Tidak semua masalah di Papua berkaitan dengan ideologi

Papua
Suasana diskusi daring Papua Strategic Policy Forum #5 "Urgensi Pembentukan Pengadilan HAM & Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua" - Jubi/Arjuna 

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Makassar, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan tidak semua masalah yang terjadi di Papua berkaitan dengan ideologi.

Hanya saja selama ini publik begitu mudah mendefinisikan setiap kejadian di Papua berkaitan dengan setiap kejadian di Papua sebagai peristiwa politik, yang berkaitan dengan ideologi.

Read More

Pernyataan itu dikatakan Anum Siregar dalam diskusi daring Papua Strategic Policy Forum #5 “Urgensi Pembentukan Pengadilan HAM & Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua” pada Senin (20/7/2020).

Diskusi yang digelar Gugus Tugas Papua Universitas Gajah Mada (UGM) ini menghadirkan beberapa pembicara.

Selain Anum Siregar juga ada Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM RI), Michael Manufandu (Tokoh Papua/Duta Besar senior), Victor C Mambor (Jurnalis senior Papua) dan Gabriel Lele (Peneliti Gugus Tugas Papua UGM).

Menurut Anum, selama 10 tahun terakhir ada catatan masalah HAM di Papua. Di antaranya terkait ideologi dan non-ideologi, kebebasan berekspresi, rasisme dan diskriminasi, perdagangan amunisi ilegal dan buruknya penyelengaraan pemerintahan.

Akan tetapi katanya, perlu kehati-hatian memahami setiap kekerasan di Papua. Tidak semua kejadian berkaitan dengan ideologi NKRI harga mati atau Papua merdeka.

Tak jarang, ketika publik membaca berita dengan mudah mendefinisikan atau mengelompokkan setiap kejadian sebagai peristiwa politik atau peristiwa separatis.

“Padahal ada yang tidak ada kaitannya dengan pertarungan ideologi. Misalnya karena perebutan sumber daya, ada indikasi kasus korupsi, pertarungan beberapa tokoh. Meski dari beberapa hal itu melibatkan kelompok bersenjata dan aparat keamanan ” kata Anum.

Menurutnya, perspektif ini muncul karena orang lebih banyak membaca berita yang seakan sengaja dibentuk untuk memframing pihak tertentu.

Sebagian besar narasi berasal dari aparat keamanan. Namun tak jarang sumber dalam institusi itu memberikan pernyataan berbeda-beda.

Sementara itu, kasus kebebasan berekspresi di Papua meningkat sejak 2015, seiring menguatnya solidaritas Pasifik terhadap isu Papua merdeka.

Berbagai pihak di Papua intens menggelar aksi berpendapat di muka umum. Akan tetapi aksi itu disikapi dengan pembubaran dan penangkapan. Meski dalam beberapa kasus, aparat keamanan menyatakan mereka yang dibawa ke kantor polisi hanya diamankan dan dimintai keterangan.

“Dalam konteks hukum acara, tidak ada istilah diamankan. Yang ada penangkapan, meski akhirnya dilepas,” ucapnya.

Hingga kini kasus perdagangan senjata api dan amunisi ilegal juga masih terjadi di Papua. Dalam beberapa waktu terakhir, paling banyak di Kabupaten Mimika.

Namun aparat keamanan menyatakan kebanyak senjata api dan amunisi ilegal itu dipasok dari luar negeri. Hanya saja, hingga kini sulit membuktikan dugaan itu.

“Justru kalau dilihat [dalam beberapa kasus], banyak amunisi [ilegal itu merupakan] buatan dalam negeri. Produksi PT Pindad,” katanya.

Jurnalis senior Papua, Victor C Mambor mengatakan peran media dalam penyelesaian masalah di Papua masih jauh dari yang diharapkan, meski peran dan fungsi media sangat jelas dalam pasal 6 Undang-Undang  (UU) nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

“Masih banyak yang belum bisa diwujudkan pers di Papua. Bukan hanya dalam konflik, juga terkait hak-hak dasar orang asli Papua,” kata Mambor.

Menurutnya, jurnalis mestinya bersikap independen dan profesional. Akan tetapi sebagian besar jurnalis media di Papua belum berpegang pada prinsip itu.
Perusahaan media diduga berperan menciptakan situasi ini.

Hingga kini sebagian besar media di Papua belum memiliki standar yang diatur Dewan Pers. Misalnya wartawan mesti tersertifikasi, pemimpin redaksi harus bersertifikasi utama, memiliki kantor, wartawannya digaji sesuai standar upah minimum provinsi, dan melakukan peningkatan kapasitas internal melalui pelatihan secara rutin.

Katanya, kini sedikitnya ada 54 media online di Papua. Namun selain lembaga penyiaran publik RRI, TVRI dan kantor berita Antara, baru empat perusahaan media yang memenuhi standar ketentuan Dewan Pers.

Media itu yakni Cenderawasih Pos, Jubi, Harian Pagi Papua (tidak terbit lagi), Bisnis Papua (tidak terbit cetak lagi), dan Radar Sorong (Papua Barat).

“Ini menyebabkan sebagian wartawan di Papua dalam tanda petik, liar. Memberitakan peristiwa hanya berkaitan dengan pesanan pihak tertentu. Tidak melakukan cover both side. Di Papua sebagian besar pemberitaan itu bersumber dari aparat keamanan,” ucapnya. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply