Polres Paniai diminta bebaskan sembilan pemuda Deiyai

Keenam tersangka aksi antirasisme saat ditahan di Rutan Polres Jayapura, Doyo Baru, Sentani. - Jubi/Dok
Keenam tersangka aksi antirasisme saat ditahan di Rutan Polres Jayapura, Doyo Baru, Sentani. – Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 menjelaskan bahwa segala diskriminasi suatu ras dan etnis harus dihapuskan, karena umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis.

Read More

Hal itu dikatakan Naftali Magai, tokoh pemuda Deiyai terkait aksi penolakan ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua (orang Papua) di Surabaya dan Malang pada 28 Agustus 2019 lalu di Deiyai, yang mengakibatkan ditahannya sembilan orang pemuda oleh Polres Paniai.

“Karena keberadaan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Tahun 2008 yang masih berlaku hingga saat ini.
Kami menilai tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis,” ujar Naftali Magai kepada Jubi, Jumat, (22/11/2019).

DPRD terpilih Kabupaten Deiyai ini mengatakan, apabila ada oknum yang mengatakan Deiyai sudah kondusif itu salah, karena beberapa pemuda yang ditangkap pihak kepolisian ada dalam proses hukum (tahanan) dan mereka belum dibebaskan.

“Walaupun secara kondisi riil lingkungan di Kabupaten Deiyai terlihat sudah aman dan kondusif, tetapi kami masih katakan masyarakat belum mempunyai suatu ruang untuk ketenangan. Karena sembilan pemuda Deiyai belum dibebaskan dari tahanan. Selama mereka belum dibebaskan dari tahanan, masyarakat Deiyai akar rumput pun tetap ikut merasa teraniaya dan menderita, karena pemuda-pemuda yang ada dalam tahanan itu bagian dari masyarakat Deiyai,” ungkapnya.

Lanjut dia, jika Bupati Deiyai, Kapolres Paniai, Dandim melakukan kesepakatan bersama bahwa Deiyai kondusif, hal itu tidak akan terwujud selama sembilan pemuda masih jadi tahanan Kejaksaan Negeri Nabire, dan enam lainnya masih di Rutan Polres Jayapura (Sentani).

“Beberapa bulan yang lalu Bupati Deiyai meminta kepada Kapolres Paniai dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nabire segera membebaskan sembilan pemuda yang sedang diproses hukum. Itu pun kedua lembaga terkait belum hargai padahal ini kata orang nomor satu di Deiyai, malah dipindahkan ke Mapolres Jayapura di Doyo dan mereka sudah kenakan pasal makar yang berbeda,” tuturnya.

Sementara itu, Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Emanuel Gobai, mengatakan sidang perdana terhadap enam tersangka aksi antirasisme di Deiyai, 28 Agustus 2019, diinformasikan ditunda Pengadilan Negeri (PN) Nabire, Papua.

“Keenam orang adalah Juven Pekei, Melianus Mote, Andreas Douw, Stepanus Goo, Alex Pakage, dan Simon Petrus Ukago,” ujar Gobai.

Tokoh pemuda Deiyai lainnya, Tino Mote mengatakan, sesungguhnya kesembilan pemuda ialah korban rasisme yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Mereka ini korban. Korban disebut sebagai monyet, juga korban penganiayaan oleh aparat saat penembakan brutal itu terjadi di halaman kantor Bupati Deiyai waktu lalu,” kata Mote, sambil menambahkan karena itu mereka tidak pantas diproses hukum. (*)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply