Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Sebanyak 102 organisasi gerakan rakyat Papua yang terdiri dari organisasi politik Papua merdeka, organisasi sektoral, organisasi mahasiswa, organisasi paguyuban, Lembaga Adat dan lainnya sepakat melanjutkan Petisi Rakyat Papua, menggalang dukungan penolakan kelanjutan Undang Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) di Papua dan Papua Barat.
Ratusan organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) ini akan menggalang dukungan penolakan kelanjutan pemberlakuan Otsus di Papua dan Papua Barat, yang telah dimulai sejak 2020 silam.
Juru Bicara dalam negeri PRP, Samuel Awom mengatakan saat petisi tolak Otsus dan segera gelar referendum di West Papua pada 2020 lalu, suara yang dikumpulkan sebanyak 654.561.
Pernyataan itu disampaikan Awom dalam keterangan pers “Petisi Rakyat Papua” secara daring, Kamis (7/1/2021).
Awom menyatakan, ada enam poin pernyataan sikap PRP, yakni Petisi Rakyat Papua adalah manifestasi sikap politik rakyat West Papua yang menolak keberadaan dan keberlanjutan Otonomi Khusus di West Papua.
Petisi Rakyat Papua akan mengawal sikap rakyat West Papua untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri secara damai dan demokratis.
“Kami bersepakat melanjutkan penggalangan Petisi Rakyat Papua untuk tahapan kedua. Kami menolak segala bentuk kompromi dan representasi politik diluar dari sikap rakyat Papua melalui Petisi Rakyat Papua,” kata Awom.
Selain itu, PRP mendesak para pihak di Jakarta menghentikan pembahasan revisi UU Otonomi Khusus dan mendengar sikap, serta tuntutan rakyat West Papua melalui Petisi Rakyat Papua.
“Kami berkomitmen untuk mendorong Persatuan Demokratik dalam Perjuangan Pembebasan Nasional West Papua,” ujarnya.
Kata Awom ada berbagai alasan yang mendasari pihaknya menolak kelanjutan Otsus di Tanah Papua yang diberlakukan sejak 2001 itu.
Di antaranya, Otsus dinilai gagal dalam berbagai aspek. Kebijakan itu tidak mampu meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan terhadap orang asli Papua.
Katanya di tengah masalah pendidikan dan kesehatan yang tak kunjung membaik, arus transmigrasi ke Tanah Papua terus secara besar besaran terus terjadi. Data 2015, menunjukkan ada 763.807 ribu jiwa datang ke Tanah Papua.
Sementara data orang asli Papua berdasarkan marga pada 2019, sebanyak 2.386.048 jiwa.
“Berdasarkan akumulasi antara data kelahiran, kematian, serta arus transmigrasi yang tak terkontrol, bukan hal yang tidak mungkin kalau [orang asli] Papua sedang menuju ambang kepunahan,” ucapnya.
Selain itu menurutnya, sejak era Otsus tercatat terjadi berbagai kasus pelanggaran HAM. Di antaranya Wasior berdarah pada 2003, Wamena berdarah pada 2005, Abepura berdarah pada 2006, Paniai berdarah pada 2014, peristiwa di Kabupaten Nduga dan Intan Jaya pada 2018-2019, dan berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Tanah Papua selama era Otsus yang tidak sempat terdata.
“Semua peristiwa pelanggaran HAM tersebut membuat ratusan ribu rakyat sipil Papua meninggal. Ribuan rakyat sipil mengungsi dari tempat mereka berada dan tidak mendapat perlakuan adil di depan hukum. Pelaku mendapat impunitas bahkan terkesan kasus pelanggran HAM tersebut sengaja dihilangkan oleh Negara Indonesia,” katanya.
Kata Awom, dari aspek ekonomi dan pembangunan infrastruktur, Tanah Papua dijadikan lumbung investasi Indonesia dengan alasan percepatan pemerataan pembangunan. Ini terlihat dari angka investasi yang semakin massif dan marak selama era Otsus.
Pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua dinilai sebagai upaya memuluskan niat Pemerintah Indonesia mengekploitasi sumber daya alam Papua. Hingga 2019, tercatat sekitar 9.053 perusahaan skala besar dan kecil tersebar di seluruh Tanah Papua.
Ribuan perusahaan itu mencaplok lebih dari 29 juta hektar dari total 46 juta hektar wilayah Papua. Ini berdasarkan data yang dikomparasikan antara BPS Provinsi Papua dan Papua Barat, Yayasan PUSAKA dan Jerat Papua.
“Sudah 19 tahun Otsus bergulir di Tanah Papua namun tak menjawab keinginan Jakarta terhadap rakyat Papua. Sebab tuntutan rakyat Papua, sebagaimana awal lahirnya kebijakan Otsus adalah ingin berdaulat penuh atas tanah airnya atau merdeka,” kata Samuel Awom.
Yohan Giay dari Green Papua mengatakan, Otsus merupakan kebijakan politik Pemerintah Indonesia terhadap Papua yang dipaksakan sejak awal.
Menurutnya, ketika pemerintah akan memberlakukan Otsus bagi Papua pada 2001, tidak dengan proses demokrasi.
“Sejak awal sudah tidak sesuai keinginan rakyat Papua, yang saat itu ingin berdaulat secara ekonomi, pengelolaan sumber daya alam dan secara politik,” kata Giay.
Katanya, yang merasakan dampak kehadiran Otsus selama ini adalah rakyat Papua. Keliru jika pemerintah mengambil alih kewenangan rakyat Papua menentukan keberhasilan, kegagalan dan kelanjutan Otsus.
“Tidak ada yang berhak mengintervensi rakyat Papua menilai Otsus apakah lanjut atau tidak. Rakyat Papua yang mesti menentukan lanjut tidaknya Otsus,” ucapnya. (*)
Editor: Syam Terrajana