Pledoi 7 Tapol Papua: JPU pilih kutip BAP polisi ketimbang fakta persidangan

Mahasiswa Yalimo Papua
Mahasiswa Yalimo saat sampaikan tuntutan untuk pembebasan 7 tapol dan korban rasisme lainnya di seluruh Indonesia – Jubi/Piter Lokon
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Dalam pledoi bagi tujuh Tahanan Politik atau Tapol Papua, tim penasehat hukum ketujuh Tapol Papua menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap kliennya lebih didasarkan isi Berita Acara Pemeriksaan polisi ketimbang fakta persidangan. Hal itu dinyatakan advokat Emanuel Gobay selaku anggota tim penasehat hukum tujuh Tapol Papua saat dihubungi pada Sabtu (13/6/2020).

Tim penasihat hukum Tapol Papua yang tengah diadili dalam perkara makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur telah membacakan pledoi mereka pada 9, 11, dan 12 Juni 2020. Gobay menyebutkan dalam pledoi itu tim penasehat hukum telah menganalisa isi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada tujuh Tapol Papua. Tim penasehat hukum menilai JPU merumuskan tuntutannya terhadap 7 Tapol Papua dengan mengutip Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun penyidik kepolisian.

Read More

Ketujuh tahanan politik (tapol) Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.  Mereka adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Baca juga: Pledoi 7 Tapol Papua: Unjuk rasa di Jayapura adalah upaya penegakan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketujuh tahanan politik Papua itu dengan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.

Pledoi bagi ketujuh Tapol Papua menegaskan selama persidangan JPU tidak pernah menghadirkan saksi ahli hukum pidana. Akan tetapi, dalam tuntutannya JPU mengutip saksi ahli pidana yang memberikan keterangan dalam BAP polisi.

“Dalam tuntutan JPU terhadap lima terdakwa yakni Agus Kossay, Alexander Gobay, Steven Itlay, Hengki Hilapok dan Feri Kombo, disebutkan ada ahli pidana dimintai keterangan. Padahal ahli pidana tidak pernah dihadirkan di persidangan. JPU mengutip pendapat ahli pidana dengan bersumber dari BAP polisi,” kata Emanuel Gobay menjelaskan isi pledoi mereka.

Baca juga: Bamsoet : Kasus makar (Papua) perlu kehati-hatian

Pledoi itu juga menyoroti perumusan tuntutan JPU yang tidak memasukkan pernyataan para terdakwa dalam persidangan. Tuntutan JPU juga dinilai tidak memasukkan keterangan saksi ahli dan saksi meringankan yang dihadirkan tim penasehat hukum. JPU menyimpulkan terpenuhinya unsur tindak pidana makar  hanya didasari keterangan ahli bahasa, ahli psikologi politik, dan ahli hukum tata negara, yang dihadirkan oleh JPU.

“Padahal secara keilmuan ketiga ahli ini tidak punya kualifikasi membedah unsur-unsur tindak pidana makar. Atas dasar itu, kami meragukan kesimpulan JPU yang menyatakan tujuh terdakwa terbukti melakukan tindak pidana makar,” ujar Gobay.

Selain itu beratnya tuntutan bagi tujuh Tapol Papua dinilai mengandung dispartasi (perbedaan) tuntutan dengan tuntutan tindak pidana pasal makar terdakwa makar di Manokwari dan Sorong, Papua Barat. Beratnya tuntutan itu juga jauh berbeda dibandingkan tuntutan bagi terdakwa makar di Jakarta.

Baca juga: Surati Jokowi, Pimpinan Lintas Agama se-Papua minta 7 tapol Papua diperlakukan secara adil

Pledoi ketujuh Tapol Papua menegaskan tuntutan pidana JPU tidak boleh berbeda dengan kasus serupa di daerah lain. Tim penasehat hukum menyimpulkan perbedaan tuntutan itu menggambarkan, JPU dalam membuat tuntutan tidak sesuai dengan Surat Edaran Jaksa Agung tentang pedoman perumusan tuntutan.

“Pada prinsipnya, semua unsur-unsur yang didakwakan kepada tujuh Tapol Papua tidak terpenuhi, sehingga kami minta tujuh Tapol dibebaskan dari segala tuntutan. Itu muatan pledoi tujuh Tapol,” kata Gobay.

Menurut Gobay, setelah pledoi itu dibajakan JPU mengajukan replik yang menyatakan membantah seluruh isi pledoi, dan tetap menyatakan tetap berpegang kepada tuntutannya. “Karena jawaban [JPU] seperti itu, kami [selaku penasehat hukum] menjawab dengan duplik secara lisan. Kami juga menyatakan tetap [berpegang] kepada pledoi kami. Kasus tujuh Tapol itu akan diputuskan majelis hakim pada 17 Juni 2020,” kata Gobay.

Baca juga: Pemuda Baptis Papua minta tujuh tapol Papua dibebaskan tanpa syarat

Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Kabupaten Yalimo (HMKY) se-Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo membebaskan tujuh Tapol Papua tanpa syarat. Wakil Ketua HMKY se-Indonesia, Gibson Wandik menilai tahanan Politik Papua merupakan korban rasisme yang nyata.

HMKY menilai, para Tapol itu bukan pelaku rasisme, tetapi korban rasisme. Untuk itu, majelis hakim diminta memutus bebas para Tapol itu. “Bebaskan mereka demi keadilan hukum yang sejujur-jujurnya dari proses persidangan atau proses hukum yang berjalan” kata Gibson, Sabtu (13/6/2020) di Jayapura, Papua.

Kata Gibson Wandik, jika aspirasi yang disampaikan tidak diindahkan, maka mereka akan melakukan aksi Mahasiswa Yalimo Jilid 3. “Kami siap mobilisasi [massa dan] turun aksi ketika aspirasi kami seluruh Mahasiswa Yalimo tidak diindahkan,” tegasnya Wandik. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply