Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Thomas Ch. Syufi*
Pasca-Keputusan Mahkamah Agung soal Pemilihan Wali Kota Bandar Lampung 2020, pakar hukum tata negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra mendengungkan isu Constitutional Complaint. Gagasan itu muncul sebagai pengganti upaya hukum peninjauan kembali yang tidak dikenal dalam rezim Pilkada sesuai Peraturan MA No.11 Tahun 2016. Namun, Pengaduan Konstitusional yang diajukan Yusril ke MA tidak mempunyai kepastian hukum.
Isu constitutional complaint atau Pengaduan Konstitusional (PK) yang sengaja diembuskan oleh Yusril Ihza Mahendra ke MA dengan dalih untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 D ayat(1) UUD 1945, sangatlah tepat. Karena secara sederhana, PK adalah upaya warga negara atas dilanggarnya hak-hak konstitusional akibat perbuatan atau kelalaian pejabat publik, baik pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. PK merupakan jalan pamungkas setelah semua upaya hukum telah dilakukan oleh seorang warga negara.
Constitutional complaint terjadi tatkala seorang warga negara mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa tindakan atau kelalaian suatu pejabat negara atau pejabat publik telah melanggar hak konstitusionalnya sementara segala upaya hukum biasa yang tersedia tidak ada lagi. Memang, kewenangan constitutional complaint, termasuk, constitutional question, tidak dimiliki MK hingga saat ini. Padahal, MK di negara lain di samping diberikan kewenangan judicial review atau constitutional review, juga diberi kewenangan untuk mengadili perkara-perkara constitutional complaint dan constitutional question.
Baca juga: 10 akar sejarah kekerasan negara di Papua (1/2)
Beberapa contoh negara yang telah menerapkan Constitutional Complaint, antara lain, Jerman, Afrika Selatan, dan Korea. Jadi, Constitutional Complaint memang menjadi keharusan dalam negara demokrasi dan hukum seperti Indonesia. Sebagaimana dikatakan salah satu hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna bahwa tidak adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili constitutional complaint menyebabkan tidak tersedianya upaya hukum (judicial remedy) melalui mekanisme peradilan konstitusional (constitutional adjudication) untuk pelanggaran atas hak-hak konstitusional warga negara. Pelanggaran tersebut bukan dikarenakan inkonstitusionalitas norma undang-undang melainkan karena adanya perbuatan maupun kelalaian lembaga negara atau pejabat publik.
Selama ini, masyarakat yang merasakan hak-haknya terlanggar dapat melakukan pengaduan ke MK. Namun MK menolak hal itu. Tahun 2010, misalnya, terdapat 30 permohonan yang secara substansial constitutional complaint dimohonkan di MK dan ditarik atau diputus dengan amar “tidak dapat diterima”—karena memang dari sisi kompetensi absolut—MK tidak berwenang mengadili perkara constitutional complaint.
Hal tersebut mengingat secara gamblang dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Mahkmah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Baca juga: 10 akar sejarah kekerasan negara di Papua (2/2)
Tentu, gagasan PK itu sebagai respons atas realitas dan dinamika politik dan hukum di negara ini. Banyak keputusan pejabat publik, terutama keputusan pejabat peradilan yang sering jauh dari pemenuhan rasa keadilan warga negara (pencari keadilan). Secara normatif memang mensyaratkan bahwa setiap putusan pengadilan harus dianggap benar dan harus dihormati (res judicata pro veritate habetur) kecuali dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi. Atau yang lazim dikenal, “Judicia posteriores sunt in lege fortiori (keputusan terakhirlah yang terkuat di mata hukum).
Namun, jika warga negara yang tidak merasa puas dengan putusan tersebut, maka melakukan upaya hukum pada peradilan yang jenjangnya lebih tinggi untuk mendapatkan kepastian hukum. Akan tetapi, dalam sistem pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) tidak mengenal upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali maupun pengaduan konstitusional. Hal ini mencederai rasa keadilan bagi setiap warga negara yang memburu keadilan di pengadilan.
Padahal dalam negara hukum dikenal doktrin yang mengatakan bahwa perjuangkanlah ketidakadilan hingga ketidakadilan itu menemukan keadilan. Artinya, setiap warga negara mengajukan upaya hukum, misalnya, banding, kasasi, peninjauan kembali, maupun upaya-upaya hukum lainnya sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca juga: Jalan TransPapua dan Ancaman terhadap Taman Nasional Lorentz menjadi perhatian UNESCO
Tentu upaya hukum luar biasa atau pengaduan konstitusional (PK) merupakan hak setiap warga negara, tetapi dalam sistem pemilu, pilkada, maupun pemilukada tidak ada upaya hukum luar biasa pada tingkat Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Memang dalam teori ilmu hukum dikenal asas hukum pidana berbunyi, “Res judicata in criminalibus, setiap perkara pidana itu harus ada akhirnya atau ujungnya. Atau yang umum dikenal juga adalah “litis finiri oportet, setiap perkara harus ada akhirnya. Artinya, diberikan hak kepada setiap warga negara untuk melakukan upaya hukum dari peradilan tingkat bawah, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Pada tahap itu peninjauan kembali tentu diatur ketentuan secara limitatif dan restriktif bahwa upaya hukum luar biasa atau PK bisa dilakukan sekali atau lebih dari sekali.
Sayang, hal itu hanya berlaku pada perkara tertentu pada peradilan pidana dan perdata, sementara untuk perkara sengketa hasil pemilu, pilkada, dan pemilukada, termasuk sifat memaksa terhadap pejabat administrasi negara yang mengabaikan putusan pengadilan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Amandemen
Setidaknya upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 perlu diapresiasi, sekaligus harus didukung oleh semua komponen bangsa ini. Mulai dari aktivis, akademisi, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan presiden wajib memberi dukungan atas rencana amandemen tersebut. Karena dengan amandemen UUD 1945, tentu juga banyak hak-hak fundamental warga negara pun ikut diatur atau diperbaiki ke arah yang lebih baik di masa depan.
Juga, hak-hak konstitusional seperti yang disinggung di atas tentang Constitutional Complaint atau Pengaduan Konstitusional (PK) harus menjadi salah satu agenda prioritas dalam amandemen. Di mana, PK belum diatur dalam sistem hukum Indonesia dan PK hanya masih menjadi ius constituendum. Artinya hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup bernegara, tetapi belum dibentuk menjadi undang-undang atau ketentuan lain.
Harapan dalam amandemen UUD 1945 nanti bisa dimasukkan Constitutional Complaint dalam salah satu rumusan pasal yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada resultante atau konsensus para law maker (legislator). Karena selama ini belum ada kejelasan.
Baca juga: Pacaran disayang? Yes! Pacaran dipukul? No!
Constitutional Complaint menjadi kewenangan lembaga mana? Bahkan belum juga diatur dalam peraturan perundang-undangan. MK sendiri saja menyebutkan bahwa MK tidak memiliki kewenangan Constitutional Complaint. Apakah MA yang memiliki kewenangan demikian? Tentu dilihat ke dalam ketentuan UUD 1945 tidak diatur juga kewenangan MA menangani Constitutional Complaint.
Maka, rencana amandemen UUD 1945 nanti menjadi momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk menyalurkan berbagai aspirasinya, termasuk juga constitutional complaint. Jadi, Constitutional Complaint harus diakomodir dalam kewenangan dari salah satu lembaga peradilan tertinggi di negara ini, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Kehadiran constitutional complaint dalam konstitusi akan menjawab keadilan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya pada aras menyelesaikan sengketa pemilu, pilkada, atau pemilukada, tetapi juga untuk hal-hal lain yang berelevan dengan kepentingan hukum rakyat Indonesia.
Contoh lain dari Constitutional Complaint, jika ada warga negara mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara mengenai tindak faktual yang dilakukan oleh salah satu lembaga negara, eksekutif/pemerintah, misalnya, dan telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, namun lembaga negara (pemerintah) yang dimaksud tak kunjung melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan sehingga merugikan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum. Sehingga Constitutional Complaint menjadi sebuah metode atau upaya hukum luar biasa yang cukup efektif untuk membantu warga negara yang untuk mengaktualisasikan hak-hak konstitusionalnya yang diabaikan oleh pejabat administrasi negara (atau pemerintah).
Baca juga: Sikap ‘Teladan’ Muridan dan Peran ‘Pendatang’ dalam Solusi Papua
Selain Constitutional Complaint, ada beberapa hal penting juga yang perlu direkomendasikan dalam proses amandemen kelima UUD 1945 nanti, antara lain, pasal tentang DPD RI harus diperkuat posisinya sebagai lembaga yang tidak hanya sebagai tim asistensi atau lembaga subordinasi DPR. Yang mana DPD hanya memberi pertimbangan, tetapi juga harus ikut memutuskan undang-undang atau segala keputusan yang mengatur tentang kepentingan (atau urusan) daerah.
Selanjutnya, perlu dipertimbangkan juga adalah pasal 14 ayat (2) presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Memang benar, amnesti dan abolisi adalah proses politik, hingga harus persetujuan rakyat melalui lembaga DPR.
Namun, di sisi lain, DPR adalah badan politik, sementara yang diperlukan adalah pertimbangan hukum. Pertimbangan politik, kemanusiaan, sosial, dan lain-lain merupakan hak prerogatif presiden. Yang diperlukan adalah pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk memberi dasar yuridis atas pertimbangan Presiden.
Baca juga: Rasisme: Allah itu Separatis yang Adil
Yang berikut adalah pasal 24B yang mengatur Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim”. Yang perlu ditambahkan agar KY memiliki kewenangan yang kuat adalah “KY berwenang memanggil, mengadili, dan memecat hakim yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum karena menggunakan jabatannya atas laporan atau seruan dari individu dan kelompok orang, atau khalayak ramai.
Dan yang terakhir adalah pasal yang menyebut Indonesia menganut Sistem Pemerintah Presidensial perlu dihapus. Karena secara logika, dari mekanisme pengisian jabatan presiden melalui proses pemilihan umum secara mutatis mutandis bisa diketahui bahwa Indonesia adalah negara menganut Sistem Pemerintahan Presidensial. Maka hal tersebut tidak perlu lagi dicantumkan dalam UUD 1945 atau peraturan lain yang secara hierarkis berada di bawahnya. (*)
* Penulis adalah pemerhati masalah Hukum Tata Negara dan Advokat (Pengacara) muda Papua
Editor: Timotius Marthen