Perang antara TNI/Polri dan TPNPB rugikan warga sipil

Suasana Jumpa Pers di Kantor ALDP di Padang Bulan Jayapura, Luis Madai dan Theo Hesegem - Piter Lokon/Jubi
Suasana Jumpa Pers di Kantor ALDP di Padang Bulan Jayapura, Luis Madai dan Theo Hesegem – Piter Lokon/Jubi

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Warga sipil menjadi pihak yang paling dirugikan atas dampak perang antara pasukan gabungan TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Perang mereka menimbulkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Ribuan warga Nduga harus mengungsi dan hidup dalam kondisi yang memprihatikan demi menghindari perang itu.

Read More

Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem dalam keterangan pers di Jayapura, Papua, Kamis (14/3/2019). Hesegem menyatakan ribuan warga sipil yang mengungsi dari Nduga masih terlantar, tanpa mendapatkan bantuan pelayanan kesehatan ataupun pangan yang mencukupi.

“Atas krisis kemanusiaan itu, kita akan menyalahkan siapa? Mau menyalahkan TNI/Polri, TPNPB juga salah. Mau menyalahkan TPNPB, TNI/Polri juga salah. Kedua pihak sama-sama kombatan, dan saling berperang. Akan tetapi, dampak perang mereka merugikan ribuan warga sipil yang hingga kini mengungsi, dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang sangat memprihatinkan,” kata Hesegem.

Pasca pembunuhan 19 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, TNI/Polri terus menambah jumlah tentara dan polisi di Kabupaten Nduga. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang dipimpin Egianus Kogoya telah mengumumkan bertanggungjawab atas pembunuhan 19 pekerja Istaka Karya itu, dan pasukan gambungan TNI/Polri menggelar  “operasi penegakan hukum” untuk mengejar kelompok Kogoya.

Hesegem membeber sejumlah kronologi bagaimana pasukan gabungan TNI/Polri dan TPNPB saling menyerang, membuat warga sipil turut menjadi korban perang mereka. Pada 3 Desember 2018, TPNPB menyerang Pos TNI di Distrik Mbua, sehingga seorang tentara tewas, dan seorang lainnya terluka. Lalu pada 4 Desember, TNI melakukan serangan udara atas sejumlah lokasi di Distrik Mbua, Dal, Bulmuyalma, Gunung Kabo, Jigi, Nirkuri, dan sekitarnya.

“Dalam serangan TNI itu, beberapa warga sipil tewas tertembak. Ada pula warga yang disiksa, seperti Yuwes Wijangge dari Mapenduma. Pendeta Geymin Nirigi dikabarkan telah dibunuh, lalu Kodam XVII Cenderawasih menyatakan Pendeta Geymin Nirigi masih hidup,”  ujar Hesegem mencontohkan aksi kekerasan yang terus dibalas aksi kekerasan sejak Desember 2018.

Dalam berbagai kekerasan yang dibalas kekerasan itu, para warga sipil terus menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka mengungsi jauh ke dalam hutan, atau mengungsi ke Kabupaten Lani Jaya, Jayawijaya, dan Timika.

“Beberapa rumah warga sipil di beberapa distrik dirusak aparat militer, misalnya pintu yang didobrak. Barang-barang warga sipil berhamburan di dalam rumah, bahkan ada yang dibakar. Hasil investigasi kami menyimpulkan bahwa para pengungsi itu takut kepada pasukan gabungan TNI/Polri maupun TPNPB. Warga sipil takut kepada kedua pihak, karena mereka berperang memakai senjata yang membuat warga sipil mati, berperang hingga warga sipil tidak bisa pulang ke kampung. Kampung kosong, gereja kosong. Warga Nduga mengalami trauma yang dalam,” kata Hesegem.

Salah satu Relawan untuk Pengungsi Nduga, Raga Kogoya mengatakan dampak perang antara TPNPB dan TNI/Polri telah meluas ke 16 distrik di Kabupaten Nduga. Banyak warga dari 16 distrik itu mengungsi ke Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, dan akhirnya terlantar di Wamena.

“Semua itu menimbulkan trauma berkepanjangan di antara para pengungsi. Lebih dari 600 anak pengungsi yang berada di Wamena tidak bisa bersekolah. Mereka bahkan takut karena selalu diawasi tentara dan polisi,” kata Raga Kogoya.

Situasi Nduga dan buruknya kebebasan berekspresi di Papua menjadi sorotan dalam Sidang Umum Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa di Jenewa pada 12 dan 13 Maret 2019. Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat Victor Yeimo, yang hadir dalam Debat Umum 13 Maret itu bersama advokat Veronica Koman, menyatakan orang asli Papua telah menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri sejak Papua dikuasai Indonesia pada 1969.

Debat Umum Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa pada Selasa (12/3/2019) mencatat laporan situasi Papua yang dimasukkan dua lembaga pembela HAM internasional. Pernyataan bersama Franciscans International dan VIVAT International menyatakan keprihatinan mereka atas pelanggaran HAM baru yang terus terjadi di Papua. Kedua lembaga menyatakan kekerasan yang sadis dan pembunuhan di luar proses hukum masih terjadi. Selain itu, operasi yang dilakukan TNI dan Polri menimbulkan masalah kemanusiaan dan HAM yang serius.

Buruknya situasi Papua kembali menjadi sorotan dalam Debat Umum Komisi HAM PBB pada Rabu (13/3/2019). Debat Umum Komisi HAM PBB pada Rabu mencatat VIVAT International kembali mengangkat buruknya situasi HAM di Papua, dan melaporkan tiga aktivis Komite Nasional Papua Barat di Timika ditangkap dalam perayaan bakar batu. VIVAT International juga menyoroti tewasnya 19 pekerja PT Istaka Karya.

VIVAT International melaporkan ribuan warga (di Kabupaten Nduga, Papua) mengungsi meninggalkan tempat tinggalnya sejak TNI dan Polri menggelar operasi gabungan untuk mengejar kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang dipimpin Egianus Kogoya telah menyatakan bertanggungjawab atas pembunuhan 19 pekerja PT Istaka Karya.  Komisi HAM PPB diminta mendesak Pemerintah RI untuk mengakhiri operasi gabungan TNI dan Polri, dan segera memfasilitasi kepulangan para pengungsi.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply