Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Siorus Degei*
Sejatinya pengibaran Bintang Fajar, 1 Desember 2021, di GOR Jayapura oleh delapan pemuda Papua bukan hal yang luar biasa (Kompas.com, 2/12/2021). Pengibaran itu merupakan sebuah tradisi politik yang sakral di Papua, sebab setiap tahun dia pasti berkibar.
Hal ini juga terlihat dari mentalitas para pengibar saat itu. Mereka tidak takut dan tergesa-gesa, bahkan terlihat santai meski lokasinya berdekatan dengan Mapolda Papua. Aksi mereka mereka terlihat sangat santai penuh demokratis (Indonews.com, 4/12/2021).
Mengapa 8 mahasiswa pengibar Bintang Fajar ditahan? Apa yang salah dengan tanggal 1 Desember? Apa yang salah dengan Bintang Fajar? Mengapa mereka dikenai sanksi makar?
Akar persoalannya sebenarnya di sini, mengapa sebelum pelurusan sejarah, 8 mahasiswa sudah ditahan, sebab mereka bertindak berdasarkan asumsi kebenaran sejarah, bahwa tepat 1 Desember 1961 itu kemerdekaan Papua telah terwujud melalui manifesto politik dan deklarasi kemerdekaan Papua Barat (Suarapapua.com, 29/11/2019).
Jika kepolisian dan kejaksaan merasa bahwa pengibaran Bintang Fajar itu sebuah kesalahan dan tindakan makar, maka ujilah terlebih dahulu, apa legal standing tanggal 1 Desember 1961 itu kuat atau lemah di mata hukum internasional? Apakah itu sebuah fakta atau fantasi belaka?
Baca juga: Menyoal nasib 407 ribuan anak Papua yang tidak sekolah
Semestinya pelurusan sejarah inilah yang dikedepankan jika memang negara ini sudah berumur 76 tahun, sebab, jika amanah otonomi tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komnas HAM dan Pengadilan HAM sebagaimana diamanatkan dalam Bab XII Pasal 45 dan 46 ayat 2 UU No.21/2001 (dpr-papua.go.id, 19/2019).
Jika KKR ini dibentuk dan distorsi sejarah aneksasi 1962 dan integrasi melalui Peperan 1969 dibahas dan diluruskan, maka kita semua akan menemukan kebenaran objektifnya. Kebenaran sejarah itu akan terbukti di kalangan internasional.
Dari situlah kita akan tahu apakah mengibarkan Bintang Fajar itu legal atau ilegal di Papua berdasarkan hukum internasional.
Selama pelurusan sejarah ini tidak didialogkan secara damai melalui KKR untuk pelurusan sejarah Papua, maka pemerintah Indonesia akan tetap tergerus habis sumber dayanya hanya untuk memadamkan asap dan api, sedangkan sumber dari asap dan api itu tidak digubris.
Hal ini pula yang ditegaskan oleh Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua), Emanuel Gobai, bahwa penetapan 8 pemuda itu sebagai tersangka dugaan makar itu merupakan sebuah praduga, sebab pemerintah memiliki kewajiban untuk membentuk KKR untuk pelurusan sejarah Papua (papua.tribunnews.com, 4/12/2021).
Setiap detik bangsa Papua kibarkan Bintang Fajar!
Jika penangkapan 8 mahasiswa pada 1 Desember 2021 merupakan tindakan makar menurut peradilan Indonesia, mengapa tidak sekaligus menangkap semua orang Papua yang setiap detik mengibarkan Bintang Fajar di ruang publik dan media sosial?
Sebenarnya pengibaran itu yang mengatasnamakan aksinya sebagai perwakilan dari United Movement Liberation For West Papua. Kemudian mereka ditahan oleh intel polisi dan ditetapkan secara sepihak oleh kepolisian dan kejaksaan sebagai tindakan makar.
Hemat penulis peristiwa semacam ini pada kadar esensialnya bukan hal yang baru atau kejadian luar biasa. Di Papua akan senantiasa kita saksikan bukan saja pada 1 Desember atau saat aksi-aksi kemanusiaan, melainkan aksi seperti ini dilakukan setiap detik oleh hampir seluruh bangsa Papua dan semua pihak yang mendukung penentuan nasib sendiri bagi Papua.
Pengibaran bintang fajar 1 Desember itu lazim di Papua sebagai sebuah tradisi politik yang sakral, sama seperti 17 Agustus bagi bangsa Indonesia. Bintang kejora akan selalu berkibar setiap detik di dalam hati nurani bangsa Papua.
Baca juga: Etika pembangunan infrastruktur di Tanah Papua
Ia berkibar di noken-noken bermotif Bintang Fajar, busana-busana, gelang, kalung, cincin, buku, dan media sosial.
Jika pemerintah melalui aparatnya bisa mencuci mata dengan melihat postingan di beranda-beranda platform media sosial (facebook, twitter, instagram, dan lainnya) yang menyuguhi gambar-gambar bendera bintang fajar, sejatinya semua itu merupakan bentuk propaganda yang ultim. Mengapa oknum-oknum itu tidak dikenakan pasal makar? Mengapa mereka tidak ditetapkan sebagai tahanan politik?
Hampir semua orang yang memposting gambar bendera bintang fajar itu adalah seluruh bangsa Papua, mengapa TNI/Polri tidak memerintahkan Pangdam dan Kapolda Papua untuk menahan, menangkap dan memenjarakan seluruh bangsa Papua sebagai pelaku makar cyber dan dipenjarakan? Apa bedanya mengibarkan Bintang Fajar sekali di samping mapolda Papua dan setiap detik mengibarkan Bintang Fajar di media sosial?
Hemat penulis mengibarkan Bintang Fajar setiap detik itu lebih parah ketimbang mengibarkan Bintang Fajar tiap 1 Desember.
Jika TNI/Polri bertaji dan konsisten mau menjalankan amanat UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI “Harga Mati”, seyogyanya mereka juga berani menahan, menangkap, dan memenjarakan seluruh bangsa Papua di mana saja, yang setiap detik mengibarkan Bintang Fajar di ruang publik. Bisa tidak mereka menetapkan bangsa Papua sebagai bangsa makar dan tahanan politik? Jika hal ini tidak dilakukan, maka kinerja TNI/Polri selama 76 tahun di Indonesia terbilang hanya formalitas belaka alias panas-panas tahi ayam.
Pengibaran Bintang Fajar bukan hal luar biasa
Jika TNI/Polri kewalahan menangani kasus Papua, janganlah main tangkap dan main tuduh, apalagi dengan menggunakan hukum makar terhadap aktivis kemanusiaan di Papua. Semua aksi kemanusiaan yang menuntut penentuan nasib sendiri bagi Papua tidak dilakukan tanpa koridor hukum dan fakta sejarah yang inheren.
Semua aksi yang selama ini dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka, baik dalam kubu ULMWP, kombatan bersenjata, TPNPB, maupun gerakan masyarakat sipil, Komite Nasional Papua Barat dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), berpedoman pada hukum internasional dan etika perjuangan bangsa yang berlaku secara global. Bahwa badan-badan perjuangan bangsa Papua ini bergerak dengan dasar legal standing hukum yang kuat.
Pertanyaannya adalah apa legal standing yang dipakai oleh pemerintah, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan di Papua, yang menetapkan aksi pengibaran Bintang Fajar di Jayapura 1 Desember 2021 sebagai tindakan makar? Padahal penetapan ini sangat kontras dengan dalil hukum yang resmi.
Berdasarkan KUHP pasal 107 tentang tindakan Makar, ayat (1) berbunyi makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, dan (2) para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Dari isi hukum tentang makar di atas bila kita pakai untuk melihat tindakan pengibaran Bintang Fajar di Jayapura, maka kita sendiri, secara sadar dengan akal sehat yang ada mampu menarik kesimpulan, bahwa tidak ada sama sekali logika makar di sana. Di mana letak kemakarannya? Karenanya, penetapan pelaku makar kepada delapan pemuda/mahasiswa tadi tidak lebih dari sebuah tuduhan tanpa bukti, sebuah praktik hukum yang penuh manipulatif.
