75 tahun Indonesia merdeka, sikap kritis masih susah di Papua

papua-demo-anti rasisme
Ribuan orang Papua saat melakukan aksi anti rasisme di depan Universitas Cenderawasih, Kota Jayapura, Papua, 28 Agustus 2019 – Jubi/IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Theo Kelen

Saya sudah 17 tahun hidup di Papua. Sisa hidup saya mungkin akan dihabiskan di Papua juga. Saya menjadi saksi geliat pembangunan di tanah yang subur ini bagaimana beton-beton dipancang, mama-mama Papua yang berjuang hingga kini dan berjualan di emperan-emperan toko dan pinggiran jalan.

Read More

Saya juga menjadi saksi eksploitasi hutan-hutan adat untuk perumahan-perumahan elite dan lahan perkebunan sawit.

Di tanah ini juga, saya sering mendapati ungkapan “NKRI Harga Mati”. Kalau memasuki perayaan kemerdekaan, caption ini akan bertebaran selayaknya ubi jalar yang menjalari setiap sudut-sudut tembok kota hingga ke kompleks perumahan. Barangkali hanya di Papua warga yang kedapatan tak memasang bendera akan diberi sanksi.

Tentu masih segar di ingatan kita akan kasus rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya 2019 lalu. Aksi massa itu kemudian mengakibatkan Ferry Kombo beserta 6 orang lainnya divonis makar dan dijebloskan selama 10 sampai 11 bulan ke dalam penjara. Sebaliknya, pelaku rasisme hanya didekam 5 bulan penjara. Padahal, dampak yang ditimbulkan pelaku begitu besar.

Bangsa yang baru memasuki usia 75 tahun ini, telah menodai kemerdekaannya dengan pembungkaman aksi massa. Dua hari sebelum 17 Agustus 2019, sebanyak 29 orang ditahan atas aksi menolak New York Agreement di Kota dan Kabupaten Jayapura. Berselang dua hari setelah perayaan kemerdekaan, di kota Jayapura dan Nabire polisi membubarkan paksa aksi massa solidaritas penggalangan dana bagi Veronica Koman.

Pembungkaman demi pembungkaman terhadap ruang kebebasan terus dilakukan, semacam fobia dari pemerintah akan suara-suara kritis solidaritas kemanusian, yang terus mengalir deras di Papua.

Sebetulnya, di masa lalu dalam tulisan Libia Judith Giay “Papuans, It’s Not You, It’s Them”, yang diterbitkan Tirto.id ada pandangan-pandangan tertentu yang diutarakan kepada orang Papua. Pandangan-pandangan ini berfokus pada “kekurangan” orang Papua; kurang tata krama, kurang cantik, kurang tampan, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang beradab. Lazimnya pandangan tersebut hingga dipelihara oleh kolonial Belanda.

Segala pandangan miring di zaman kolonial Belanda, sekarang ini dipakai bangsa Indonesia sebagai kaca mata untuk melaksanakan pembangunan di Papua. Demi mengejar ketertinggalan, infrastruktur digencot tanpa memperdulikan keinginan sebenarnya orang Papua. Operasi-operasi dilancarkan demi mengamankan kepentingan negara, suara-suara yang bersebelahan dibungkam.

Seperti yang dicatat dalam buku “Papua Nyawene” karya Pastor Jhon Jonga, dkk (2014), sederet operasi dijalankan semenjak integrasi Papua kedalam bingkai NKRI; Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bratyudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), dan Insiden Mapenduma (1996).

Satu peristiwa yang mengerikan terjadi pada 4 April 2003, yang dikenal dengan peristiwa Wamena Berdarah; 9 orang terbunuh dan 38 orang luka-luka dan masih banyak peristiwa-peristiwa lainnya.

Sebaliknya, pandangan dan peristiwa-peristiwa di atas sejenak mengingatkan kita, bahwa di masa lalu terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap orang Papua. Kendati demikian, harusnya ada proses pengungkapan dan rekonsiliasi, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus. Satu peristiwa tidak diselesaikan, ditumpuk dengan peristiwa lainnya menghasilkan apa yang disebut dengan darurat kekerasan.

Terkadang saya berpikir kita benar-benar seutuhnya belum merdeka. Banyak peristiwa yang terjadi di tanah ini menjadi cermin akan ketidakmerdekaan itu. Aspirasi, yang disampaikan, yang menurut saya, rasional untuk diterima, malah orang yang menyampaikannya berhadapan dengan moncong senjata dan water canon.

Apa gunanya negara demokrasi, jika aspirasi rakyat disambut dengan kekerasan (senjata)? Benar-benar di tanah ini, umur boleh pendek tetapi penderitaan senantiasa panjang, tak berakhir. (*)

Penulis adalah mantan guru sejarah

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply