Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Wakil Ketua DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan sulit mewujudkan agar semua calon kepala daerah di provinsi itu adalah orang asli Papua (OAP).
Pernyataan itu dikatakan Yunus Wonda, menyusul adanya aspirasi masyarakat asli Papua, yang menghendaki setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di provinsi itu adalah orang asli Papua.
Ia mengatakan, dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus atau Otsus Papua, hanya mengamanatkan calon gubernur dan wakil gubernur Papua harus orang asli Papua. Amanat itu terdapat dalam pasal 12 UU Otsus.
Sedangkan untuk calon bupati, wali kota, wakil bupati dan wakil wali kota, tidak diatur dalam kekhususan Papua.
“Selama Undang-Undang Otsus belum direvisi, sulit mewujudkan keinginan itu, karena tidak ada dasar hukumnya,” kata Yunus Wonda melalui panggilan teleponnya kepada Jubi, Rabu (19/8/2020).
Menurutnya, DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua atau MRP tidak tinggal diam selama ini.
DPR Papua telah mengesahkan peraturan daerah khusus (Perdasus) tentang rekrutmen politik partai politik (parpol) di Papua, September 2016 lalu.
Perdasus itu mengatur, agar parpol memprioritaskan orang asli Papua dalam rekrutmen jabatan politik, termasuk untuk calon kepala daerah, wakil kepala daerah dan calon legislatif.
Akan tetapi, saat Perdasus itu dikonsultasikan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tidak mendapat jawaban hingga kini meski DPR Papua telah berulangkali mempertanyakannya.
“Saya pikir ke depan, kalau Otsus direvisi hal-hal inilahvyang mesti diubah. Hak-hak politik orang asli Papua mesti diperjelas agar ada dasar hukumnya,” ujarnya.
Katanya, MRP juga pernah menetapkan keputusan MRP Nomor 11 Tahun 2015 tentang penolakan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di Provinsi Papua yang bukan orang asli Papua.
Akan tetapi, keputusan lembaga kultur itu juga tak dapat diberlakukan dan dijadikan landasan hukum.
“Selain itu, Undang-undang Otsus ini hanya berlaku di tingkat provinsi. Kabupaten-kota di Papua, mengacu pada Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004,” ucapnya.
Pekan lalu, puluhan orang di Kabupaten Merauke, Papua menggelar aksi unjukrasa damai menolak pencalonan warga non Papua dalam pemilihan kepala daerah setempat tahun ini.
Aksi penolakan kembali terjadi pada Selasa (18/8/2020), oleh elemen mahasiswa di wilayah itu. Massa berorasi di tiga lokasi berbeda, yakni kantor KPUD Merauke, kantor bupati dan kantor DPRD Merauke.
Seorang pengunjukrasa, Paulus Wafa dalam orasinya mengatakan pihaknya menolak calon kepala daerah dan wakil kepala daerah non Papua.
“Kini orang Marind semakin terpinggirkan di tanah ulayatnya. Di DPRD Merauke kini, hanya tiga keterwakilan orang asli Papua. Kini calon kepala daerah juga mau dikuasi oleh mereka dari luar,” kata Wafa.
Partai politik diminta bersikap dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Merauke, dengan mengutamakan calon orang asli setempat. (*)
Editor: Edho Sinaga