Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Satu di antara tujuh tahanan politik atau Tapol Papua yang diadili di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), Hengki Hilapok berharap tidak ada lagi diskriminasi hukum kepada aktivis, mahasiswa dan masyarakat Papua seperti yang ia alami bersama enam rekannya.
Pernyataan itu dikatakan Hengki Hilapok kepada Jubi melalui panggilan teleponnya, Kamis (9/8/2020).
“Proses hukum [terhadap kami] ini, mulai dari pemindahan kami [ke Kaltim hingga proses sidang] banyak kejanggalan. Kami demonstrasi antirasisme. [Namun] kemudian dijerat dengan pasal [makar yang berkaitan dengan] politik,” kata Hengki Hilapok.
Hengki Hilapok merupakan satu dari empat mahasiswa Tapol Papua, yang telah bebas dari ruman tahanan atau Rutan Balikpapan pada 8 Juli 2020.
Tiga rekannya telah bebas terlebih dahulu. Alexander Gobay bersama Feri Kombo bebas pada 2 Juli 2020, dan Irwanus Uropmabin bebas, 7 Juli 2020.
Hingga kini tiga Tapol lainnya yang merupakan aktivis masih menjalani masa hukuman di Rutan Balikpapan. Mereka adalah Buchtar Tabuni, Steven Itlay dan Agus Kossay. Ketiganya dijadwalkan bebas pada Agustus 2020 mendatang.
“Ini kesalahan negara. Sebaiknya ke depan [aparat penegak hukum] lebih teliti menggunakan pasal kepada mahasiswa, aktivis atau masyarakat yang melawan rasisme dan menyuarakan berbagai masalah lain,” ujarnya.
Kata Hilapok, kepolisian dan kejaksaan mestinya lebih cermat dalam menerapkan pasal-pasal yang disangkakan atau didakwakan terhadap seseorang.
Tidak terkesan begitu gampang menggunakan pasal makar menjerat aktivis, mahasiswa dan masyarakat yang menyampaikan pendapat di muka umum, meski aspirasi itu tidak terkait upaya makar.
“Jangan karena hanya demonstrasi terkait sumber daya alam, hak asasi manusia dan masalah-masalah lain, kemudian dijerat pasal makar. Ini cara-cara yang kurang bagus,” ucapnya.
Hengki Hilapok menyatakan, proses hukum yang baru saja ia jalani juga tidak akan menyurutkan semangatnya terus menyuarakan berbagai masalah yang dialami masyarakat Papua.
“Selama hukum ini untuk kepentingan segelintir orang, saya akan tetap menyuarakan apa yang dialami masyarakat Papua,” katanya.
Sebelumnya, Tapol Papua lainnya Alexander Gobay berpendapat pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu ditinjau kembali.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura atau BEM USTJ itu khawatir, pasal makar akan selalu digunakan menjerat siapapun yang menyuarakan penyelesaian berbagai masalah di Papua seperti yang dialami pihaknya.
“Saya harap pasal makar ditinjau kembali, untuk menetapkan [atau memperjelas] unsur-unsur [kategori] makar agar tidak selalu multi tafsir. Kalau perlu hapuskan saja karena Undang-Undang juga memberi kebebasan kepada setiap warga negara menyampaikan pendapat,” kata Alexander Gobay pekan lalu.
Katanya, mungkin Jakarta (Pemerintah Indonesia) sudah melekatkan menstigma dan separatis terhadap orang asli Papua.
Akibatnya, setiap kali orang asli Papua menyampaikan aspirasinya, mereka selalu dianggap berupaya melakukan makar. (*)
Editor: Edho Sinaga