Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kebun dan hutan warga asli Distrik Arso timur hampir seluruhnya sudah berubah menjadi lahan sawit. Warga asli yang merupakan masyarakat peramu, berpindah, dan bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, kini kehilangan sumber pangannya. Bukan hanya sumber pangan seperti sayur, ubi dan hewan buruan, mereka juga kehilangan sumber daya obat tradisional yang digunakan secara turun temurun selama ribuan tahun di tanahnya.
“Saat kehilangan hutan, secara otomatis mereka kesulitan pangan. Bagaimana mereka bisa hidup?” kata penggiat perempuan, Melani Kirihio dalam seminar bertema “Perempuan di tengah arus investasi di Papua” yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan Papua Bersatu dalam rangka memperingati hari perempuan Internasional di Jayapura, (8/3/2019).
Kesulitan hidup ini terjadi sejak 2008, saat perusahaan sawit PT Rajawali mengambil alih hutan dengan luasan awal 18.337 hektare. Tidak seperti pola PIR milik PTPN di Distrik Arso Kota, dimana warga transmigrasi memiliki lahan seperempat hektare untuk berkebun, warga di wilayah Arso Timur hanya bisa berkebun di antara tanaman sawit.
“Untuk bertahan hidup, perempuan akhirnya menjadi buruh harian lepas yang dibayar setiap dua minggu sekali. Tanpa ada kontrak kerja yang jelas,” katanya.
Lompatan kebiasaan hidup dari peramu menjadi buruh yang bekerja 8 jam sehari, menyebabkan kualitas hidup perempuan Keerom menurun. Di saat membutuhkan pelayanan kesehatan, tak ada Puskesmas di Distrik Arso Timur. Hanya ada Puskesmas pembantu (Pustu) di PIR IV yang berjarak cukup jauh.
Melan mengaku menerima beberapa laporan, ditemukan perempuan harus melahirkan tanpa bantuan tenaga kesehatan. Melahirkan di jalan saat mencari bantuan ke kota. Mie instan kini menjadi pangan utama yang dikonsumsi bersama beras Raskin, juga tenaga pendidik yang sering absen.
“Ketika ada investasi, tangan Pemerintah tidak sampai ke sana. Pemerintah berpikir, perusahaan akan menyediakan. Tapi faktanya tidak seperti itu,” katanya.
Potret perempuan Keerom merupakan potret perempuan di berbagai daerah di Tanah Papua menjadi target investasi sawit, HPH, tambang, dan lainnya. Dalam laporan “STOP SUDAH,” dipaparkan bagaimana perempuan pada posisi terbawah dalam pengambilan keputusan terhadap tanahnya, mengalami kekerasan berlapis, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dari komunitas (termasuk akibat struktur adat), hingga pelanggaran HAM dari negara (hak atas kesehatan dan pendidikan).
Pendekatan militer yang digunakan Negara pada area investasi (perusahaan) membuat perempuan asli Papua semakin kesulitan mengakses sumberdaya alamnya. Diskriminasi dalam komunitas ikut melegalkan kekerasan terhadap perempuan.
“Konflik sumber daya alam, juga ada konteks politik. Pengamanan yang datang bersama sama dengan investasi membuat kehidupan perempuan semakin terjepit,” lanjut Melani yang terlibat dalam beberapa penulisan laporan soal perempuan.
Kirihio menjelaskan solusi yang dapat ditempuh adalah Perempuan hars bisa mengorganisir diri, serta perlunya memakai beberapa alat, seperti Cedaw untuk menagih janji Pemerintah terhadap alam.
“Jika kita meminta mereka berbicara, kita harus tahu konteksnya. Dan harus memiliki gerakan sosial yang mendukung.”
Perempuan harus menjadi solusi
Ketua I Dewan Adat Papua Weynand Watory yang hadir sebagai pembicara, membuka dengan pertanyaan yang cukup menggelitik. Pasca otonomi khusus (Otsus), di Tanah Papua ada banyak kebijakan, banyak uang, ada banyak investasi, tapi mengapa posisi perempuan masih termarginalkan?
Menurutnya, jauh sebelum ada Pemerintah dan agama hadir di Tanah Papua, hukum adat hadir di tengah masyarakat Papua, mengatur dan memerintah selama hampir 5000 tahun lebih, untuk menjaga lingkungan, ketertiban dan memberikan rasa aman dan tertib.
“Laki-laki urusan ya perang. Perempuan urusannya bidang domestik hingga perekonomian. Dulu perempuan tidak ada hambatan mengakses tanah adatnya, karena menurut hukum adat perempuan harus dan wajib. Jika sekarang ada masalah, pertanyaannya mengapa?” lanjut Watory
Saat ini Perempuan Port Numbay tidak memiliki akses lagi ke tanah adatnya. Hal yang sama juga terjadi di Keerom, Biak, Merauke dan Timika. Watory menjelaskan hal itu terjadi karena ada otoritas lain yang membawa hukum lain, sehingga mereka tidak bisa akses.
“Mau ambil kayu, tidak bisa karena daerah konsesi HPH. Mau berkebun, tidak bisa karena lahan kelapa sawit. Akhirnya ketika merek tidak memiliki akses, jangan tanyakan mengapa IPM Papua terus menjadi yang terendah di Indonesia,” katanya.
Di saat kehilangan akses atas sumberdaya alam, akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga tidak diperbaiki, akibatnya dengan kondisi pendidikan yang minim, kondisi kesehatan menurun, kemudian muncul kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk dan penyakit seperti di Kabupaten Asmat, Yahukimo, dan lainnya.
Dalam adat Papua, Watory menjelaskan perempuan memiliki posisi. Adat mengatur orang Papua cukup tertib. Orang Papua melaksanakan hukum adat jauh sebelum hukum positif. Hukum dari luar mengatur orang Papua baru efektif selama satu abad.
“Begitu datang agama, hukum agama berlaku. Datang pemerintah, berlaku hukum Pemerintah. Akhirnya hukum adat jalang diberlakukan, sehingga hukum adat tidur selama ini,” katanya.
Padahal Papua pernah mempunyai Perdasi hukum adat, Perdasi marga marga yang saat ini masih didorong Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari.
“Jika Aceh, syariat sudah berjalan, Papua dengan khususnya, seharusnya berlaku hukum adat. Sayang, selama Otsus berlangsung, hal ini tidak berjalan,” katanya.
Sebagai lembaga, Dewan Adat Papua (DAP) adalah organisasi masyarakat adat yang menghadirkan Otsus dengan nilai triliun rupiah selama hampir 18 tahun terakhir ini. DAP mengawal yang terus memastikan Otsus di Papua memiliki kekhususannya, yakni adat Papua.
Tetapi Pemerintah justru membentuk lembaga adat lain versi pemerintah untuk melemahkan adat.
“Selama Otsus ada DAP sama sekali tidak dapatkan dana Otsus. Tapi itu tidak membuat kami patah semangat,” katanya.(*)