan babi dan uang seperti di wilayah Jayawijaya selama ini. Penyelesaian masalah di masyarakat dengan sistem denda adat menurutnya, justru terkesan ada pembiaran karena tidak memberi efek jera kepada masyarakat.
“Orang yang punya uang atau harta bisa membayar kepala (denda adat). Justru terkesan situasi seperti itu dipelihara. Dijadikan semacam bisnis atau sumber pendapatan. Bagi saya hukum positif yang mesti ditegakkan,” ujarnya.
Tokoh perempuan, Helena Matuan mengatakan hal yang sama. Menurutnya, sejak dulu pihaknya juga ingin KKR dibentuk di Papua.
“Sejak dulu kami masyarakat mau rekonsiliasi itu ada, tapi tidak pernah ada realisasi hingga kini,” kata Helena Matuan.
Untuk konflik sosial di masyarakat katanya, salah satu pemicunya adalah minuman beralkohol (minol). Di Jayawijaya sendiri lanjut Matuan, meski telah ada pelarangan peredaran minol. Namun hingga kini masih ada masalah di masyarakat yang dipicu oleh minol.
“Akibatnya banyak kasus terjadi, termasuk pelanggaran HAM. Tapi yang menciptakan itu siapa? Akhirnya masyarakat yang disalahkan, kan itu tidak adil,” ujarnya.
Sementara itu, anggota DPRD Jayawijaya Jimy Asso membenarkan jika selama ini banyak kasus (pemicu konflik sosial) di masyarakat karena disebabkan oleh minol.
“Terkait masalah pelanggaran HAM, selama ini saya mengikuti lebih banyak kita bicara akibat, kita melupakan sebabnya (penyebab terjadinya pelanggaran HAM,” kata Jimy Aso.
Anggota Bapemperda DPR Papua, Arnold Walilo mengatakan terkait penyelesaian konflik sosial di masyarakat selama ini memang cenderung mengedepankan penyelesaian adat. Namun hal tersebut tidak memberikan efek jera.
“Makanya kami dorong agar ada Perdasus penanganan konflik sosial. Konsultasi pubik ini bertujuan agar kami mendapat masukan publik untuk memberikan pembobotan terhadap raperdasi/raperdasus,” kata Arnold Walilo.
Bapemperda DPR Papua menurutnya, hanya merancang reperdasi/raperdasus dan publik mesti memberikan masukan jika ada kekurangan dalam rancangan perda itu.
Selain ketiga raperdasus itu, dalam konsultasi publik Bapemperda DPR Papua di wilayah adat Lapago, juga membahas enam raperdasi/raperdasus lain, yakni Raperdasi Pemberian nama Stadion Utama Lukas Enembe pada kompleks olahraga Kampung Harapan Sentani di Kabupaten Jayapura, Raperdasi tentang pemberian nama Jembatan Hamadi-Holtekham Kota Jayapura, Raperdasus tentang keanggotaan DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan periode 2019-2024.
Raperdasus tentang perlindungan keberpihakan dan pemberdayaan buruh orang asli Papua di Provinsi Papua, Raperdasus tentang penyelenggaran bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Provinsi Papua, dan Raperdasus perubahan nama Bandar Udara Sentani Kabupaten Jayapura menjadi Dor Theys Hiyo Eluay. (*)
Editor: Edho Sinaga