Papua No. 1 News Portal | Jubi
Bengkulu, Jubi – Sejumlah masyarakat daerah menolak pengesahan perubahan undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Di antaranya masyarakat Provinsi Bengkulu dari berbagai kalangan yang minta undang-undang Minerba tahun 2020 yang baru saja disahkan dianggap tidak berpihak kepada mereka.
“Dengan adanya UU Minerba ini kami merasa tidak ada keberpihakan pemerintah kepada kami. Lubang tambang dibiarkan, akses jalan kami petani dirusak, sawah kami dirusak, pemukiman rusak,” kata Kepala Desa Pondok Bakil, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, Yusmanilu, Penolakan itu disampaikan dalam sidang rakyat yang dilakukan secara virtual, Minggu (31/5/2020) kemarin.
Baca juga : Pertambangan di Indonesia dari masa VOC sampai Orde Baru (Freeport)
Warga Solok Selatan ini tertimbun tambang emas era kolonial
Izin tambang batu giok di Nagan Raya dipertanyakan
Yusmanilu menilai pengesahan itu tidak terbuka dan tidak manusiawi karena disahkan dalam situasi pandemi Covid-19 ketika banyak pekerja yang dirumahkan.
Aktivis lingkungan dari Mahasiswa Hukum Pecinta Alam (Mahupala) Universitas Bengkulu Riki Pratama Saputra, juga menyatakan penolakan. Ia menilai undang-undang Minerba cacat hukum karena tidak ada pembahasan sama sekali, hal tersebut menunjukkan tidak adanya keterbukaan.
“Pengesahan Undang-Undang Minerba menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada keterbukaan selama perancangan, bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan,” kata Riki.
Riki juga menyoroti tidak adanya peran DPD RI dalam pembahasan UU, padahal menurutnya DPD juga memiliki hak karena berkaitan dengan otonomi daerah.
“Kami tidak akan mengkhianati tuannya, kami mahasiswa dibantu oleh rakyat, bahwa kami mahasiswa akan terus berjuang. Ingat, sejarah negara dibangun oleh pemuda. Seperti kita ketahui rezim zalim akan tumbang. Kami menolak UU Minerba karena mendewakan manusia sebagai pusat alam semesta,” kata Riki menegaskan.
Sedangkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Edra Satmaidi, mengatakan pembuatan undang-undang harus memperhatikan landasan filosofis dan sosiologisnya. “Apakah memberikan dampak yang lebih baik pada masyarakat,”kata Edra.
Menurut dia, pembuatan undang-undang harus berprinsip kemandirian, berwawasan lingkungan, memperhatikan kesejahteraan, berdimensi HAM dan norma undang-undang harus berlaku umum kepada siapa saja, perseorangan, operasi, swasta, BUMD, kesempatan yang sama dalam usaha pertambangan.
“Harusnya semua keputusan ada pada negara, selalu menempatkan negara berdaulat di situ. Sudah saatnya kita tegakkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam,” kata Edra menjelaskan.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan sidang rakyat secara virtual dan langsung pada media sosial, disepakati bahwa warga Kalimantan menuntut undang-undang Minerba dibatalkan.
“Dalam sidang rakyat dengan tema Suara Rakyat Kalimantan yang ditayangkan secara langsung melalui medsos kemarin, semua sepakat minta UU Minerba dibatalkan karena menjadi pembuka jalan penghancuran ekologi di Kalimantan,” ujar Rupang.
Sidang rakyat digelar karena sebelumnya DPR mengesahkan perubahan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) atau UU Minerba dalam rapat paripurna pada Selasa (12/5).
Berbagai hal yang muncul dalam sidang rakyat secara virtual itu, antara lain pernyataan Taufik Iskandar, perwakilan masyarakat Desa Santan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim yang menyatakan kerusakan akibat penambangan di wilayahnya sangat kompleks.
Menurut dia, limbah yang dibuang ke Sungai Santan menyebabkan polusi air parah, sehingga masyarakat tidak lagi bisa memperoleh air bersih secara gratis. Bahkan, kini warga harus merogoh Rp200 ribu hingga Rp400 ribu untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
“Sungai itu sempat menjadi sumber penghasilan warga dengan tangkapan udang dan ikan, mereka bisa mengantongi sedikitnya Rp300 ribu hingga Rp 400 ribu dari hasil berburu di sungai kini sulit didapat,” kata Taufik.
Selain itu lubang-lubang bekas penambangan yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman warga pun menjadi isu yang tidak kunjung ada jalan keluarnya.
Ia menyebut di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, rumah warga dilanda banjir lumpur jika hujan. “Bahkan, lubang-lubang bekas tambang yang menganga ini telah memakan korban jiwa,” katanya. (*)
Editor : Edi Faisol