Jokowi hormati Bintang Fajar
Seperti sudah disinggung di atas bahwa panorama Bintang Fajar di Papua bukan merupakan sesuatu baru, luar biasa atau tabu lagi, melainkan merupakan sebuah identitas bangsa Papua yang hakiki sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat, sebagaimana Indonesia dan bangsa-bangsa lain yang sudah sangat lazim sekali di Papua. Bahkan tidak sedikit kaum pendatang yang suka menggunakan busana atau pernak-pernik serta kerajinan tangan lainnya yang bermotif bintang fajar.
Mereka merasa kurang lengkap jika tidak mengunakan benda-benda itu sebagai identitas kepapuaan mereka. Mereka akan lebih merasa menyatu dengan Papua, atau semacam merasakan kepuasan batin jika menggunakan pernak-pernik bernuansa bintang fajar.
Bayangkan berapa banyak noken-noken, busana-busana, pernak-pernik bintang fajar yang dijual di pasar-pasar dan pinggir-pinggir jalan oleh mama-mama asli Papua? Bahkan ketika beberapa kali singgah di Sentani untuk membeli noken dari mama-mama Papua, Presiden Jokowi sendiri barangkali telah melihat sendiri noken-noken bermotif bintang fajar.
Seorang frater (calon pastor) yang sempat mengenakan baju bermotif bintang fajar diamankan di Stadion Mandala, padahal Presiden Jokowi sendiri tidak berbuat apa-apa ketika melihat noken-noken bermotif bintang fajar yang dijual mama-mama Papua. Jokowi malah terlihat begitu hormat dan penuh pengahargaan terhadap kreativitas mama-mama Papua.
Ketika semua pimpinan bangsa ini, khususnya kepolisian dan kejaksaan begitu sibuk mengurusi aksi pengibaran bintang fajar, sejak saat itulah kita memperoleh pengetahuan baru, bahwa kedua instansi tersebut dianggap tidak profesional, tidak kredibel dan integral dalam menyikapi persoalan Papua. Presiden Jokowi saja menghormati dan menghargai bintang fajar dengan mau membeli noken-noken yang bermotif kepapuaan, masa yang kecil-kecil terlalu sewot?
Dorong rekonsiliasi dan dialog damai
Kira-kira bagaimana proses, tahapan, dan tata cara penyelesaian konflik Papua? Tentunya banyak pihak bisa melahirkan resolusi atas konflik Papua. Dari Pemerintah RI, Jokowi sendiri telah menyarankan agar dialog mesti dilakukan, tapi dialog yang berbasis kesejahteraan dan pembangunan dalam bingkai NKRI (tempo.co, 14/10/2016). Resolusi juga datang dari jenderal TNI kita yang baru, Andhika Prakasa, yakni pemendekan pembinaan teritorial dan pendekatan komunikasi sosial (tirto.id, 23/11/2021).
Juga ada tawaran resolusi dari Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dengan pendekatan yang mengedepankan keterlibatan masyarakat adat (antaranews.com, 3/12/2021).
Pertama, jika semua pihak mau berdialog, maka pemerintah dan Komnas HAM mesti berkolaborasi, berkonsolidasi dan bersinergi dengan Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menyiapkan dialog Jakarta-Papua atau Papua-Jakarta;
Baca juga: Uskup Desmond Tutu dan warisan rekonsiliasi
Kedua, pemerintah segera membentuk KKR) untuk pelurusan sejarah Papua, sebab, setiap detik bangsa Papua melakukan makar, sehingga hal ini perlu diupayakan. Penangkapan 8 mahasiswa dan tapol Papua lainnya menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara yang kucing-kucingan;
Ketiga, jika dewan Gereja Papua mendukung kunjungan Dewan HAM PBB ke Papua (republika.co.id), juga berikhtiar untuk mengadakan rekonsiliasi damai yang kompetitif (wagadei.com, 10/10/2021), maka mesti juga mendukung, mendorong dan memerintahkan agar segera diselenggarakannya aksi doa puasa serentak Sorong-Samarai yang digalang oleh Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2).
Dengan demikian Papua tanah Damai, Papua Tanah Injil, Papua Israel Kedua dan Papua Tanah Surga yang selama ini diyakini oleh bangsa Papua, bukanlah kata-kata atau istilah semata, melainkan benar-benar akan terwujud. Mari dorong, dukung, dan desak terealisasinya dialog damai, kunjungan Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB (KT HAM PBB), dan ibadah raya serta aksi doa-puasa serentak Sorong-Samarai. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten