Sikap oknum polisi berdampak pada citra institusi

Isu Papua di PBB
Ilustrasi pelapor PBB - Jubi IST
Ilustrasi pelapor PBB – Jubi IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi 

Jayapura, Jubi – Awal Februari 2019 lalu, publik ramai memperbincangkan video yang beredar di media sosial. Dalam video itu terlihat oknum polisi yang belakangan diketahui anggota Polres Jayawijaya menginterogasi seorang yang diduga pencuri menggunakan ular.

Read More

Video itu pun menuai respons dari berbagai pihak, tidak hanya Polda Papua, para ahli di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), juga anggota Komisi I DPR Papua bidang keamanan, pemerintahan, politik hukum dan HAM, Yonas Nusy.

Ia menilai cara tersebut tidak profesional. Justru akan berdampak pada citra kepolisian di masyarakat.

“Saya pikir cara itu tidak dibenarkan. Justru dapat merusak citra kepolisian di publik. Publik akan beranggapan semua polisi sama, padahal itu hanya dilakukan oknum,” kata Nusy via teleponnya kepada Jubi, Minggu, 24 Februari 2019 malam.

Menurutnya, bukan dalam kasus itu saja, selama ini dalam berbagai hal, sikap kepolisian menyebabkan institusi menjadi sorotan. Padahal institusi Polri tidak pernah memerintahkan anggotanya bertindak di luar prosedur.

“Misalnya kasus interogasi menggunakan ular, itu kan inisiatif oknum itu. Kapolda Papua juga sudah menyatakan itu tidak profesional,” katanya.

Nusy mendukung sikap Kapolda Papua Irjen Pol Martuani Sormin memberikan sanksi kepada oknum polisi yang diduga menggunakan ular menginterogasi pelaku, untuk menjadi pembelajaran pada anggota polisi lain agar tidak mengulangi kesalahan serupa, atau bertindak di luar prosedur kepolisian.

Sementara para ahli di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai, interogasi menggunakan ular tersebut mencerminkan pola kekerasan yang meluas, dugaan penangkapan sewenang-wenang dan penahanan serta metode penyiksaan yang digunakan oleh polisi dan militer Indonesia di Papua.

Para ahli yang terdiri dari Victoria Tauli Corpuz, Pelapor Khusus tentang hak-hak masyarakat adat; Seong -Phil Hong (Republik Korea), Ketua -Rapporteur, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang; Michel Forst (Prancis), Pelapor Khusus tentang situasi pembela HAM; Nils Melzer (Swiss), Pelapor Khusus tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; dan E. Tendayi Achiume, Pelapor Khusus tentang bentuk-bentuk rasisme kontemporer, diskriminasi ras, xenophobia dan intoleransi menyatakan, taktik ini sering digunakan terhadap masyarakat adat dan pembela hak asasi manusia. “Kejadian terbaru ini adalah gejala diskriminasi dan rasisme yang merupakan kebiasaan militer dan polisi Indonesia,” kata para ahli tersebut.

Meski Kepolisian Indonesia telah mengakui kejadian itu dan meminta maaf, namun, para ahli PBB berpendapat investigasi yang tidak memihak harus dilakukan.

Para ahli itu mendesak pemerintah mengambil tindakan mencegah penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi dan pejabat militer dalam penegakan hukum di Papua. Mereka yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia harus dimintai pertanggungjawaban, “kata para ahli tersebut.

Para ahli PBB ini juga sangat prihatin dengan budaya impunitas dan kurangnya investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Insiden yang terjadi di wilayah yang merupakan bagian dari Indonesia pada tahun 1969 ini menunjukkan semakin meningkatnya pertumbuhan gerakan vokal yang pro-kemerdekaan dalam beberapa dekade terakhir.

Kapolda Papua, Irjen Pol Martuani Sormin, beberapa hari pasca viralnya video interogasi itu memastikan jika oknum polisi dalam video tersebut yang diduga berpangkat Brigadir Dua (Bripda) dan berinsial TMP bersama seorang rekannya akan disanksi.

“Oknum polisi tersebut kami berikan sanksi sesuai kode etik kepolisian,” kata Sormin kepada wartawan di Jayapura, 11 Februari 2019.

Menurutnya, hasil pemeriksaan Bidang Propam Polda Papua, Bripda TMP melanggar kode etik. Yang bersangkutan dianggap tidak profesional dalam melaksanakan tugas, karena menggunakan ular dalam interogasi merupakan kekerasan psikis.

“Tidak dapat ditolerir. Aksi itu memang inisiatif oknum anggota tersebut. Meski ular yang digunakan itu tidak berbisa, namun tidak dapat dibenarkan,” ujarnya.

Kata Irjen Pol Martuani Sormin, dalam bekerja anggota polisi seharus profesional agar masyarakat dapat merasakan kedamaian. Namun apa yang dilakukan oknum polisi dengan menggunakan ular menginterogasi terduga pelaku merupakan sikap yang tidak dapat dibenarkan.

“Menggunakan ular untuk menakuti terduga pelaku kriminal, tentu tidak diperbolehkan, meski alasannya tersangka sudah tertangkap tangan, namun tidak mau mengaku sehingga ditakuti dengan ular,” katanya. (*)

editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply