Pendekatan keamanan tidak akan selesaikan masalah Papua

Foto ilustrasi. - pixabay.com
Foto ilustrasi – pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi –  Dosen hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Dr Budiyanto, MH menyatakan kekerasan di Papua dapat dicegah jika pemerintah mengedepankan dialog atau musyawarah untuk menyelesaikan masalah di masyarakat. Pendekatan keamanan dan penggunaan aparat keamanan untuk mendekati masyarakat tidak akan bisa menyelesaikan masalah di Papua.

Read More

Hal tersebut dikatakan Dr Budiyanto di Jayapura, Jumat (14/6/2019), menyikapi rangkaian penembakan di Papua sepanjang tahun ini. Ia mengatakan, berbagai kasus penembakan di Papua sepanjang tahun ini karena minimnya pencegahan dini.

Budiyanto menyatakan seharusya pemerintah daerah (kabupaten/kota) bersama tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat melakukan pencegahan (dialog), karena mereka yang lebih tahu karakter masyarakatnya. “Tidak bisa aparat keamanan. Jangan langsung melibatkan aparat keamanan. Di Papua masyarakat sulit didekati dengan menggunakan aparat,” kata Dr Budiyanto kepada Jubi, Jumat (14/6/2019).

Ketika aparat keamanan dijadikan tumpuan dalam menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat, potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akan bertambah. Dalam situasi yang tidak terkendali, aparat keamanan akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan sulit.

“Aparat keamanan mau bertindak salah, tidak mau bertindak juga salah. Aparat keamanan menyatakan terdesak sehingga melakukan penembakan. Jadinya sulit membedakan mana pelanggaran HAM, mana tindakan karena aparat keamanan terdesak,” ujarnya.

Selain mengenal penindakan dan penegakan hukum atau penal, sistem hukum pidana di Indonesia mengenal upaya pencegahan terjadinya tindak pidana atau non penal. Budiyanto menyatakan pencegahan dalam konteks hukum pidana lebih penting daripada melakukan penegakan hukum. Apalagi, penegakan hukum pidana tidak serta-merta menyelesaikan masalah, dan bisa menjadi bumerang jika diterapkan tanpa perhitungan.

“Dialog atau non penal dalam hukum pidana itu yang paling tepat. Kalau tidak, akan selamanya seperti itu. Dialog penting agar masyarakat lain tidak terhasut oleh pihak yang tidak puas. Di satu sisi kita ingin [aparat hukum] memberantas kejahatan, tapi [pendekatan pemidanaan] justru [bisa membuka peluang aparat hukum] menjadi pelaku kejahatan. Semakin tegas hukum pidana ditegakkan bukan berarti langsung menyelesaikan masalah,” katanya.

Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramadey mengatakan ada beberapa faktor yang diduga menyebabkan bertambahnya kasus aparat keamanan menembak warga sipil. Diantaranya, aparat keamanan tidak memiliki pengetahuan cara melakukan negosiasi atau mediasi.

Aparat keamanan yang menjadi pelaku juga dinilai tidak memiliki pengetahuan cukup mengenai karakterisktik dan budaya masyarakat di tempat tugas. Kejenuhan karena terlalu lama bertugas di suatu daerah tertentu juga bisa menjadi pencetus. Kematangan psikologis aparat keamanan untuk dibekali senjata api juga menentukan tingkat risiko penyalahgunaan senjata api itu.

“TNI dan Polri mesti melakukan evaluasi tentang protap, penyegaran dan peningkatan kemampuan terhadap anggota di daerah. Kasus oknum aparat TNI/Polri menyalahgunakan senjata cenderung meningkat,” kata Ramandey. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply