Perpanjangan otsus dan pemekaran sepihak, bukti Indonesia jajah Papua

papua
 Ilustrasi - Dok. Jubi

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh : Napi Karon

Pro-kontra antara bangsa Papua dan Pemerintah Indonesia bersama bangsanya tentang status Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga kini belum tuntas. Pemerintah Indonesia memandang keberadaan Papua menjadi bagian dari Indonesia merupakan keberhasilannya membebaskan Papua dari penjajahan (kolonialisme) Belanda.

Read More

Keberadaan Indonesia di Papua bertujuan untuk membangun atau demi kemajuan rakyat Papua. Namun orang Papua beranggapan, bahwa Papua merupakan suatu bangsa yang pernah menjadi sebuah negara merdeka.

Klaim ini didasarkan pada deklarasi Kemerdekaan Negara Papua Barat, 1 Desember 1961, yang difasilitasi Pemerintah Belanda. Negara merdeka ini kemudian digagalkan Indonesia melalui invasi militernya dan Pepera 1969.

Juga argumen rakyat Papua berdasarkan klaim wilayah dan kultur. Dalam klaim ini orang Papua berpendapat bahwa Papua merupakan pulau tersendiri, yang tidak sewilayah dengan Indonesia, dan memiliki ras serta kultur berbeda. Orang Papua memandang bahwa mereka bukan merupakan bangsa Indonesia, dan menyatakan kehadiran Indonesia di Papua merupakan bentuk penjajahan (kolonialisme).

Walaupun orang Papua menolak penjajahan itu, Pemerintah Indonesia tak peduli. Indonesia tetap menduduki Papua, membangun pemerintahannya di Tanah Papua, dan menjalankan kebijakannya.

Indonesia pun berupaya menghilangkan pendapat orang Papua yang tidak menerima keberadaannya, dengan menetapkan mereka sebagai separatis dan membunuh mereka.

Indonesia kemudian membangun ideologi “NKRI harga mati” di kepala-kepala orang Papua, bahwa orang Papua merupakan orang Indonesia. Pemerintah Indonesia juga menggunakan taktik dominasi penduduk dengan memobilisasi para migran Indonesia untuk tinggal di Papua, agar secara sosial dan kultur dapat mengubah kehidupan orang Papua menjadi Indonesia tulen.

Hakikat dari penjajahan

Warga awam umumnya (termasuk warga Papua) memandang bahwa penjajahan merupakan pendudukan secara paksa oleh bangsa asing (yang berbeda secara wilayah dan kultur) terhadap bangsa pribumi pada suatu tempat. Perspektif itu sering merujuk pada pendudukan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Contohnya bangsa Belanda menjajah Indonesia atau bangsa Inggris menjajah India.

Seperti prinsip penjajahan tradisioal awal abad 20 di seluruh dunia, penjajahan pada dasarnya (termasuk yang terjadi abad ini), merupakan suatu pendudukan wilayah atau monopoli sistem oleh bangsa superior (bangsa kuat/besar) terhadap bangsa pribumi tertentu, yang dilakukan secara paksa dengan kekuatan militer atau menguasai ekonominya, dan membuat rakyat pada wilayah tersebut tidak berdaya.  

Filsuf Inggris terkemuka John Locke mendefinisikan kolonialisme sebagai “kebijakan dan praktik kekuatan dalam memperluas kontrol atas masyarakat lemah atau daerah (daerah lemah)”. Sosiolog Jerman, Andre Gunder Frank (1970) berpendapat, bahwa kolonialisme adalah pemindahan kekayaan dari daerah terjajah ke daerah penguasa dan menghambat pertumbuhan ekonomi negara jajahan.

Indonesia menjajah Papua

Penjelasan John Locke dan Andre Gunder Frank dan penjajahan di belahan dunia lain dengan berbagai karakter (kebijakan dan pendekatan) pada abad yang lalu, juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Papua. Pemerintah Indonesia mempraktikkan penjajahan di Papua itu dapat dengan mudah kita temukan dalam berbagai kebijakan dan pendekatannya.

Misalnya pada tindakan “pendudukan paksa” dan “kontrol penuh” seperti yang dimaksudkan oleh Locke dan Gunder, dan juga pernah diterapkan oleh Belanda terhadap Indonesia atau Inggris di India.

Ini dapat kita lihat pada awal Indonesia menduduki Papua. Pada kasus ini Indonesia secara paksa menginvasi Papua dan menggagalkan kemerdekaan Papua. Bahkan secara gamblang seruan menjajah Papua itu, dikumandangkan oleh Presiden Soekarno dengan Trikora-nya: “Bubarkan negara boneka buatan Belanda, kibarkan Sang Merah Putih di seluruh Irian Jaya, dan bersiaplah untuk mobilisasi umum”.

Lebih konkretnya, kebijakan kontrol penguasaan dan pengerukan sumber daya alam (kontrol dan monopoli ekonomi) Indonesia atas Papua dilakukan sejak 1963 sampai saat ini, melalui kebijakan penempatan militer dan operasi-operasi kendali Papua, yang dilakukan terus-menerus, untuk membunuh ribuan orang Papua, sebagai strategi menaklukkan dan mengendalikan orang Papua.

Lalu mereka menjalankan kebijakan eksploitasi sumber daya alam Papua secara sepihak, seperti pengerukan tembaga, emas, minyak dan gas oleh PT Freeport Indonesia, PT Petro China, PT LNG Tangguh, serta eksploitasi hutan dan investasi di sektor perkebunan oleh perusahaan-perusahaan kayu dan perusahaan kelapa sawit.

Bangsa jajahan tak punya hak

Sama halnya dengan penerapan kebijakan oleh negara-negara kolonial pada bangsa-bangsa jajahan, mereka menerapkan kontrol penuh dan menerapkan kebijakan secara sepihak, lalu memaksa bangsa pribumi (bangsa jajahan) untuk mengikuti kebijakannya.

Praktik penjajahan itu juga yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di Papua. Semenjak menduduki Papua, Indonesia menetapkan kebijakan di Papua secara sepihak, lalu memaksakan orang Papua untuk mengikuti kebijakannya.

Berbagai kebijakan itu dapat dilihat dengan mudah. Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia membuat kebijakan membentuk pemerintahan-pemerintahan tingkat 1 dan 2, mobilisasi migran (transmigrasi) ke Papua dan operasi-operasi militer, yang dilakukan secara sepihak.

Periode kedua tahun 1965–1998 pada era Presiden Soeharto pun sama kebijakannya. Semua kebijakan tentang Papua diatur secara penuh oleh Jakarta. Kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan operasi militer adalah konsep yang dibuat oleh pemerintah Indonesia di Jakarta, dan dipaksakan untuk dijalankan di Papua. Orang Papua yang memprotes lantas ditangkap dan dibunuh—dengan dalih separatis atau makar.

Pada periode reformasi Indonesia juga sama. Walaupun adanya semangat demokrasi di tubuh pemerintah, kebijakan untuk Papua tidak berubah. Sudah lebih dari lima presiden menjabat, tetapi kebijakan terhadap Papua masih ditetapkan dengan ala negara penjajah terhadap wilayah jajahan. Semua kebijakannya masih saja dibentuk oleh pemerintah pusat di Jakarta tanpa melibatkan rakyat Papua. Rakyat Papua hanya dipaksakan untuk mengikuti kebijakan Jakarta.

Kebijakan Otsus Jilid I Tahun 2001 dan kebijakan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota pada 2004, dan operasi-operasi militer tetap saja ditetapkan secara sepihak oleh Presiden Megawati dan pejabat pemerintahnya.

Orang Papua tidak menjadi subjek pembangunan

Klaim Indonesia atas Papua bertujuan untuk membangun Papua. Itu artinya, jika mereka mau membangun Papua, maka mestinya orang Papua menjadi subjek utama dari pembangunan itu.

Orang Papua harus dilibatkan dalam merumuskan dan memutuskan semua kebijakan (politik, hukum, ekonomi, dan sosial-budaya) yang dilakukan atas diri dan wilayahnya. Pembangunan itu harus mengedepankan kepentingan-kepentingan orang Papua, yang bertujuan untuk memberdayakan, melindungi, dan memajukan orang Papua.

Fakta yang dialami orang Papua selama ini—seperti dijelaskan di atas—semua kebijakan diatur oleh pemerintah pusat. Orang Papua tidak dilibatkan dalam perumusan dan keputusan dan kebijakan pemerintah Indonesia di Papua.

Sebaliknya Indonesia memaksakan orang Papua untuk mengikuti kebijakannya. Bukti kebijakan penjajahan itu dapat kita lihat lagi dalam kasus kelanjutan Otsus Jilid II dan pemekaran provinsi-provinsi baru di Papua dan Papua Barat.

Pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi tanpa mendengar aspirasi rakyat Papua memaksakan kebijakan otsus dan pemekaran untuk dijalankan. Padahal seluruh rakyat Papua—Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, DPR Papua dan Papua Barat, masyarakat sipil, termasuk pimpinan-pimpinan Gereja—telah menyatakan penolakan terhadap otsus dan mendorong pelaksanaan dialog. (*)

Penulis adalah aktivis gerakan sosial di Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply