Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, hak asasi manusia dan keamanan Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Laurenzus Kadepa menduga ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan senjata api oleh polisi atau tentara yang bertugas di Papua. Hal itu disampaikan Kadepa pasca sejumlah kasus penembakan yang terjadi di Papua pada kurun waktu April hingga Juni 2019.
Laurenzus Kadepa menduga kejenuhan bertugas di lokasi yang terpencil sebagai salah satu faktor penyebab kerapnya terjadi penyalahgunaan senjata api oleh aparat keamanan di Papua. Selain itu, Kadepa juga menduga ada faktor psikologis yang membuat cara pandang aparat keamanan yang lebih mengedepankan tindakan represif dalam menangani masalah di Papua.
Baca juga Kapolda Papua akui polisi menembak tiga warga sipil
“Berbagai faktor ini mesti menjadi perhatian Kepala Kepolisian Daerah Papua dan Panglima Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih. Saya pikir, [aparat keamanan] yang bertugas di Papua ini jangan selalu membawa senjata. Apalagi jika bertugas di kampung-kampung,” kata Kadepa kepada Jubi, Rabu (12/6/2019).
Sepanjang 2019, telah terjadi sejumlah kasus penembakan oleh polisi maupun tentara yang menewaskan enam warga sipil di Papua, dan melukai lima warga lainnya. Pada 15 April, seorang polisi, Bripda AK yang sedang terlibat perselisihan keluarga, melepaskan tembakan yang melukai tiga orang warga tiga warga sipil di Asei Kecil Sentani Kabupaten Jayapura. Ketiga warga itu adalah, Apner Kaigere (43 tahun, yang terkena dibagian dada), Andi Hengga (36 tahun, terkena pantat), dan Niko Kaigere (tertembak di bagian kaki kanan).
Baca juga Wakil Ketua DPRD Deiyai: Dogopia tidak pernah merusak mobil polisi
Pada 21 Mei 2019, polisi menembak warga Kabupaten Deiyai, Melianus Dogopia, warga yang mabuk dan memalak mobil yang melintas di Waghete. Penembakan itu menimbulkan amuk massa yang membakar markas Kepolisian Sektor Tigi pada 21 Mei malam. Saat menghalau massa, polisi melepaskan tembakan, dan salah satu tembakan itu menewaskan Yulianus Mote.
Pada 27 Mei 2019, Serka FR, prajurit Detasemen Zeni Tempur 11/Mit Anim di Kabupaten Merauke menembak warga di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat. Penembakan itu menewaskan empat orang warga-Xaverius Sai (40), Nilolaus Tupa (38), Matias Amunep (16) dan Fredrikus Inepi (35). Seorang warga lainnya, Jhon Tatai (25), tertembak di bagian tangan kanan dan kiri, dan tangan kiri Tatai diamputasi karena luka tembak itu.
Pada 4 Juni 2019 dini hari, Brigadir RK yang mabuk menembak tewas warga Merauke bernama Yohanes Octo Moiwend. Penembakan itu terjadi di sebuah cafe yang berada di kampung Wogekel, Distrik Ilyawab, Kabupaten Merauke.
Peristiwa penembakan terhadap warga sipil di Papua menurut Laurenzus Kadepa bukan kasus baru. Kasus serupa terjadi hampir setiap tahun, dan dari peristiwa ke peristiwa DPR Papua selalu bicara, turun ke lapangan dan mendesak agar korban mendapat keadilan. Akan tetapi, tidak pernah dirasakan korban dan keluarganya.
Baca juga Oknum TNI penembak lima warga Asmat bukan anggota Koramil Fayit
Kadepa menyayangkan dalam beberapa kasus penembakan terdahulu para pelaku dihukum ringan, seperti meminta maaf kepada keluarga korban, atau terkena sanksi penundaan kenaikan pangkat, ataupun hukuman lainnya. “[Kali ini] Kapolda dan Pangdam harus tegas terhadap pelaku penembakan di Papua belakang ini. Baik itu [atas kasus penembakan yang terjadi] di Deiyai, Asmat dan Merauke,” ujarnya.
Kadepa juga berharap angggota TNI/Polri yang bertugas di Papua dapat membaur bersama masyarakat, sehingga memahami karakter masyarakat di Papua dan bisa mengedepankan cara humanis dalam menangani permasalah di Papua. Kadepa mengingatkan jika penembakan terhadap warga sipil terus terjadi, penembakan itu akan memperbesar rasa tidak percaya rakyat Papua terhadap aparat keamanan.
Baca juga Mabuk, oknum polisi di Merauke tembak warga hingga tewas
“Peluru jangan gampang ditembakkan. Di mana rasa kemanusiaanya? Bagaimana jika yang korban adalah keluarga oknum pelaku itu? Bagaimana perasaan mereka?” ucapnya.
Pernyataan yang sama disampaikan Kepala Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Papua, Frits Ramadey. Menurutnya, aparat keamanan yang melakukan penembakan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk bernegosiasi, ataupun mediasi konflik atau masalah yang terjadi dalam masyarakat di Papua.
Baca juga Polda Papua berupaya cegah penyalahgunaan senjata api oleh polisi
Ramandey juga menilai para pelaku penembakan terhadap warga sipil itu tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai karakterisktik dan budaya masyarakat di tempatnya. Ramandey juga menduga kejenuhan akibat waktu penugasan yang terlalu lama, dan kurang matangnya kondisi psikologis aparat keamanan membuat penyalahgunaan senjata api kerap terjadi di Papua.
“TNI dan Polri mesti melakukan evaluasi tentang prosedur tetap, penyegaran dan peningkatan kemampuan terhadap anggota di daerah. Kasus oknum aparat TNI/Polri menyalahgunakan senjata cenderung meningkat,” kata Ramandey. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G