Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota Badan Pembentukan Peraturan atau Bapemperda DPR Papua, John NR Gobai mengatakan, pihaknya mengusulkan revisi peraturan daerah khusus (perdasus) Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pembinaan Kebudayaan Asli Papua, untuk proteksi kebudayaan Papua.
Menurutnya, perdasus ini mesti direvisi karena masih banyak hal yang belum diatur di dalamnya.
Misalnya mengenai aksesoris, dan siapa yang berhak mendapat pemberian nama atau gelar adat dan mahkota adat.
Selain itu, usulan revisi tersebut merupakan aspirasi para pimpinan dan tokoh adat saat bertemu pihaknya beberapa waktu lalu.
“Ada berbagai pasal yang kami masukkan dalam draf revisi perdasus yang kami dorong. Kini drafnya sudah siap, tinggal kapan pimpinan DPR Papua melaksanakan peripurna non-APB untuk mengesahkan draf raperdasus,” kata John Gobai kepada Jubi, Rabu (1/9/2021).
Katanya, Perdasus Nomor 16 Tahun 2008, hanya menitik beratkan pada seni. Padahal apabila bicara budaya mesti memenuhi tujuh unsur.
Katanya, melalui usulan revisi pihaknya mengusulkan sejumlah pasal mengenai tujuh unsur budaya. Selain art shop, pemberian gelar anak adat dan mahkota kebesaran adat, juga mengenai museum, dan hak cipta.
Dibidang bahasa, ada pasal dalam draf revisi yang mengatur mengenai penggunaan bahasa daerah para hari hari tertentu.
Mengembalikan nama nama jalan dengan bahas daerah, dan nama wilayah yang sudah berubah, dikembalikan ke nama aslinya.
Dibidang riligi, diatur mengenai ritual adat oleh masyarakat adat agar dihormati. Adapula aturan pelestarian tempat sakral.
“Itu yang sudah diatur dalam draf revisi rerdasus kebudayaan yang kami usul. Kita harap, dibidang kesenian ada hari hari tertentu memutar lagu daerah di tempat umum, dan seniman diberi ruang mengisi acara di pemerintahan maupun swasta,” ujarnya.
Gobai mengatakan, dibidang teknologi perahu tradisional dipandang juga perlu dilindungi. Sebab, bentuk perahu asli akan hilang kalau tak diberi ruang karena didominasi perahu modern.
Tempat-tempat dan alat berburu masyarakat, bercocok tanam pun mesti dilindungi, dihormati dan dikembangkan.
Selain itu, mesti ada peran dewan kesenian di Tanah Papua, sebab dalam perdasus lama itu belum diatur. Begitu juga peran perguruan tinggi dan keterlibatan badan dari Kementerian. Misalnya Balai Bahasa, Balai Arkeologi, dan Balai Pelestarian Seni dan Budaya, agar sinkron.
“Juga terkait dukungan kepada museum. Ada museum Negeri Jayapura, Museum Uncen, Museum Noken dan Museum Asmat. Makanya kami dorong,” ucapnya.
Pihaknya juga mendorong agar taman budaya direvitalisasi menjadi pusat kebudayan Papua. Ini dianggap penting agar menjadi tempat para seniman menampilkan pertujukan seni misalnya seni tari, budaya, seni rupa, dan lainnya. Ini dinilai salah satu cara menghidupkan kesenian di Papua.
“Itu beberapa yang kami dorong dalam perda baru dan mesti didukung para pihak,” katanya.
Kata Gobai, pelestarian kebudayaan ini merupakan tanggung jawab adat dan lembaga keagamaan. Bukan hanya pemerintah.
Lembaga keagamaan dapat berperan melestarikan bahasa dan budaya, dengan menetapkan adanya hari atau waktu tertentu penggunaan bahasa daerah dalam ibadah di gereja.
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Komisi V DPR Papua, komisi yang membidangi seni dan budaya, Fauzun Nihayah mengatakan penting melestarikan seni dan budaya yang merupakan ciri khas Bumi Cenderawasih.
Menurutnya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mesti memiliki tanggung jawab melestarikan seni dan budaya setiap daerah di Bumi Cenderawasih.
“Di Papua ini ada lima wilayah adat, yakni Mamta, Saireri, Lapago, Meepago dan Animha. Setiap wilayah adat itu memiliki ciri khas seni dan budaya tersendiri,” kata Fauzun.
Katanya, seni dan budaya merupakan bagian dari identitas sebuah daerah. Untuk itu pemerintah daerah, perlu memperhatikan keberlangsungan seni dan budaya setiap daerah di Papua dengan serius. (*)
Editor: Edho Sinaga