Pemkot Jayapura diminta selesaikan sengketa lahan pembangunan RS Ramela Muara Tami

Rumah Sakit di Papua
Rumah Sakit Ramela Muara Tami di Koya Barat, Kota Jayapura, yang lahannya menjadi tanah sengketa antara Pemerintah Kota Jayapura dan Kelompok 30. - Jubi/Theo Kelen

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Pemerintah Kota Jayapura diminta segera menyelesaikan sengketa lahan yang kini menjadi Rumah Sakit Ramela Muara Tami. Rumah sakit yang berdiri diatas lahan seluas 3 hektare di Koya Barat, Kota Jayapura, Papua, itu telah diresmikan pada 12 November 2020.

Koordinator Kelompok 30 sebagai pihak yang memiliki lahan itu, Maikel Ansanay mengatakan lahan 3 hektare tersebut merupakan lahan transmigrasi yang dibeli orangtua mereka pada 1990. Lahan seluas 3 hektare itu kemudian dibagi kepada 30 keluarga, di mana masing-masing keluarga mendapatkan persil tanah berukuran 50 x 20 meter persegi.

Read More

“Tahun 1990, orangtua kami yang 30 Orang Asli Papua ke Jakarta ketemu dengan Menteri Koperasi waktu itu. Pulang dari sana, mereka membawa hadiah uang dari Menteri Koperasi, lalu mereka belilah tanah itu. Awal mulanya, itu adalah tanah transmigrasi. Akhirnya, cekcok lah orangtua kami dengan Dapertemen Transmigrasi, tetapi diselesaikan dengan baik oleh mantan kepala Kantor Agraria waktu itu, supaya diberikan tanah 3 hektare itu untuk 30 Orang Asli Papua, yang berasal dari tanah [lahan untuk] transmigrasi,” ujarnya.

Baca juga: Penyelesaian pembangunan bekas bioskos mangkrak 22 tahun

Ansanay mengatakan ada acara pelepasan adat yang kemudian menjadi dasar diterbitkanlah 30 Sertifikat Hak Milik pada 1992. Akan tetapi, pada tahun 2016 Pemerintah Kota (Pemkot) Jayapura secara sepihak memasang spanduk diatas tanah milik 30 Orang Asli Papua tersebut, dengan tulisan “tanah ini akan dibangun rumah sakit internasional”.

“Saya kemudian bicara dengan pihak Pemkot Jayapura, namun tidak ada respon baik. Malah ngotot untuk melakukan peletakan batu pertama pembangunan rumah sakit. Saya lalu datang dengan teman-teman saya dan beberapa orang tua, [kami] melakukan pemalangan itu lokasi,” katanya.

Ansanay mengatakan setelah diusut Pemkot Jayapura ternyata telah membeli tanah tersebut dari orang lain. Ansanay menyatakan sertifikat tanah yang dimiliki Pemkot Jayapura adalah sertifikat bodong, karena koordinat lokasi tanah yang dibeli Pemkot Jayapura berbeda dengan koordinat lokasi bangunan rumah sakit saat ini.

Baca juga: Omicron makin meluas, warga diminta tetap waspada

“Di sertifikat Pemkot Jayapura, koordinat lokasi pembangunan rumah sakit berbeda dengan koordinat sertifikat tanah milik kami yang kini telah dibangun rumah sakit itu. Bisa dibilang dalam tanda petik, [sertifikat] milik Pemkot Jayapura ‘bodong’,” ujarnya.

Selaku pemilik lahan mereka yang kini menjadi lokasi rumah sakit itu, Ansanay menegaskan ia dan 29 keluarga lainnya tidak pernah menjual tanah mereka kepada pihak lain maupun, termasuk Pemkot Jayapura. Pihaknya pun telah melakukan mediasi hingga lebih dari lima kali, namun sengketa lahan itu belum juga terselesaikan.

“Pemkot Jayapura seharusnya melindungi masyarakatnya. [Kalau] salah ya harus mengaku salah, biar dibenahi administrasinya,” ujarnya.

Baca juga: Pemkot Jayapura pastikan peserta BPJS Kesehatan terlayani

Dalam proses penyelesaian tanah sengketa tersebut, pihak Pemkot Jayapura telah menyurati Kantor Wilayah (Kanwil) Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Papua. Surat bernomor 590/2081 yang salinannya didapatkan Jubi itu dikeluarkan pada 2 November 2020, dan ditandatangani Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano.

Dalam surat itu, Wali Kota Jayapura meminta Kanwil ATR/BPN Papua agar mempercepat penyelesaian sengketa kepemilikan atas lahan RS Ramela Muara Tami dengan melakukan klarifikasi. Klarifikasi itu untuk memberikan kepastian bagi Pemkot Jayapura maupun Kelompok 30 terkait keberadaan Sertifikat Hak Pakai Nomor 302/RDP91 – 71/VIII/2014 milik atas nama Pemkot Jayapura dan Sertifikat Hak Milik Nomor 1510 sampai dengan 1539 yang dipegang Kelompok 30.

Jubi telah berupaya meminta konfirmasi dari Kanwil ATR/BPN Papua pada Selasa (25/1/2022), untuk mendapat penjelasan soal penyelesaian tanah sengketa tersebut. Akan tetapi, Kepala Bidang Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan, Isak Waromi tidak bisa ditemui.

Stafnya, Adiyat Hamid menyampaikan Kanwil ATR/BPN Papua masih menunggu informasi lanjutan perkembangan masalah penyelesaian tanah sengketa itu. Ia  tidak menyebutkan menunggu informasi dari pihak mana. “Bapak kasih tinggal nomor kontak saja, nanti akan kami hubungi,” kata staf tersebut kepada Jubi. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply