Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Hutan dan lautan di Papua yang menarik manusia di dunia tidak sekedar hanya hutan yang bernilai ekonomis. Bagi orang Papua, hutan dan lautan adalah sumber kehidupan dan merupakan tempat sakral bagi masyarakat adat setempat.
Hal itu dinyatakan Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP) versi Kongres Masyarakat Adat Papua III di Biak, John Nasion Robby Gobai saat dihubungi Jubi melalui layanan Whatsapp, Senin (22/3/2021). “[Hutan dan lautan] penting untuk dilindungi [sebagai] tempat sakral dan kepercayaan asli masyarakat adat,” kata Gobai.
Gobai mengatakan hutan merupakan tempat di mana orang Papua membangun relasi sosial, tempat melakukan ritual, sekaligus tempat mengambil inspirasi kehidupan. “Kesakralan hutan ini dapat dilihat dari dominasi aktivitas orang Papua dalam melaksanakan kehidupan sehari-harinya,” katanya.
Baca juga: Masyarakat adat kampung Fruata dan Rauna Tolak Penebangan Hutan di Teluk Bintuni
Ia menuturkan berbagai warisan masyarakat adat seperti bahasa, kesenian, musik, tari-tarian, lagu, dan upacara atau ritual adat selalu berkaitan dengan hutan dan laut sebagai poros kehidupan mereka. Hutan dan lautan juga menjadi penghidupan, tempat menjalankan aktivitas pertanian, hingga menjadi tempat sakral masyarakat adat.
Gobai mengutip pernyataan Sony Keraf dalam bukunya berjudul ‘Etika Lingkungan’, yang menyebut hak budaya masyarakat adat mencakup segala-galanya, termasuk pengetahuan dan kearifan tradisional. “Jadi seperti tarian, nyanyian, bahasa, tempat keramat, cerita dongeng, inovasi, dan praktik kehidupan dalam segala dimensinya. Bertani, menangkap ikan, berburu, kerajinan tradisional, dan sebagainya adalah kekayaan yang sangat bernilai,” katanya.
Menurutnya, hal-hal yang disebutkan di atas bukan sekadar kekayaan fisik, melainkan juga kekayaan spiritual dan moral. Hubungan antara budaya masyarakat adat dengan alam sangat erat, sehingga pelestarian budaya masyarakat adat harus ditopang pelestarian alam yang ada di sekitar mereka.
“Hak untuk menganut sistem kepercayaan serta nilai-nilai religious dan moral mereka sendiri. Hak itu tidak boleh dilanggar oleh pihak luar,” katanya.
Lanjut Gobai, masyarakat adat tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan praktik religius yang mereka miliki turun-temurun. Ia menegaskan kebebasan masyarakat adat untuk menjalani agama mereka harus dijamin. “Termasuk juga tempat-tempat suci serta obyek pemujaan mereka, termasuk binatang dan tumbuhan yang dianggapnya keramat, harus dilindungi dan dijaga keutuhannya,” katanya.
Baca juga: Dikelola masyarakat adat, Pemkot Jayapura tak bisa pungut retribusi di obyek wisata
Gobai mengatakan, jangan mengira perlindungan tempat sakral dan kelompok spritual adalah dinamisme atau kafir. Ia menjelaskan bahwa masyarakat adat juga percaya Tuhan, yang disebut menurut sebutan mereka. “Pemerintah daerah berkewajiban memberikan perlindungan dan pengembangan terhadap kelompok spritual dan tempat sakral,” katanya.
Sekretaris Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang membidangi seni dan budaya, Fauzun Nihayah pelestarian seni dan budaya penting, karena merupakan ciri khas Bumi Cenderawasih. Ia menyatakan Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab melestarikan seni dan budaya setiap daerah.
“Di Papua ada lima wilayah adat, yakni Mamta, Saireri, Lapago, Meepago dan Animha. Setiap wilayah adat itu memiliki ciri khas seni dan budaya tersendiri,” kata Fauzun.
Menurutnya, seni dan budaya merupakan bagian dari identitas sebuah daerah. Untuk itu pemerintah daerah, perlu memperhatikan keberlangsungan seni dan budaya setiap daerah di Papua dengan serius. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G