Tapol Papua merasa diabaikan karena tuduhan Makar

Papua
Alexander Gobay (kanan), saat berorasi dalam aksi unjuk rasa di halaman Kampus USTJ beberapa waktu lalu - Facebook Alexander Gonzalves Gobai

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Makassar, Jubi – Satu di antara tujuh tahanan politik atau Tapol Papua, Alexander Gobay menyatakan selama ini Pemerintah Provinsi Papua mengabaikan permintaan berbagai pihak, yang mendesak membantu memulangkan Tapol dari Kalimantan Timur (Kaltim), untuk disidangkan di Papua.

Setelah dipindahkan dari Papua awal Oktober 2019, untuk diadili di Pengadilan Negeri ke Balikpapan, Kaltim, para Tapol ini diputus melanggar pas makar saat unjuk rasa antirasisme yang meluas menjadi rusuh di Kota Jayapura, 29 Agustus 2020.

Read More

Hakim memvonis para Tapol hukuman dibawah satu tahun penjara dalam sidang putusan, 17 Juni 2020.

Alexander Gobay bersama rekannya Feri Kombo yang diputus 10 bulan penjara telah menyelesaikan hukumanya, dan bebas pada 2 Juli 2020.

“Mungkin unsur pasal makar inilah yang membuat Pemerintah [Provinsi Papua] seakan tidak mau terlibat. Padahal kami ini menyuarakan kasus rasisme, tapi dikriminalisasi dengan pasal makar,” kata Alex Gobay melalui panggilan teleponnya, Jumat (3/7/2020).

Sejak dipindahkan ke Kaltim, DPR Papua, Majelis Rakyat Papua, mahasiswa, masyarakat, aktivis dan berbagai pihak di Papua mendesak Kejaksaan Tinggi setempat agar proses hukum para Tapol dilakukan di Papua.

DPR Papua bahkan menyurati Presiden Joko Widodo agar mengintervensi proses hukum terhadap Tapol, yang dinilai tidak adil.

Jelang putusan hakim, dua orang perwakilan DPR Papua menyerahkan pernyataan sikap mahasiswa dan masyarakat Papua kepada pihak Pengadilan Negeri Balikpapan.

Menurut Alex Gobay, mestinya pemerintah bijaksana melihat setiap masalah. Apa yang disuarakan pihaknya dan berujung pidana adalah rasisme, yang ditentang berbagai pihak bahkan dunia internasional.

“Pesan untuk Pemprov [Papua], kami mahasiswa dan aktivis adalah bagian dari rakyat. Apa yang kami suarakan adalah kepentingan rakyat,” ujarnya.

Sehari sebelum pembebasan dua Tapol Papua, tim penasihat hukum atau PH menggelar konferensi pers daring.

Fathul Huda, satu di antara PH tujuh Tapol ketika itu mengatakan vonis terhadap para kliennya yang jauh lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), menandakan hakim netral dalam memutus perkara tersebut.

Hakim memvonis para Tapol 10 bulan dan 11 bulan penjara, dari tuntutan lima tahun hingga 17 tahun penjara yang diajukan JPU.

“Akan tetapi [di satu sis] kami kecewa karena [dengan putusan itu berarti] klien kami dinyatakan bersalah. Padahal mereka mestinya bebas [dari semua dakwaan dan tuntutan] karena tidak bersalah,” kata Fathul Huda. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply