Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pengusaha asli Papua dari Nabire, Micfrank Wayar, menuntut keadilan bagi pihaknya untuk mendapatkan lelang tender proyek di Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi (BP2JK) wilayah Papua.
Pemilik CV Nahase Putra ini mengaku kecewa karena dua tahun belakangan tidak pernah mengikuti tender di Bina Marga, khususnya Satker Pjn Wilayah VII (Nabire), karena sistem tender yang dianggap “tidak sehat”. Namun, dengan sistem baru di bawah BP2JK terjadi lagi hal yang sama karena ada indikasi kelompok kerja (pokja) pemilihan memenangkan CV Jangka Utama dari Sulawesi Selatan.
Menurut dia, pemenang tender tersebut diduga akan mengalihkan sebagian atau seluruh pekerjaan kepada pihak lain, yang merupakan pimpinan salah satu perusahaan besar di Nabire yang memberikan dukungan alat.
“Kami sangat berharap kepada para stakeholder, khususnya Gubernur Papua dan terutama Wakil Menteri PUPR yang merupakan salah satu putra terbaik Papua, agar dapat memperhatikan ini. Karena paket pekerjaan yang saat ini menjadi masalah merupakan tolok ukur independensi BP2JK bagi pelaku usaha di Nabire,” katanya kepada Jubi di Jayapura, Selasa (11/2/2020).
Anggota Forum Anak Adat Peduli Demokrasi Nabire ini bahkan menilai Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 14 Tahun 2019 tidak bertaring di pelelangan paket pekerjaan.
“BP2JK menjadi rumah bagi semua pokja pemilihan jasa konstruksi di Papua tidak menggunakan Pergub ini sebagai dasar pelaksanaan lelang paket pekerjaan dan hanya menggunakan Perpres Nomor 17 tahun 2019,” katanya.
Sesuai perpres tersebut, salah satu nilai paket di bawah Rp2,5 miliar dilakukan lelang terbatas. Namun, Wayar menekankan bahwa salah satu tujuan utama Perpres ini untuk mewujudkan pemenuhan nilai manfaat sebesar-besarnya dan kontribusi dalam pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk peningkatan peran usaha mikro dan usaha kecil, serta memberikan kesempatan dan peran sebesar-besarnya kepada pelaku usaha OAP.
“Jika kemudian untuk paket Rp2,5 miliar ke atas, mereka (BP2JK) hanya mengutip satu ayat, yaitu nilai tersebut masuk dalam lelang umum. Maka sekian banyak paket dengan nilai tersebut menjadi salah sasaran dari tujuan dikeluarkannya Perpres,” ujar Ivan, sapaan dia.
“Seharusnya mereka bisa lebih bijak, karena kalau melihat tujuan perpres tadi dan pergub, sekalipun lelang ini umum, seharusnya mereka bisa memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam perpres dan pergub tersebut. Karena sekalipun umum, bukan berarti orang dari mana saja bebas untuk turut berperan, apalagi jika mereka tidak ada kontribusi dan pemberdayaan bagi pelaku usaha Papua,” lanjutnya.
Dalam pergub juga tertulis paket dengan nilai tersebut harus melakukan kerja sama operasi (KSO) bersama pelaku usaha Papua atau setidaknya dapat memberikan subkon.
“Saya yakin Presiden tidak membahas mendetail pada perpres baru ini, karena mempercayakan pada gubernur selaku pimpinan tertinggi guna mengatur sesuai kebutuhan di wilayahnya. Sehingga pergub dan perpres ini bukan malah bersinggungan, tetapi harusnya berjalan selaras,” katanya.
Pergub ini dianggap memperhatikan Perpres Nomor 17 Tahun 2019, dan tidak hanya melindungi pelaku usaha Papua, tapi juga non-Papua, yang dibuktikan dengan memiliki kantor cabang di Papua, rekening di Bank Papua, dan NPWP Provinsi Papua.
“Saya rasa agak aneh jika BP2JK, khususnya Pokja 45 BM (Bina Marga) menyatakan kebingungan mereka untuk harus mengikuti perpres atau pergub. Ambil saja jalan tengah; nilai dua miliar ke atas merupakan lelang umum sesuai salah satu ayat di perpres, tapi mengutamakan pelaku usaha Papua dan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pergub,” ujarnya.
Pihaknya sudah beraudiensi dengan Majelis Rakyat Papua. Lembaga kultural OAP ini berjanji akan melakukan inspeksi mendadak pada BP2JK. Namun ketika itu berdekatan dengan peringatan ulang tahun ke-165 Pekabaran Injil di Tanah Papua, sehingga baru dilakukan minggu ini. Dia berharap agar pihaknya mendapat keadilan.
“Di tanah air kami sendiri kami dikhianati kesekian kalinya oleh sistem yang cacat dan ketidakberdayaan otsus. Kami tidak mungkin mau cari paket lelang sampai keluar Papua,” ujarnya.
Mantan anggota DPR Papua, John N.R. Gobai, memandang perlu adanya regulasi untuk melindungi pengusaha OAP, sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pasal 62 ayat (2) dan (4).
Menurutnya, “menjadi tuan di negeri sendiri” adalah mimpi/harapan, sekaligus tuntutan terhadap pengakuan jati diri OAP sebagai pemilik hak kesulungan untuk memerintah, mengelola, dan menikmati sumber dayanya bagi kemakmuran dan kesejahteraan di Tanah Papua.
“Pemihakan dengan pembuatan perdasi di bidang ketenagakerjaan sesuai amanat UU Otsus harus dilaksanakan guna menghilangkan kesenjangan pendapatan dan kecemburuan sosial,” katanya.
Gobai mengatakan perubahan pola hidup masyarakat Papua telah melahirkan pengusaha-pengusaha asli Papua yang telah bekerja pada berbagai bidang, seperti, kontraktor, sub kontraktor, serta pengusaha kecil dan menengah.
“Kehadiran pengusaha Papua juga akan membantu pemerintah untuk mengatasi pengangguran di Papua, karena telah menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, baik yang ada di perkotaan, maupun kampung-kampung,” ujarnya.
Kebijakan lelang melalui LPSE, katanya, kadang-kadang menjadi masalah, karena jaringan internet yang sering bermasalah, sehingga diperlukan kebijakan khusus bersifat afirmatif melalui perdasi. (*)
Editor: Dewi Wulandari