Pesan tokoh Katolik untuk umat Balim di Jayapura

Ilustrasi Umat Katolik yang mengikuti prosesi jalan salib – Jubi/Frans L Kobun

 

Ilustrasi Umat Katolik yang mengikuti prosesi jalan salib – Jubi/Frans L Kobun

Jayapura, Jubi – Tokoh Katolik asal Lembah Balim, Markus Haluk menyampaikan beberapa hal untuk umat Katolik dari Lembah Balim di Jayapura, dalam misa syukur Komunitas Hubula Katolik di Tanah Tabi (Kashuokta) di Gua Maria Buper Waena, 8 Juni 2019.

Read More

Acara dirangkai paskah nuansa Balim di Tanah Tabi, misa perdana bersama tiga imam asli Balim dan pengukuhan badan pengurus Kasuokta Balim di Dekenat Jayapura dan Keerom dengan tema “Kebangkitan Kristus Memampukan Kita Berdiri Teguh dan Terus Melayani Semua” (1 Korintus 15:57-58).

Tema ini, katanya, mendapat banyak tantangan: kepulangan Pastor Dr. Neles Tebay Pr dan Pastor Michael Tekege Pr, dan beberapa tokoh awam. Kepergian mereka menguatkan umat Balim untuk menghayati misteri sengsara Yesus Kristus di salib, bahwa paskah tidak berakhir pada kematian, tetapi kebangkitan Kristus sendiri.

Tahbisan sembilan imam beberapa waktu lalu dengan tiga orang dari Balim, merupakan bagian dari semangat iman akan Kebangkitan Kristus. Selain itu, dimaknai sebagai buah perjuangan dan pergumulan panjang orang Balim selama 61 tahun Gereja Katolik di Lembah Balim.

Kini sekitar enam orang telah menerima kaul kekal dalam OFM dan 10 putra Balim telah ditahbiskan menjadi imam dari 64 orang putra/i Balim yang pernah belajar di SFTF Fajar Timur Abepura.

“Tentunya hal tersebut, bukan akhir dari menjawab panggilan Tuhan melainkan ini merupakan langkah awalnya. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang benih panggilan untuk mengabdi secara khusus dalam pelayanan di ladang Kristus kita yakin akan tumbuh subur bagi putra/i dari suku Hubula lembah Balim,” ujarnya.

Katanya, masa awal 1960-an di lembah Balim sejak misi Fransiskan kini mulai membuahkan hasil berlimpah.

Jasa Pastor Frans Lieshout Alua dan kerja keras Pastor Frans bersama para misionaris sebagian besar penduduk suku Hubula menjadi Katolik.

Dekenat Jayawijaya, memiliki sembilan paroki, puluhan stasi/kapela. Pada saat yang sama, karya misi gereja Katolik juga berkembang pesat di bidang pendidikan yang melahirkan sejumlah intelektual.

Keuskupan Jayapura, meliputi 13 kabupaten dan 1 kota dengan penduduk 1.739.012 jiwa dari 3,3 juta jiwa di Provinsi Papua. Keuskupan Jayapura paling luas dari 4 keuskupan lainnya di Tanah Papua. Keuskupan ini juga punya enam dekenat dan 27 paroki dengan jumlah umat Katolik sekitar 76.500 jiwa dari total 514.935 jiwa umat Katolik di lima keuskupan.

Keuskupan Jayapura terdiri dari 27 paroki. Gembala Baik Abepura merupakan pariki tertua dengan buku baptis sejak 14 November 1929 dan paroki termuda Waena dan Kotaraja (2007). Umat Katolik di Keuskupan Jayapura tahun 2013 (BPS) seperti dirilis Dokpen KWI sebanyak 1.459.154 dan 89.037 orang calon baptis dan baptis per Desember 2013.

“Basis orang Katolik asli Papua untuk Keuskupan Jayapura, ada di 3 kabupaten/dekenat masing-masing (Keerom, Pegunungan Bintang dan Pegunungan Tengah), sementara 11 kabupaten lainnya di wilayah Keuskupan Jayapura saat ini merupakan kabupaten yang bukan basis orang Katolik asli Papua.

Wilayah dimaksud sebagian besarnya ada di daerah pesisir utara; kota dan Kabupaten Jayapura serta di wilayah Gunung pada suku Lani, Walak, Yali, Meek, Damal, Nduga dan Dauga,” katanya.

Lanjutnya, umat Katolik Balim merupakan tuan tanah di Keuskupan Jayapura selain Keerom dan umat Katolik suku Ngalum di Dekenat Pegunungan Bintang. Jatuh bangunya masa depan Gereja Katolik di Tanah Papua khususnya di Keuskupan Jayapura merupakan tanggung jawab umat tiga wilayah di atas.

Dia mengaku senang manakala umat Balim dikenal rajin, jujur, tau diri, kuat, ulet dan pekerja keras serta berani.

Katanya “Pemuda Wamena yang pecahkan batu gunung di samping rumah dan depan gereja mereka. Sambung lagi suara bapak yang lain, katanya pemuda Wamena juga berani pasang badan ketika peluru tanpa tuan menyelusup masuk di dalam tubuh manusia tak berdosa di depan batang hidungnya banyak orang, mereka itu hanya menghindar, takut, panik, bingung bahkan menyangkal korban, namun saya syukur bahwa di situ pas ada anak wamena yang berani menuntut pertanggungjawaban pelakunya.”

Sebagai Nit Newe akhuni (kami manusia/sejati) dia mengajak agar meninggalkan prilaku mabuk-mabukan yang disebutnya sebagai predikat “hitam”. Jika demikian, dia optimistis, 30 tahun mendatang lahir 1001 biarawan/i, imam, uskup, dan kardinal orang Melanesia di West Papua.

Kepada pengurus Kasuokta dan imam baru dia berpesan agar menebarkan jala hidup, menjala manusia Balim dan semua umat manusia untuk menjadi satu, kuat dan hidup.

Pastor Frans Lieshout OFM dalam bukunya “Sejarah Gereja Katolik di Lembah Baliem-Papua Kebudayaan Balim Tanah Subur Bagi Benih Injil” (2009: 34-35) menulis, Pater Audifax Arie Blokdijk OFM ke Wamena pada 19 Januari 1958 dengan menumpang pesawat Norseman dari Sepic Airways Company (PNG) untuk orientasi selama dua hari (19-21 Januari 1958), dan mempersiapkan pembukaan pos pertama gereja Katolik di Balim.

Bulan berikutnya, 5 Februari 1958 Uskup Manfred Staverman OFM dan Pater Arie Blokdijk bersama dua pembantunya dari Waris (Keerom), Anton Amo dan Dionisius Lenk Maunda tiba di Wamena dan mendirikan pos gereja Katolik yang pertama di Lembah Baliem, yaitu di Wamena, tepatnya di Wesagima, dekat Kali Wesak. (*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply