Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pegiat hak asasi manusia atau HAM di Papua, Theo Hesegem menilai polisi keliru, menduga masifnya kekerasan di Papua belakang ini, berkorelasi dengan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus).
“Saya pikir itu tidak ada kaitannya. OPM ini bukan hadir setelah ada Otsus. Akan tetapi sudah ada sejak 1960an,” kata Theo Hesegem kepada Jubi, Kamis (29/4/2021).
Katanya, Kehadiran Otsus Papua justru karena adanya OPM, akibat menguatnya aspirasi merdeka atau desakan referendum dari rakyat Papua.
“Otsus inikan untuk memadamkan isu Papua merdeka itu. Tapi OPM muncul bukan karena Otsus tidak berjalan baik atau mau direvisi. Itu keliru. Ini masalah ideologi,” ujarnya.
Ia mengatakan, masifnya kekerasan di Papua belakang ini karena pemerintah tidak memiliki opsi lain menyelesaikan konflik di sana, selain pendekatan keamanan.
Pola itu dinggap justru memicu munculnya perlawanan dari kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.
“Pemerintah mesti mengubah pola penyelesaian masalah di Papua. Mesti ada format baru,” ucapnya.
Baca Juga: Pegiat HAM: Berunding dengan TPNPB bukan sesuatu yang tak mungkin
Sebelumnya, Asisten Operasi Kapolri, Inspektur Jenderal Imam Sugianto menyatakan, diduga rencana revisi UU Otsus oleh pemerintah menjadi alasan masifnya penyerangan di wilayah Papua.
Katanya, itu dibuktikan peningkatan eskalasi kejadian saat mendekati diberlakukannya Otsus Papua.
“Pola-pola penyaluran dana Otsus itu kan dibuat supaya tepat sasaran dengan pembangunan masyarakat di Papua sana. Itu mereka terusik,” ujar Sugianto Rabu, (28/4/2021).
Katanya, karena terusik, mereka yang diduga menolak Otsus Papua, membuat gerakan di wilayah tak terpantau oleh aparat.
“Nah kontak tembak yang terjadi terakhir tadi karena memang kami sudah mau kejar kelompok yang ada di Ilaga itu dengan mengerahkan pasukan cukup banyak lah,” kata Imam menambahkan. (*)
Editor: Angela Flassy