Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Dosen Program Studi Ilmu Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih, Yakobus Murafer menilai sah-sah saja jika ada yang berpolemik tentang perpanjangan masa jabatan Gubernur Papua Barat, Dominggu Mandacan. Akan tetapi, Murafer mengingatkan bahwa pihak yang berpolemik juga harus mengacu aturan yang ada.
Hal itu disampaikan Murafer saat dihubungi Jubi pada Sabtu (19/2/2022). Ia menyampaikan hal itu menanggapi terjadinya polemik tentang perpanjangan masa jabatan Gubernur Papua, Dominggus Mandacan hingga tahun 2024, ataupun usulan penunjukan Mandacan menjadi caretaker jika masa jabatannya berakhir pada Mei nanti.
Sebelumnya, pada 14 Februari 2022, sekelompok orang yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Peduli Hak Konstitusi berunjuk rasa di Manokwari. Mereka mendesak pemerintah pusat memperpanjang masa jabatan Gubernur Papua Barat hingga 2024. KlikPapua.com melansir pernyataan Koordinator Aksi Ronald Mambieuw yang meminta Presiden Joko Widodo memperpanjang masa jabatan Dominggus Mandacan, dan menolak siapapun pejabat yang nantinya diturunkan sebagai caretaker Gubernur Papua Barat.
Menanggapi hal itu, Yakobus Marafer menyatakan penyampaian pendapat apapun sah-sah saja, sebab negara menjamin setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya. “Masyarakat boleh berpendapat dalam konteks kebutuhan dan kepentingan pembangunan di daerah yang mereka tempati. Itu sah-sah saja,” katanya.
Murafer menjelaskan dalam satu periode, masa jabatan Gubernur adalah 5 tahun, dan hal itu diatur dengan undang-undang. “Khusus untuk Gubernur itu, publik perlu ketahui bahwa masa jabatan itu dibatasi [sesuai] periodenya, 5 tahun per periode,” katanya.
Ia menyatakan tidak ada aturan yang bisa dijadikan dasar untuk memperpanjang masa jabatan seorang Gubernur melampaui periodenya. “Indonesia tidak punya aturan seperti itu. Kalau warga desak demikian, itu dinamakan dengan inkonstitusional,” katanya.
Murafer mengatakan jika masa jabatan seorang Gubernur berakhir, dan belum Gubernur terpilih yang baru, maka posisi Gubernur itu akan diisi oleh caretaker yang ditentukan Menteri Dalam Negeri. Akan tetapi, penunjukan caretaker bukanlah celah untuk memperpanjang masa jabatan seorang Gubernur.
Menurutnya, penunjukkan Gubernur yang baru menjabat selama satu periode sebagai caretaker akan problematik, dan dapat menimbulkan penilaian bahwa Gubernur menjabat lebih lama dari masa jabatan periodenya. Oleh karena itu, Gubernur yang baru menjabat selama satu periode tidak akan ditunjuk menjadi caretaker.
“Saya harap agar ketua kelompok yang memobilisasi massa itu dapat memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat terkait dengan perundang-undangan yang ada, temasuk juga dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam aturan di Indonesia, itu tidak mungkin diberikan, karena masa jabatan Gubernur adalah 5 tahun per periode,” katanya.
Murafer menyatakan Gubernur yang baru menjabat satu periode seperti Dominggus Mandacan masih bisa mencalonkan dirinya sebagai Gubernur untuk periode berikutnya. “Karena Dominggus Mandacan [baru] periode pertama, [ia bisa mencalonkan diri lagi]. Tapi, [selama] dua tahun [waktu menunggu Pilkada berikutnya, jabatan] Gubernur itu mutlak [dijalankan caretaker, itu] sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri, diisi oleh pejabat yang ditujuk Menteri Dalam Negeri,” katanya.
Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III/Domberai, Papua Barat, Paul Vinsen Mayor menolak tuduhan bahwa dirinya memobilisasi unjuk rasa yang menuntut masa jabatan Dominggus Mandacan diperpanjang sampai 2024. “Tidak ada konsolidasi dari dewan adat mengatanamakan organisasi apapun untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan carateker gubenur Papua Barat. Saat [Gubernur] menerima aspirasi itu, saya berada di belakang Gubernur, sehingga pihak lain beranggapan bahwa saya yang mengonsolidasi masyarakat untuk demonstrasi. Itu tidak ada,” kata Mayor.
Sekretaris Badan Pengurus Asosiasi Mahasiswa Pemuda dan Pelajar Papua Barat (AMP3B) di Provinsi Papua, Jansen Previdea Kareth berharap masyarakat Papua Barat tidak terprovokasi dengan polemik caretaker Gubernur Papua Barat. “Kami masyarakat harus mengikuti aturan yang ada. Kewenangan teknis tentang siapa yang tunjuk dan bekerja sebagai carateker Gubernur di Provinsi Papua Barat ada pada Menteri Dalam Negeri,” kata Kareth.
Kareth menegaskan masa jabatan Gubernur telah diatur dengan jelas dalam undang-undang. “Jangan lagi ada gerakan aksi yang mengatasnamakan masyarakat adat Papua Barat dan mahasiswa tentang perpanjangan masa jabatan Gubernur Papua Barat. Perpanjang dan tidak, itu kembali ke kewenangan pemerintah pusat yang diatur berdasarkan aturan yang berlaku. Jangan memaksa kehendak masyarakat untuk menabrak aturan dan membangun segregasi atau pembelahan yang bertentangan dengan perintah undang-undang,” katanya.
Tokoh asal Sorong, Pdt Leonard Yarolo juga menyayangkan adanya sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat adat untuk menuntut Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan ditunjuk menjadi caretaker jika masa jabatannya berakhir pada Mei nanti. Yarolo menyatakan tokoh adat seharusnya berbicara tentang adat, dan tidak mencampur aduk urusan adat dengan urusan politik.
“Aksi Aliansi Masyarakat Peduli Hak Konstitusi membawa-bawa masyarakat adat. Jangan membawa nama wilayah adat seenaknya,” kata Yarolo. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G