Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Pemerintah adalah aktor utama di balik kegagalan otsus Papua selama 20 tahun”
Oleh: Welis Doga
UUD 1945 menjamin partisipasi publik. Pasal 28D ayat (3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Oleh sebab itu, surpres kepada DPR tentang revisi undang-undang otsus telah secara sadar membungkam aspirasi rakyat.
Semestinya pemerintah memberikan ruang seluas-luasnya juga sebagaimana diamanatkan dalam pasal 21 ayat (3) UU Nomor15 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Demikian bunyi pasal 21 (3) UU Nomor17 tahun 2015: “Penyusunan prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.”
Selain itu, secara formal, UU Nomor12 tahun 2011 tentang penyusunan peraturan perundang-undangan telah memberikan jaminan bagi warga negara untuk terlibat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan di legislatif. Jaminan itu juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPRD, DPD dan DPRD dan Peraturan DPR Nomor 1 tahun 2014 tentang tata tertib DPR.
Namun, wadah untuk menampung dan alur untuk menyampaikan partisipasi publik tersebut tidak jelas, baik di undang-undang lama, maupun undang-undang baru, sehingga partisipasi publik dalam membentuk UU hanya dijadikan syarat formal tanpa ada tolak ukur yang jelas.
Ditambah, partisipasi publik belum mendapatkan jaminan hukum yang lebih baik, khususnya mekanisme dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan hasil dari tindak lanjut aspirasi tersebut.
Dengan revisi UU Otsus, akankah OAP keluar dari ketertinggalan?
Bagaimana nasib OAP selama 20 tahun UU Otsus berlaku di Papua? Mungkin hanya orang buta yang akan menyatakan bahwa otsus dengan triliunan rupiah selama 20 tahun itu telah berhasil membawa OAP keluar dari ketertinggalan.
Pertanyaan lain lagi adalah berapa banyak anggaran yang akan dikucurkan pemerintah kepada kedua provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan otsus? Atau berapa tahun lagi pemerintah menganggarkan dana otsus Papua?
Bukankah 20 tahun dengan ratusan trilun rupiah itu tidak cukup untuk membangun OAP? Berapa banyak sih jumlah OAP jika dikalikan dengan anggaran triliunan rupiah yang dikucurkan pemerintah, sehingga berapa pula besaran yang harus diterima setiap tahun oleh OAP? Bagaimana perhitungannya jika otsus akan mengeluarkan OAP dari ketertinggalan? Apa jaminan yang dapat pemerintah pastikan dalam mengurangi kesenjangan rakyat Papua jika otsus tetap dilanjutkan?
Atau pertanyaan lain adalah, apakah dengan revisi otsus secara sepihak oleh pemerintah, hanya dengan pikiran kelompok tertentu, bukan yang berasal dari aspirasi mayoritas rakyat Papua menjamin dapat meredam aspirasi Papua merdeka? Jika iya, dalam jangka waktu berapa lama gerakan kemerdekaan Papua dapat dipastikan lenyap dari muka bumi?
Tugas berikut pemerintah adalah harus mampu menjawab sedetail mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sebab pertanyaan seperti itu adalah konsekuensi logis yang diterima pemerintah. Silakan pemerintah menjawabnya.
Tahapan pembentukan undang-undang atau revisi otsus yang mesti dilalui
Jika hukum adalah panglima dan itu telah tuntas. Maka, dalam rangka revisi UU Otsus Papua, tahapannya harus dilakukan oleh pemerintah secara formal, sesuai amanat peraturan perundang-undangan, adalah diawali dengan menyaring aspirasi rakyat Papua sesuai amanat pasal 77 UU Otsus.
Dalam rangka menyaring aspirasi rakyat Papua– subjek dari kehadiran otsus Papua, maka pemerintah melalui pasal 77 UU Otsus dan Pasal 51 dan 52 Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2008 tentang perubahan atas PP Nomor 54 tahun 2004 tentang MRP, memberikan kewenangan penuh kepada MRP, untuk memfasilitasi rakyat Papua menggelar RDP.
Oleh sebab itu, hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam rangka revisi UU Otsus Papua adalah bersama MRP menyelenggarakan RDP di seluruh Tanah Papua, dengan melibatkan berbagai pihak, baik pihak yang pro, maupun pihak kontra. Lalu mendengarkan suara hati rakyat Papua secara demokratis tanpa intimidasi atau apapun namanya.
Selanjutnya setelah RDP selesai digelar, pemerintah bersama MRP dan MRPB, DPRP dan DPRPB, kedua gubernur di tanah Papua serta seluruh stakeholder di tanah Papua, melakukan RDP yang difasilitasi MRP dan MRPB. Dalam RDPU itulah dipaparkan hasil RDP yang berasal dari masyarakat akar rumput.
Selanjutnya DPRP dan DPRPB bersama kedua gubernur menyampaikan hasil RDP dan RDPU kepada pemerintah pusat melalui DPR dan DPD. Kemudian pemerintah pusat menelaah hasil RDP dan RDPU, lalu menyimpulkan apakah revisi UU Otsus perlu masuk di prolegnas atau tidak. Itu juga harus melului pertimbangan, apakah revisi UU Otsus adalah kebutuhan yang urgen atau tidak.
Hasil pertimbangan dari berbagai pihak dan sudut pandang itu lalu disimpulkan, apakah revisi otsus sebuah kebutuhan mendesak dan harus masuk pada prolegnas prioritas atau tidak. Hal penting lain adalah aspirasi rakyat harus diutamakan.
Mengenai pentingnya tangapan berbagai pihak tersebut sebagaiamana diatur secara sempurna pada pasal 21 ayat (3) UU Nomor15 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 21 ayat (3) berbunyi: “Penyusunan prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat”.
Lalu untuk proses pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai 51 dan pasal 65 sampai 74. Berdasarkan ketentuan tersebut seperti inilah proses pembentukan sebuah undang-undang secara formal.
Sebuah RUU bisa berasal dari presiden, DPR atau DPD. RUU yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait. RUU kemudian dimasukkan ke dalam prolegnas oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun.
RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu. Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna.
Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut. Jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Bila RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan. Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam lembaga negara Republik Indonesia. Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Selesai. (*)
Penulis adalah masyarakat Pegunungan Tengah Papua
Editor: Timoteus Marten