Nabire,Jubi- Komunitas Fight And Culture (FAC), rencananya akan menggelar festival kerohanian di Nabire pada September mendatang. Temanya mengembalikan akar sejarah gereja yang telah hilang.
Festival kerohanian ini akan dikolaborasi dengan budaya, agar bagaimana masyarakat adat enam suku pemilik hak ulayat di Nabire dapat melestarikan dan memelihara budayanya melalui bahasa daerahnya dalam memuji dan memuliakan Tuhan.
Ketua panitia, Gunawan Inggeruhi, Jumat (05/07/2019) mengungkapkan, peserta diprioritaskan bagi suku pribumi atau enam suku yang ada di Nabire selain ada peserta umum dari suku – suku lain.
Peserta dari keenam suku ini, diwajibkan hadir untuk menceritakan cara memuji dan memuliakan Tuhan melalui adat dan budayanya.
Sedangkan, peserta umum adalah suku – suku diluar enam pemilik hak ulayat di Nabire. Mereka juga akan ikut mengambil, Misalkan, suku dari Sowong, Kei dan Toraja atau lainnya.
“Intinya bahwa setiap suku bangsa memiliki bahasa menurut firman, wajib untuk memuji dan memuliakan Tuhan dalam kebersamaan yang artinya tidak ada perbedaan tetapi satu dalam Tuhan,” ungkapnya.
Dikatakan, festival ini tidak seperti festival pada umumnya. dalam kegiatan ini peserta dapat menampilkan dalam bahasa daerahnya, Karena bahasa saat ini sudah mulai hilang. Padahal bahasa adalah ciptaan Tuhan yang dianugerahi kepada manusia sebagai kekeyaan besar bagi setiap suku, maka wajib dipelihara.
“Sehingga dalam festival ini, akan menampilkan bagaimana suku suku pribumi dengan bahasa dan budayanya dalam memuji dan memuliakan Tuhan,” ujarnya.
Dijelaskan Gunawan, dengan menceritakan sejarah, asal usul dan keberadaan gereja melalui festival, maka diharapkan pemerintah bisa melihat bagian ini sebagai satu bagian yang terpenting. Mengakui bahwa di tempat ini (Nabire), Tuhan telah menaruh suku – suku pribumi . Sebab kata dia, saat ini, enam suku pesisir Nabire merasa terpinggirkan oleh suku suku lain.
“Tujuan festival sesuai tema adalah ketika enam suku pesisir Nabire sudah tidak bisa dihormati oleh pemerintah, dan pihak pihak bahkan suku suku dan komunitas komunitas. Sehingga masing masing suku peserta festival akan datang harus sedapat mungkin menampilkan bahasa daerah dalam memuji dan memuliakan Tuhan,” bebernya.
Lanjutnya, melalui cerita tentang sejarah gereja, injil masuk di sukunya dan peran gereja, sendhing tempo dulu, tidak terlepas dari suku pesisir yang ada di Nabire dalam menghormati budaya dan bahasa, tuturnya.
Sehingga Panitia berharap agar melalui kegiatan ini ada pengakuan dari pemerintah bahkan semua suku yang ada di Nabire ini bahwa ada suku yang memiliki. karena Tuhan telah menciptakan manusia dan manaruh mereka di setiap tempat – tempat, sehingga siapa saja boleh hidup di tempat ini tapi harus mengakuinya.
“Artinya, dengan berlandaskan pada firman Tuhan melalui kegiatan kerohanian, kami rasa bahwa situasi damai akan terjadi dalam hidup karena damai untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain termasuk suku pribumi di Nabire,” harapnya.
Di tempat yang sama, Petrus Alfons Nuboba dari FAC menambahkan, komunitasnya menghimpun semua Dedominasi gereja yang ada di Papua dan Papua Barat. Dan Di Nabire september mendatang benar mengadakan festival.
“Dengan melihat perkembangan gereja saat ini, kita belum tahu gereja – gereja pemula (awal) di Nabire dulu seperti apa, ” kata Nuboba.
Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menceritakan kepada generasi muda tentang sejarah perkembangan gereja dari zaman ke zaman. Sebab melihat kondisi saat ini yang memprihatinkan mengingat sejarah gereja banyak dilupakan.
“Sehingga tidak ada tujuan untuk merombak dan mendoktrin apalagi merubah gereja saat ini tapi ingin memperjelas identitas gereja di atas tanah ini, khususnya di Nabire, ” tandasnya.(*)
Editor: Syam Terrajana