Presiden diminta perintahkan Jaksa Agung segera menyidik kasus Paniai Berdarah

Kasus Paniai Berdarah Papua
Makam empat siswa korban penembakan Paniai Berdarah 8 Desember 2014 di lapangan Karel Gobay, Enarotali, Kabupaten Paniai. Papua – Jubi/Ist
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Yogyakarta, Jubi – Sejumlah 16 lembaga swadaya masyarakat membuat Pernyataan Bersama Masyarakat Sipil yang meminta Presiden Joko Widodo segera memerintahkan Jaksa Agung untuk menjalankan penyidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat dalam peristiwa Paniai Berdarah yang terjadi pada Desember 2014. Jokowi juga diminta memastikan adanya pemenuhan hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan bagi para korban dan keluarga korban.

Pernyataan Bersama Masyarakat Sipil itu disampaikan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Greenpeace Indonesia, Papua Itu Kita, Human Rights Working Group (HRWG), Elsham Papua, Setara Institute, KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan, Solidaritas Perempuan, SKPKC Fransiskan Papua, Perhimpunan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP), TAPOL – UK, dan PEMBEBASAN.

Read More

Pembela hukum dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor G Hutapea menyatakan permintaan 16 organisasi masyarakat sipil itu disampaikan setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyatakan proses penyelidikan peristiwa Paniai yang terjadi pada Peristiwa Paniai terjadi 7-8 Desember 2014 telah dikembalikan lagi oleh Kejaksaan Agung. Hutapea menyatakan pihaknya mendesak agar Jokowi turun tangan, karena Kejaksaan Agung terus mengembalikan berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah.

Komnas HAM RI telah maksimal menjalankan wewenang penyelidikannya. Komnas HAM telah menemukan bukti permulaan yang cukup, bahwa peristiwa kekerasan di Paniai terindikasi sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM juga mengikuti arahan bolak-balik berkas sebelumnya oleh Jaksa Agung,” kata Hutapea saat dihubungi pada Sabtu (6/6/2020).

Hutapea menyebut Komnas HAM yang tidak memiliki penyidikan memang tidak bisa menyimpulkan siapa tersangka, dan menyusun dokumen menuju proses penuntutan di penyidikan. “Sesuai Pasal 21 dan 22 UU Pengadilan HAM, wewenang penyidikan ada di Jaksa Agung. Kesimpulan dalam berkas penyelidikan Komnas HAM sudah memadai bagi Jaksa Agung untuk memulai penyidikan kasus Paniai Berdarah, dan menjalankan wewenangnya sebagai penyidik,” tegas Hutapea.

Ia menegaskan kelanjutan proses hukum dalam pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah sepenuhnya berada di tangan Presiden. “Bola sudah berada di tangan presiden. Sekarang tinggal kita melihat, Presiden memiliki kemauan politik untuk menuntaskan kasus Paniai Berdarah atau tidak. Jika ya, Presiden bisa secepatnya memerintahkan Jaksa Agung untuk menyidik kasus Paniai Berdarah,” kata Hutapea.

Baca juga: Keluarga korban Paniai Berdarah masih menunggu para pelaku diadili

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar juga menilai semua wewenang penyelidikan Komnas HAM telah digunakan secara maksimal. “Hasil kerja Komnas HAM telah cukup menjadi dasar bagi Jaksa Agung untuk memulai penyidikan kasus itu. Presiden harus memastikan hal itu,” kata Siregar saat dihubungi di Jayapura, Sabtu.

“Kami memang menunggu Jokowi. Kalau Jokowi mau bersikap tegas, besok pun dia bisa langsung memerintahkan Jaksa Agung untuk memulai penyidikan pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Atau, kalau memang Jaksa Agung tidak mampu, Presiden bisa memerintahkan Jaksa Agung mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan/atau masyarakat, sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU Pengadilan HAM,” tegas Siregar.

Siregar menyatakan tuntas atau tidaknya kasus Paniai Berdarah sepenuhnya bergantung kepada kemauan politik Jokowi. “Ini kasus pelanggaran HAM di Papua yang paling mungkin diselesaikan oleh Jokowi, karena terjadi pada masa pemerintahannya. Apalagi Jokowi sudah berjanji untuk menyelesaikan kasus itu. Tinggal sekarang kita lihat, ada atau tidak kemauan politik Jokowi untuk itu,” kata Siregar.

Melalui Keterangan Pers Nomor:023/Humas/KH/VI/2020 yang disiarkan pada Kamis (4/6/2020), Komnas HAM menyatakan telah menerima pengembalian berkas penyelidikan peristiwa Paniai Berdarah pada 20 Mei 2020. Padahal, demikian menurut Komnas HAM, penyidikan kasus Pania.

“Hasil penyelidikan Komnas HAM RI atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat kasus Paniai 2014 sepatutnya dimaknai oleh Presiden sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan kasus tersebut secara adil sebagai mana dijanjikan oleh Presiden. Proses yang sebelumnya telah dilakukan oleh Menkopolhukam RI, TNI, dan Kepolisian RI atas kasus Paniai terbukti tidak dapat menghadirkan keadilan sesuai dengan prinsip HAM. Oleh karena itu, proses hukum dalam skema pelanggaran berat HAM atas kasus Paniai 2014 merupakan kesempatan bagi Presiden untuk membuktikan janji keadilan bagi masyarakat Paniai khususnya, dan masyarakat Papua umumnya,” demikian Keterangan Pers Komnas HAM.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply