Pusaka-SKP-KAME tolak keberadaan PT. Merauke Rayon Jaya

Kepala Dinas kehutanan Provinsi Papua Yan Yap L.Ormuseray-Jubi/david Sobolim.

Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura,Jubi – Yayasan Pusaka, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke, SKP-KAME melayangkan surat protes pada 7 Oktober 2019. lembaga-lembaga tersebut keberatan atas Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor SK.7099/MENLHKPKTL/ IPSDH/PLA.1/8/2019, tanggal 28 Agustus 2019, tentang Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Dalam surat protes tersebut, Direktur Yayasan Pusaka Frangky Saparante melalui rilisnya menjelaskan. pada 28 Mei 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, membuat surat keputusan Nomor: SK.3588/MENLHKPKTL/ IPSDH/PLA.1/5/2018, tentang Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan danPerubahan Peruntukkan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (Revisi XIV).

Read More

Ada juga surat keputusan Nomor: SK.8599/MENLHKPKTL/ IPSDH/PLA.1/12/2018, tertanggal 17 Desember 2018, tentang Peta(PIPPIB) Revisi XV;

Kemudian pada tanggal 28 Agustus 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, telah menetapkan surat keputusan Nomor: SK.7099/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019, tentang Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Berdasarkan kajian atas keputusan tersebut, yayasan Pusaka dan SKP KAME menemukan adanya perbedaan dan perubahan berkurangnya dan atau dikeluarkannya kawasan hutan yang menjadi objek penundaan pemberian izin baru pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut, pada daerah Muting di Kabupaten Merauke (Lembar 3408) dan daerah Subur di Kabupaten Boven Digoel (Lembar 3409).

Diketahui, pada kawasan hutan yang telah dikeluarkan dari PIPPIB Revisi XV (2018) dan Revisi (2019) tersebut telah diberikan izin baru atau perpanjangan izin kepada perusahaan PT. Merauke Rayon Jaya untuk kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK – HTI) berdasarkan SK.238/MENLHK/SETJEN/KUM.1/52018, seluas 206.800 hektar.

Pada areal konsesi (IUPHHK-HTI) PT. Merauke Rayon Jaya, terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektar dan kawasan hutan alam primer yang menjadi objek PIPPIB seluas 131.314 hektar.

Padahal menurutnya, keberadaan PT. Merauke Rayon Jaya, sudah ditolak oleh pemerintah Provinsi Papua melalui Surat Gubernur Papua Nomor 522.1/4124/SET, tanggal 12 Agustus 2013, perihal usulan pencabutan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT di Provinsi Papua serta Surat Bupati Merauke Nomor 590/2943, tanggal 19 September 2007, perihal pencabutan izin HPH/HTI PT. Maharani Rayon Jaya yang kemudian berganti nama menjadi PT. Merauke Rayon Jaya, MRJ.

Karena perusahaan tidak aktif sebagaimana mestinya dan menolak tegas kembalinya PT. MRJ; berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, Pasal 43, ayat 4 dan penjelasannya, maka setiap penyediaan tanah adat untuk keperluan apapun harus melalui musyawarah dengan masyarakat adat setempat. Berdasarkan hasil musyawarah tersebut kebijakan dan perijinan apapun diterbitkan.

Yayasan Pusaka dan SKP KAME mendapatkan konfirmasi dari lapangan, bahwa pemimpin masyarakat adat dan warga di Kampung Selil, Distrik Ulilin, Kabupaten Merauke; Kampung Kaisah dan Kampung Subur, Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, menyatakan tidak mengetahui keberadaan dan aktifitas perusahaan PT. MRJ tersebut.

“Masyarakat setempat tidak pernah dikonsultasikan terkait peta PIPPIB maupun pemberian izin-izin PT. MRJ. Pemimpin masyarakat adat Wambon Tekamerop masih menolak izin dan rencana perusahaan yang beroperasi di wilayah adat mereka; dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diduga secara sengaja mengabaikan hak-hak masyarakat adat setempat,” jelas Frangky Saparante.

Dia mengatakan, ini sebagaimana Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, maka perubahan dan atau pembaruan izin PT. MRJ bertentangan dengan kehendak penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan, serta asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni: asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.

Dia juga menyebut surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor: SK.7099/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019, tanggal 28 Agustus 2019, tentang Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Amar KETIGA; Amar KETUJUH; maka proses revisi dipastikan mengabaikan hak-hak masyarakat adat setempat untuk terlibat menentukan kebijakan pemberian izin, revisi PIPPIB dan pelaksanaannya.

Berdasarkan temuan dan pandangan tersebut maka pihaknya menyatakan protes atas Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor SK.7099/MENLHKPKTL/
IPSDH/PLA.1/8/2019, tanggal 28 Agustus 2019, tentang Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Pihaknya meminta kepada Pemerintah daerah dan Kementerian terkait sungguh-sungguh menghormati, melindungi dan memenuhi hak- hak masyarakat, dengan melibatkan masyarakat menentukan berbagai kebijakan dan perizinan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam di wilayah adat mereka, dalam berbagai tahapan sejak kebijakan hingga pelaksanaannya.

Pihaknya juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak melanjutkan dan memperbarui pemberian izin PT. Merauke Rayon Jaya, sebagaimana suara masyarakat dan keputusan pemerintah Provinsi Papua maupun Kabupaten Merauke

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Yan Yap.L Ormuseray, mengatakan sejak dirinya ditunjuk jadi kepala dinas kehutanan pada 2013, dirinya sudah melakukan pendataan kembali sektor kehutanan di wilayah itu.

Dalam hal menata perijinan, dirinya mengklaim telah melakukan evaluasi. Baik untuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam HPH dan izin usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman HTI serta evaluasi dan ada indikator-indikator di gunakan untuk izin-izin perusahaan di Tanah Papua.

Salah satu indikatornya, yakni berapa lama perusahaan itu aktif dan tidak melakukan aktivititas serta tidak memberikan kontribusi terhadap masyarakat setempat, pemerintah daerah dan negara .

Pihaknya mengusulkan kepada gubernur Papua hingga akhirnya keluarlah surat nomor 522.1/4124/SET, tanggal 12 Agustus 2013. Surat yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI itu berisi perimintaan untuk mencabut izin 7 perusahaan. Salah satu di antaranya adalah perusahaan Merauke Rayon Jaya (MRJ).

“Sampai hari ini dinas Kehutanan Provinsi Papua belum tahu terkait aktivitas perusahaan MRJ itu,” jelas Ormuseray kepada Jubi. (*)

Editor: Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply